Kenaikan harga tiket pesawat disebut berdampak buruk pada industri pariwisata. Menteri Pariwisata Arief Yahya mengatakan tarif pesawat yang melambung berdampak signifikan pada kunjungan tamu hotel.
Arief mencontohkan, tingkat keterisian (okupansi) hotel berbintang di Lombok pada Januari 2019 hanya mencapai 30%. Angka tersebut di bawah rata-rata okupansi nasional pada periode yang sama 2018 yang sebesar 50%-55% secara tahunan.
"Secara nasional saya belum hitung, tapi beberapa provinsi mengatakan okupansinya menurun dari 60% menjadi 40%-30%," ujar Arif di Jakarta, Senin (11/2).
Arif mengklaim pihaknya sudah melakukan pertemuan dengan Kementerian Perhubungan membahas persoalan tersebut. Dari perundingan itu, Arief menekankan kepada industri penerbangan, apabila ingin melakukan kenaikan tarif pesawat, jangan dilakukan secara besar dan mendadak.
"Sesuatu yang besar dan mendadak pasti efeknya akan relatif tidak bagus, apalagi untuk kenaikan (tiket pesawat). Kalau penurunan, boleh besar dan mendadak juga boleh," kata dia.
Arif menyebut kenaikan tiket bukan hanya berdampak pada industri itu sendiri, melainkan juga akan berdampak pada industri pariwisata.
Pada kesempatan yang sama, Ketua Umum Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Hariyadi Sukamdani membenarkan adanya stagnansi dari okupansi hotel. Pada 2017 dan 2018, okupansi hotel berbintang hanya sekitar 55% saja.
Dia memperkirakan tren itu akan terus berlanjut pada 2019. Okupansi hotel akan bertengger di 55%. Bahkan, bisa menurun, apabila tiket pesawat masih dalam batas atas harga.
"Kami belum tau drop di berapa. Tapi sekarang saja dalam low season, anggota PHRI melaporkan rangenya antara 20%-40% atau turun okupansinya. Jadi, kalau kita anologikan, di akhir tahun 2019 bisa drop 20%-40%," kata Hariyadi.