Menyemai mimpi ketahanan pangan tanpa bakar lahan dan pestisida
Selama enam dekade terakhir, sektor pertanian selalu menorehkan kinerja yang baik. Bahkan, di saat sektor lain terkontraksi kala pandemi Covid-19, resiliensi pertanian nasional tetap kuat.
Berdasarkan data dari Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian Kementerian Pertanian (Kementan), pada 2021, laju pertumbuhan sektor agrikultura berada di level 1,08%, turun dari tahun sebelumnya yang mencapai 2,13%.
Sedangkan menurut catatan Badan Pusat Statistik (BPS), sepanjang tahun kemarin, produk domestik bruto (PDB) lapangan usaha pertanian atas dasar harga berlaku (ADHB) mencapai Rp2,25 kuadraliun. Nilai tersebut berkontribusi sebesar 13,28% terhadap PDB nasional.
Meski memiliki sumbangan cukup besar, namun kontribusi sektor pertanian mengalami penurunan sebesar 0,42% dibandingkan tahun 2020 yang mencapai 13,7%. Selain itu, selama dua tahun terakhir ekspor sektor pertanian juga terus menunjukkan tren positif.
Masih dari data BPS, nilai ekspor pertanian nasional tercatat sebesar Rp451,7 triliun atau meningkat 15,79% dibandingkan capaian ekspor 2019 yang mencapai Rp390,16 triliun. Sementara pada 2021, ekspor tercatat senilai Rp625,01 triliun atau naik 38,6% dari tahun sebelumnya.
“Yang terpenting, indikator kesejahteraan petani dua tahun terakhir juga terus naik. Sampai Maret 2022, nilai tukar petani (NTP-red), meningkat 0,42% menjadi 109,29,” ungkap Kepala Biro Perencanaan Kementan I Ketut Kariyasa, kepada Alinea.id, Jumat (29/4).
Impor melonjak
Namun demikian, di balik kinerja cemerlang sektor pertanian, nyatanya Indonesia masih sangat bergantung pada importasi untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional. Gandum dan bawang putih misalnya yang pemenuhan kebutuhannya 100% berasal dari impor, kedelai 97%, gula 70%, serta daging sekitar 50%. Pun dengan beras untuk kebutuhan sektor hotel, restoran dan kafe (Horeka) yang juga masih mengandalkan pasokan dari luar negeri.
Impor pertanian, kata Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas mengalami kenaikan signifikan sejak 2008-2018. Di mana pada 2008, impor 8 komoditas pangan nasional yang meliputi beras, jagung, bawang merah dan bawang putih, cabai besar dan cabai rawit, daging sapi/kerbau dan daging ayam, telur ayam, gula pasir, serta minyak goreng hanya sebesar 8 juta ton saja. Namun, sepuluh tahun kemudian, volume impor bahan-bahan pangan itu melonjak hingga 27,6 juta ton.
“Pada 2019 sempat turun jadi 25 juta ton. Tapi naik lagi menjadi 26 juta ton di 2020, kemudian 27,7 juta ton di 2021,” urainya, saat dihubungi Alinea.id, Jumat (6/5).
Selain karena meningkatnya permintaan, lonjakan impor bahan pangan juga terjadi karena adanya disparitas harga komoditas pangan lokal dan impor. Harga pangan impor menjadi lebih murah berkat beragam insentif. Alhasil, harga komoditas pangan lokal terlihat jauh lebih mahal.
Hal inilah yang kemudian membuat para petani enggan berproduksi. Pada akhirnya, produksi komoditas pangan pun terus mengalami penurunan tiap tahunnya.
“Timing impor yang tidak tepat selama pandemi, yang biasanya malah dilakukan saat panen, membuat harga semakin turun. Kalau begini terus, mana mau petani produksi?’” imbuhnya.
Neraca Perdagangan Pertanian
Tahun |
Ekspor |
Impor |
Neraca |
2015 |
US$28,04 miliar |
US$14,49 miliar |
US$13,55 miliar |
2016 |
US$26,63 miliar |
US$24,84 miliar |
US$10,79 miliar |
2017 |
US$33,52 miliar |
US$17,19 miliar |
US$16,33 miliar |
2018 |
US$29,39 miliar |
US$19,19 miliar |
US$10,19 miliar |
2019 |
US$26,31 miliar |
US$17,72 miliar |
US$8,59 miliar |
Sumber: Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Pertanian 2020-2024
Beras, adalah salah satu komoditas yang mengalami tren penurunan produksi selama tahun-tahun belakangan. Berdasarkan catatan BPS, luas panen padi pada 2021 mencapai sekitar 10,41 juta hektar, mengalami penurunan sebanyak 245,47 ribu hektar atau 2,30% dibandingkan luas panen padi di 2020 yang sebesar 10,66 juta hektar.
