Pemerintah Indonesia tengah membangun rancangan pengembangan energi ramah lingkungan atau energi baru terbarukan (EBT). Pemerintah melalui Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) telah menargetkan EBT sebesar 23% hingga tahun 2025.
Meski bersemangat mengembangkan energi ramah lingkungan, namun transformasi EBT sebagai energi bersih memakan biaya yang tidak sedikit. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan mengaku khawatir tidak bisa mencapai target tersebut.
"Apabila dilihat perkembangannya terutama menyangkut ketahanan ekonomi, gini ratio dan GDP per kapita Indonesia tidak sama dengan negara lain. Persoalan ini yang menjadi faktor kalau mau bahas transisi energi. Karena akan menimbulkan biaya baru soal transformasi energi," ujar Menteri Jonan.
Pertimbangan lain yakni saat mengambil langkah transformasi adalah faktor perbedaan atau disparitas energi di masyarakat Indonesia. Khususnya kawasan timur yang mana sebanyak 2% masyarakatnya sendiri masih ada yang belum terjamah listrik.
"Mereka yang di kawasan timur listrik aja belum dapat kok, sudah bicara EBT. Mereka nanti protes. Ini yang harus jadi fokus juga. Pilihannya itu jika disubsidi apakah nantinya akan dipakai untuk pengembangan EBT atau digunakan untuk layanan listrik semua masyarat Indonesia," kata Menteri Jonan.
Meski begitu, pemerintah tetap mendukung transformasi tersebut dengan tetap mengingatkan soal kapasitas negara saat ini. Apalagi saat ini sebanyak 56% masih menggunakan batu bara sebagai energi apabila dipaksakan, maka akan terjadi ongkos yang besar untuk mengabungkan kedua energi ini.
Jadi, kata Jonan apabila ingin transisi energi perlu dilihat dulu supply dan demand. Meski dari demand generasi muda memang mendukung adanya energi bersih tapi pada sisi supply perlu dibicarakan, berikut juga apakah harganya terjangkau.
Meski tidak dapat dipungkiri, tidak sedikit investor berminat mengembangkan EBT di Indonesia, khususnya untuk listrik. Namun, bila tarif investasinya tidak sesuai tentu hanya akan menjadi beban baru bagi negara dan bisa memberikan dampak yang serius pada kenaikan tarif listrik.
Masalah lainnya adalah mengenai sektor transportasi yang belum memungkinkan untuk didorong dalam menggunakan bahan bakar ramah lingkungan. Sebab, ketersediaan bahan bakunya yang masih tergolong rendah.
Jonan mencontohkan, mesin-mesin yang menggunakan bahan bakar bensin atau gasolin campurannya menggunakan ethanol. Nah, ethanol yang berasal dari tebu dikonsumsi oleh manusia. Sehingga, harus bersaing komoditasnya dengan konsumsi manusia.
Kalaupun ada komoditas alternatif seperti ketela atau pohon nira juga akan menghadapi kendala yang sama. Makanya, untuk skala nasional kata Menteri Jonan belum mampu untuk saat ini.
Makanya untuk mendorong pemanfaatan energi terbarukan tersebut, optimalisasi produksi industri sektor pertanian dan perkebunan perlu diprioritaskan. Misalnya untuk tanaman ketela pohon dilakukan dalam skala jutaan hektar, bisa untuk dikonversi menjadi ethanol sehingga bisa jadi campuran dan tidak perlu impor.