Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menilai kebijakan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang hendak menaikkan bea impor terhadap sebagian produk China dapat menjadi tekanan baru bagi seluruh dunia yakni melambatnya perekonomian global.
"Yang jelas sekarang ini ekonomi dunia melambat dan bisa lebih melambat lagi kalau dia (Donald Trump) menaikkan tarif impor China," ujar Menko Darmin di Hotel Shangri-La, Jakarta Pusat, Kamis (9/5).
Sebagaimana diketahui, Dana Moneter Internasional (IMF) baru saja memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global tahun ini sebesar 0,2%. Artinya, ekonomi global diperkirakan hanya bakal tumbuh pada level 3,3% dari ramalan sebelumnya yang mencapai 3,5%.
Meski mengakui adanya dampak terhadap perekonomian global, akan tetapi Menko Darmin enggan memaparkan secara khusus pengaruhnya terhadap perekonomian dalam negeri.
"Kita belum tahu seperti apa, jadi jangan ditebak-tebak deh (dampaknya seperti apa)," tuturnya.
Untuk mengantisipasi dampak negatif ke Indonesia, Darmin memastikan, pemerintah dan pengusaha bakal terus memiliki langkah signifikan, terutama terkait ekspor.
"Yang jelas kami tentu punya cara dan jalan sendiri supaya ekspor kita tak terganggu, intinya ekspor terus didorong sembari terus melakukan perluasan pasar," ujarnya.
Perkuat manufaktur
Dalam kesempatan lain, Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Assyifa Szami Ilman menyampaikan, pemerintah sebaiknya bersiap-siap menghadapi kemungkinan perang dagang tersebut.
Menurut dia, China merupakan mitra terbesar perdagangan Indonesia. Tentunya, perang dagang dalam bentuk penerapan tarif antar China dan Amerika Serikat berakibat pada berubahnya pola konsumsi masyarakat China.
“Bisa dikatakan, produk-produk ekspor kita di China dapat berpotensi menjadi lesu performanya," ujar Ilman.
Saat ini, China merupakan mitra dagang terbesar Indonesia dengan nilai perdagangan sebesar US$27,1 miliar pada 2018, yang disusul oleh Jepang dengan nilai perdagangan sebesar US$19,5 miliar dan Amerika Serikat dengan nilai perdagangan sebesar US$18,5 miliar.
Setelah perang dagang pertama kali menegang di akhir 2018 lalu, salah satu sektor yang terdampak dari perdagangan perang saat itu adalah sektor manufaktur. Akibatnya, sektor ini mengalami perlambatan pertumbuhan dari 4,38% menuju 4,3% di akhir 2018.
Untuk itu, menghadapi perang dagang lanjutan dari dua negara adidaya tersebut, sektor manufaktur berbasis ekspor perlu diperkuat demi meminimalisir dampak perlambatan pertumbuhan ekonomi dalam negeri.
“Sekaligus melepas ketergantungan terhadap ekspor berbasis bahan mentah,” kata dia.
Sebagaimana diketahui, hingga kuartal I-2019, pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya mampu naik tipis menjadi 5,07% dari 5,06% periode yang sama tahun sebelumnya. Kenaikan yang tak menggembirakan tersebut salah satunya terdampak dari perlambatan industri manufaktur.
"Pemerintah Indonesia sebaiknya mendukung industri manufaktur berbasis ekspor agar lebih kompetitif di pasar Internasional. Penguatan ini perlu dilakukan supaya dapat menangkap peluang dari perang dagang ini dengan menjadi alternatif pilihan bagi dua negara tersebut sebagai sumber pasokan barang mentah," tuturnya.
Dukungan ini dapat dimulai dengan memberikan pelonggaran sementara atau permanen terhadap barang-barang yang masih menghadapi restriksi seperti bea ekspor agar harga barang ekspor di pasar internasional lebih kompetitif. Namun, Indonesia pun perlu mendorong peningkatan nilai jual produk ekspor tersebut.
Insentif bagi pelaku usaha untuk melakukan ekspor produk olahan yang memiliki nilai jual lebih tinggi untuk selanjutnya dapat diberikan melalui skema keringanan kewajiban seperti keringanan pajak, baik itu bersifat temporer maupun permanen.
Sebelumnya, Trump mengancam bakal menaikkan tarif bea impor terhadap produk China dari 10% menjadi 25% terhadap. Bahkan, Trump menyebut bakal memberlakukan bea masuk tambahan terhadap barang-barang China senilai US$325 miliar.
Menurut pernyataan resminya, aturan tersebut bakal diberlakukan per 10 Mei 2019 mendatang. Adapun pernyataan itu diumumkannya sebab Trump merasa China telah melanggar kesepakatan dagang kedua negara tersebut yakni meningkatkan jumlah barang impornya.