Sementara itu, produksi padi pada 2021 mencapai 54,42 juta ton gabah kering giling (GKG), mengalami penurunan sebanyak 233,91 ribu ton atau 0,43% dibandingkan produksi padi di 2020 yang sebesar 54,65 juta ton GKG. Dus, produksi beras untuk konsumsi pangan penduduk pun turut menurun 0,45% atau 140,73 ribu ton menjadi 31,3 juta ton. Padahal, di tahun 2020 produksi beras untuk konsumsi masyarakat dapat mencapai 31,50 juta ton.
Di saat yang sama, penurunan produksi komoditas pangan juga disebabkan oleh degradasi atau penurunan kualitas lahan pertanian maupun ladang. Ini adalah imbas penggunaan pupuk kimia dan pestisida berlebihan.
Pengamat Pangan Wibisono, menyitir data Tech-Cooperation Aspac Food and Agriculture Organization (FAO) alias Organisasi Pangan dan Pertanian pada 2019 lalu, 69% tanah pertanian di Indonesia dikategorikan rusak parah atau dalam hal ini tandus.
“Persoalan kerusakan lahan ini jarang sekali mendapat sorotan dari pemerintah. Malah, yang sering disalahkan biasanya dari faktor eksternal, seperti serangan hama,” ungkapnya, saat berbincang dengan Alinea.id belum lama ini.
Degradasi lahan, lantas diperparah dengan masalah iklim lainnya seperti banjir dan kekeringan. Meski dua masalah ini telah mendapat perhatian khusus, terutama dari masyarakat pemerhati lingkungan dan pemerintah belakangan, gagal pangan akibat banjir dan kekeringan belum juga bisa diatasi.
Dengan kondisi ini, ketahanan pangan (food security) tanah air hingga 2050 pun diperkirakan akan sangat rentan terhadap degradasi lahan dan perubahan iklim. Pada 2021 saja, FAO menggolongkan indeks ketahanan pangan Indonesia atau Global Food Security Index (GFSI) Indonesia pada level 59,2. Menurun ketimbang indeks di tahun sebelumnya, yang ada di level 61,4%.
“Ini berarti ancaman kelaparan karena adanya disrupsi produksi karena degradasi lingkungan yang saat ini sering membuat gagal panen semakin meningkat,” lanjut Wibisono.
Bahkan, dalam studi International Food Policy Research Institute (IFPRI) tahun 2019, degradasi lingkungan dan perubahan iklim dapat membuat 11,4 juta masyarakat Indonesia kelaparan pada 2050. Prediksi ini tentu mengancam target Indonesia untuk memenuhi tujuan pembangunan berkelanjutan atau sustainable development goals (SDGs) nomor dua, yakni nol kelaparan (zero hunger) pada 2030.
“Definisi kelaparan ini tidak hanya sekedar tidak ada suplai atau kurangnya produksi makanan saja, tapi juga terkait harga. Bisa saja produksinya cukup atau melimpah, tapi harganya tidak terjangkau," ujar Lead Co-Chair T20 Indonesia Bambang Brodjonegoro, dalam webinar, Kamis (7/3) lalu.
Harga mahal
Harga pangan yang mahal memang tidak berdampak pada seluruh masyarakat. Namun, hanya kepada golongan 40% penduduk miskin dengan daya beli rendah. “Pada akhirnya, ini bisa mengancam upaya kita untuk menurunkan kelaparan,” kata Bambang.
Salah satu cara untuk mencegah ancaman tersebut adalah dengan menerapkan pertanian berkelanjutan. Alih-alih dikelola dengan bahan kimia seperti pupuk kimia dan pestisida, pertanian berkelanjutan membantu kebutuhan manusia sekaligus mempertahankan atau meningkatkan kualitas lingkungan dan melestarikan sumber daya alam.
Pertanian berkelanjutan sendiri sangat bergantung pada pengembalian nutrisi ke tanah dengan meminimalisasi penggunaan sumber daya alam non-terbarukan seperti gas alam (yang digunakan sebagai bahan baku pupuk) dan mineral (seperti fosfat).
