Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto menilai Indonesia harus mengurangi beberapa produk yang biasanya diimpor dari negara lain. Hal ini sebagai langkah yang bisa dilakukan pemerintah dalam membuat neraca perdagangan defisit mengecil.
Arilangga menjelaskan, untuk memepercepat neraca perdagangan menjadi positif, setidaknya perlu dilakukan kajian lebih lanjut untuk melihat sektor-sektor mana saja yang bisa memperbaiki ekspor dan impor. Hal ini juga sebagai antisipasi dari dampaknya perang dagang antara Amerika Serikat dengan negara lain.
"Kalau trade war ini kita lebih sensitif pada sektor baja. Kita harus mempersiapkan agar tidak menjadi kebanjiran impor, karena selama ini produksi baja Kraktau Steel (KRAS) misalnya, dibanjiri oleh produk impor yang sulit untuk bisa meningkatkan utilisasi pabrik," jelas Airlangga di kantor Kemenko Perekonomian usai melakukan rapat koordinasi yang membahas peningkatan ekspor, Jumat (6/7).
Selain itu juga, sambungnya, di sektor keramik dari berbagai kualitas tentu industrinya, yang sulit untuk bersaing terutama industri menengah ke bawah. Karena itu, apabila Indonesia terus kebanjiran barang impor, maka industrilah yang akan terkena dampaknya dua kali. Sebab, saat ini pemerintah belum bisa menurunkan harga gas sesuai dengan apa yang diharapkan industri.
Untuk itu, kata dia, perlu adanya penghematan substitusi impor. Misalnya saja, impor bahan baku harus didorong untuk investasi, sementara bisa menggenjot penghematan devisa.
"Antara lain tentu untuk peningkatan utilisasi dari pabrik baja, pabrik keramik, pabrik semen, kemudian juga mendorong industri otomotif untuk ekspor," ujar Airlangga.
Selain itu, kata dia, Indonesia bisa saja memperlakukan perdagangan bebas (free trade) dengan Australia. Misalnya, ketika Indonesia bergantung terhadap impor gandum, sapi, Indonesia bisa melakukan kompensasi dengan Austrlia berupa garmen dan otomotif.
Kemenperin sendiri saat ini masih mendorong untuk membebaskan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM) untuk kendaraan sedan.
"Karena pasar ekspor otomotif itu adalah sedan. Sehingga switching-nya itu bisa cepat," jelas Airlangga.
Airlangga pun menyebut, industri tekstil merupakan sektor yang paling banyak mengimpor, terutama dalam hal penggunaan barang bakunya, yaitu Paracilin, salah satu bahan baku untuk serat dari petrokimia fiber.
Jika barangan baku itu dihemat dengan cara Indonesia memproduksi kembali atau membangun lagi pabriknya, setidaknya Indonesia bisa menghemat devisa senilai US$2 miliar per tahun.
"Karena ada pabrik yang dulu grupnya Texmaco, yang kini berhenti produksi. Jadi inilah yang harus kita dorong," tegas Airlangga.