Setelah PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), rencananya PT Pertamina (Persero) juga akan menerbitkan surat utang global.
Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Mariani Soemarno meminta Pertamina untuk menunda penerbitan obligasi global. Alasannya, tren imbal hasil atau bunga obligasi yang tinggi di tengah peningkatan volatilitas pasar keuangan dunia.
"Saya katakan ke Nicke (Dirut Pertamina Nicke Widyawati), kamu kan tidak butuh uangnya sekarang. Ya sudah, kamu mundur saja dari pasar," ujarnya, Rabu (31/10).
Pertamina telah mengutarakan rencana emisi global bonds menyusul PLN. Namun, lantaran kondisi pasar finansial global yang masih tak menentu, Rini menyarankan agar Pertamina memilih pendanaan pinjaman dollar AS dari perbankan ketimbang obligasi.
Akan tetapi, opsi pendanaan dari pinjaman perbankan juga dilakukan apabila Pertamina benar-benar membutuhkan dana saat ini untuk kelangsungan operasional.
"Jadi, bukan karena tidak laku, tapi karena bunganya terlalu tinggi, jadi saya mengatakan tidak. Pertamina sedang tidak butuh uangnya. Buat apa bayar mahal sesuatu yang tidak perlu, Pertamina bisa tarik sesuatu fasilitas yang masih ada di perbankan," kata dia.
Holding BUMN Minyak dan Gas ini memang berencana menerbitkan global bonds berdenominasi dollar AS untuk kebutuhan ekspansi. Di antaranya, investasi jangka panjang di sektor hulu, pembayaran utang jatuh tempo, dan kebutuhan belanja modal (capital expenditure/Capex).
Hingga akhir 2017, utang pertamina yang jatuh tempo dalam setahun mencapai US$452,88 juta, melonjak tajam dari sebelumnya US$130,29 juta. Sedangkan, utang obligasi jangka panjang mencapai US$8,49 miliar setara Rp127,35 triliun.
Sebelumnya, PLN baru saja menerbitkan global bonds dalam dollar AS dan euro senilai total US$1,5 miliar setara dengan Rp22,5 triliun. Surat utang itu terdiri dari US$500 juta bertenor 10,3 tahun berbunga 5,375%, US$500 juta bertenor 30,3 tahun berbunga 6,25%, serta 500 juta euro bertenor tujuh tahun berbunga 2,875%. (Ant).