Sementara faktor yang paling penting dalam pendayagunaan sumber daya alam di suatu lahan adalah tanah, cahaya matahari, udara, dan air. “Sustainable agriculture itu memperhatikan tidak hanya kelestarian lingkungan, tapi juga keberlanjutan atau kontinuitas dari pangan itu sendiri, serta munculnya aktivitas ekonomi yang yang membantu masyarakat yang terlibat dalam pertanian itu sendiri,” tutur Menteri PPN/Kepala Bappenas tahun 2016-2019 itu.
Tanpa bakar lahan
Salah satu daerah yang telah menerapkan pertanian berkelanjutan adalah Kabupaten Kotawaringin Barat, Provinsi Kalimantan Tengah. Petani di ibu kota kabupaten Pangkalan Bun ini menerapkan sustainable agriculture dengan menjalankan Pembukaan Lahan Tanpa Bakar (PLTB).
Sejak mulai massif diterapkan pada 2010 lalu, penerapan PLTB di wilayah tersebut telah efektif memberikan tambahan pendapatan bagi keluarga petani hingga Rp1 juta per bulan dan meningkatkan hasil panen padi menjadi 6 ton per hektar per tahun, dari yang sebelumnya hanya 2 ton per hektar per tahun.
“Ujungnya bisa meningkatkan total produksi padi di Kalimantan dan Indonesia,” tutur Bambang.
Selain keekonomian, penerapan pertanian berkelanjutan juga memberikan manfaat lingkungan, yakni berpotensi menurunkan emisi di atas permukaan tanah sebesar 807.400 ton karbon dioksida ekuivalen (CO2eq) per tahun. Serta menurunkan degradasi hutan sampai 400 juta hektar sekaligus dapat menyediakan mata pencaharian bagi masyarakat sekitar.
Salah seorang petani Dayak, Daniel menceritakan, pihaknya mulai menerapkan pembukaan lahan tanpa bakar ini sejak Mei 2017. Ia menyadari budaya membuka lahan yang masih banyak dilakukan oleh masyarakat Dayak, terutama dari Kalimantan Barat telah merusak lingkungan.
Belum lagi, aksi tersebut juga melanggar Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 69 ayat (1) huruf H yang berbunyi, “Setiap orang dilarang melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar.”
Daniel kemudian menamai sistem ini sebagai Sanggau Farming System (SFS), karena dirinya berasal dari Dusun Sungai Langir, Desa Mengkiang, Kecamatan Kapuas, Kabupaten Sanggau, Provinsi Kalimantan Barat.
“Kami sadar, membuka ladang dengan cara membakar adalah melanggar hukum. Namun kami belum mendapatkan solusi untuk berladang yang tidak melanggar hulum,” katanya, saat dihubungi Alinea.id, Kamis (5/5).
Jika sebelumnya petani menyiapkan lahan dengan dibakar, Daniel mempersiapkan tanah dengan membuat ‘jalur kotor’ dan meletakkan hasil tebasan belukarnya di sana.
“Pada jalur kotor ditanami dengan tanaman tahunan, seperti jengkol, pisang, kopi dan jeruk. Satu meter sebelah jalur kotor, (jalur bersih-red) ditanami tanaman palawija, seperti jagung,” ungkap Daniel.
Memasuki musim penghujan, yang biasanya terjadi pada Oktober, Daniel mulai memanen palawija dan menggantinya dengan padi. Pada Februari tahun berikutnya, padi telah siap dipanen dan mulai mempersiapkan lahan kembali di bulan selanjutnya.
Setiap harinya, Daniel mengaku pendapatannya tak tentu, tergantung apa yang bisa dipanen dari ladangnya yang memiliki luas kurang lebih 1 hektar itu. Sementara untuk mingguan, biasanya ia dapat menjual hasil panen mulai dari Rp800.000 sampai Rp1 juta.
“Setiap minggu saya bisa menjual hasil panen harian dan bulanan, sepeti : sayur mayur, kangkung, bayam, terong, kacang panjang, cabai, pisang,dan jagung,” ungkapnya.
Namun demikian, untuk keberhasilan pelaksanaan SFS, petani memerlukan 5S, Man, Methode, Money, Machine, dan Management yang baik. Laki-laki yang lahir di Sungai Langer ini mengaku, pada saat pertama kali menerapkan SFS, ia menghabiskan dana setidaknya Rp18,5 juta per hektar. Biaya tersebut digunakan untuk membeli mesin dan alat-alat pertanian, benih tanaman, pupuk, mesin pompa air, BBM, hingga upah tenaga kerja.
“Tapi ini cuma sekali, waktu awal buka lahan saja. Setelahnya tidak perlu lagi, karena hanya butuh biaya untuk perawatan lahan saja,” imbuh dia.
Sementara itu, Direktur Lingkungan Hidup Kementerian PPN/Bappenas Medrilzam mengatakan, pemerintah melalui Indonesia Climate Change Fund Trust (ICCFT) atau Dana Perwakilan Perubahan Iklim Indonesia yang bekerjasama dengan Yayasan Orangutan Indonesia (Yayorin), sejak 2010-2019 telah melaksanakan tujuh proyek terkait pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) dan intensitas emisi GRK.
Di mana beberapa di antaranya dilakukan melalui implementasi pertanian berkelanjutan, yakni dengan membentuk kelompok Hutan Kemasyarakatan (HKm). Di saat yang sama, Bappenas juga menggandeng petani lokal untuk menerapkan PLTB.
“Yang berperan aktif mengelola dan menjaga kawasan hutan secara lestari,” kata Medrilzam, kepada Alinea.id, Jumat (6/5).
Skema HKm dipilih sebagai strategi untuk mempertahankan kawasan hutan bergambut penyangga tidak beralih fungsi untuk perkebunan sawit. Hutan rawa bergambut juga dipertahankan sebagai area penyimpan/penyerap emisi karbon.
Selain itu, ICCTF bersama Yayasan FIELD juga mendirikan Sekolah Lapang Tambak untuk menghentikan penggunaan pupuk kimia dan menggantinya dengan pupuk organik. Kemudian, Sekolah Lapang Pertanian yang dikembangkan untuk meningkatkan produktivitas padi dan hortikultura. Ada pula penanaman mangrove di area akuakultur juga telah dilakukan.
Nilai dan Pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) Pertanian Sempit
Tahun |
PDB |
Laju Pertumbuhan |
2015 |
Rp1.184 triliun |
3% |
2016 |
Rp1.267 triliun |
3,26% |
2017 |
Rp1.348 triliun |
3,62% |
2018 |
Rp1,417 triliun |
3,66% |
2019 |
Rp1.490 triliun |
3,33% |
2020 |
Rp1.575 triliun |
2,13% |
2021 |
Rp1.672 triliun |
1,08% |
Sumber: Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian Kementerian Pertanian
Selain itu, masyarakat juga berhasil menerapkan pertanian padi dan hortikultura pekarangan secara organik dengan membuat pupuk mandiri. Proyek ini telah menghasilkan pendapatan tambahan bagi masyarakat lokal dan mengurangi biaya produksi.
Hasilnya, masyarakat mampu mendapatkan pemasukan tambahan hingga Rp1 juta per bulan dari polikultur organik udang dan ikan. Hasil panen padi meningkat dari 5,3 ton per hektar menjadi 8 ton per hektar. Di saat yang sama, pengeluaran keluarga untuk membeli sayuran juga dapat mengalami pengurangan mencapai Rp150.000 per bulan per kepala keluarga (KK).
Penanaman padi dari 1x per tahun menjadi 2x setahun, menjadi penghasil pupuk organik untuk tambak dan pertanian, serta dapat mengembangkan 10 hektar tambak organik baru.
“Dari segi lingkungan mampu menurunkan emisi GRK sebesar 43,85 ton CO2eq/tahun. Dari segi sosial, dapat meningkatkan kapasitas masyarakat rentan di darat dan pesisir,” urai Medrilzam.
Terpisah, Direktur Jenderal Tanaman Pangan Kementan Suwandi mengungkapkan, untuk mengembangkan pertanian berkelanjutan, pihaknya kini telah berfokus dalam mendorong pertanian organik bersertifikasi. Upaya ini sekaligus juga untuk meningkatkan nilai tambah hasil tani dalam upaya pertumbuhan perekonomian di pedesaan dan nasional.
“(Pertanian-red) organik juga mampu menjaga ekosistem kita, memperbaiki struktur tanah, menyehatkan dan memberi nilai tambah,” kata Suwandi, kepada Alinea.id, Sabtu (23/4).