Menyikapi kritik publik terhadap perusahaan
Ada perusahaan yang menanggapi kritik dengan santai, dan menjadi masukan yang positif untuk memperbaiki kinerja. Ada pula yang menganggapnya sebagai penghinaan dan menghancurkan reputasi.
Beberapa kali, sempat mencuat kasus kritik terhadap sebuah institusi yang berujung pelaporan ke pihak yang berwajib.
Salah satunya, kasus kasus yang membelit Prita Mulyasari 10 tahun lalu. Saat itu, Prita menyampaikan keluhannya terhadap layanan di Rumah Sakit Omni Internasional Alam Sutera, Tangerang. Tulisan kritik itu kemudian menyebar di media sosial.
Akibatnya, pada 2009 Prita dilaporkan ke pihak yang berwajib dengan tuduhan pencemaran nama baik dan dijerat Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Kasus ini menyita perhatian publik. Prita sempat ditahan. Namun, pada 2012 Mahkamah Agung mengabulkan peninjauan kembali (PK) Prita.
Pada Maret 2015, komika Muhadkly MT alias Acho menulis kritiknya kepada pengelola dan manajemen terhadap fasilitas Apartemen Green Pramuka City di blog pribadinya. Ada empat hal yang dikritiknya. Pertama, terkait sertifikat yang tak pernah diterimanya. Kedua, terkait sistem perparkiran.
Ketiga, soal iuran pengelolaan lingkungan. Terakhir, biaya untuk renovasi unit apartemennya.
Akibat kritik itu, Acho dilaporkan ke pihak kepolisian atas tuduhan pencemaran nama baik. Dia pun ditetapkan sebagai tersangka. Namun, pada Agustus 2017, kasus ini berujung damai antara pengembang dan Acho.
Terakhir, kasus Yotuber Rius Vernandes dan kekasihnya Elwiyana Monica yang mengkritik menu makanan kelas bisnis maskapai Garuda Indonesia di Instagram story, juga sempat menyita perhatian beberapa waktu lalu. Kritik itu berupa foto kertas dan tulisan tangan berisi menu makanan.
Tak lama kemudian, Rius dan kekasihnya dilaporkan pihak maskapai, dalam hal ini Serikat Karyawan Garuda (Sekarga) ke pihak yang berwajib. Mereka dijerat melanggar Pasal 27 ayat 3 jo Pasal 45 ayat 3 dan Pasal 28 ayat 1 jo Pasal 45A ayat 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan atau Pasal 310 dan atau Pasal 311 KUHP tentang Pencemaran Nama Baik, sebelum akhirnya kasus ini diselesaikan secara damai.
Bagaimana seharusnya Garuda bersikap?
Menanggapi kasus Garuda Indonesia, pendiri perusahaan konsultasi manajemen Halma Strategic, Halim Mahfudz menilai, Garuda terlalu terburu-buru dalam menyelesaikan krisis yang tengah dialami perusahaannya. Maskapai nasional itu, kata Halim, tak melakukan pengecekan internal terlebih dahulu.
"Syukur Garuda membatalkan gugatan karena jika terus menggelinding, reaksi publik akan lebih banyak berpihak pada pelanggan daripada ke Garuda," ujar Halim saat dihubungi Alinea.id, Selasa (30/7).
Menurut dia, langkah terbaik Garuda bila perusahaannya merasa terancam karena kritik adalah dengan klarifikasi dua pihak terlebih dahulu. Pihak Garuda, kata Halim, harus menelaah dari perspektif internal, lalu memutuskan langkah yang bisa diambil.
"Tentu dengan segala kalkulasi potensi kerusakan, keluaran dari langkah, dan dampaknya pada reputasi perusahaan," katanya.
Dihubungi terpisah, Ketua Cyber Law Center Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Sinta Dewi memandang, apa yang disampaikan Youtuber Rius Vernandes dan kekasihnya Elwiyana Monica atas pelayanan jasa penerbangan kelas bisnis maskapai Garuda Indonesia sama sekali tak melanggar pasal yang sempat menjerat keduanya.
"Mereka hanya ingin memenuhi unsur haknya sebagai penumpang maskapai. Kalau mengkritik di luar haknya dan ada niat untuk menghina, baru bisa kena," ujar Sinta ketika dihubungi, Selasa (30/7).
Meski demikian, dia tetap menyayangkan cara penyampaian kritik yang dilakukan keduanya. Menurut Sinta, sebaiknya kritik disampaikan terlebih dahulu kepada jasa penerbangan terkait sebelum mengunggahnya di media sosial.
Sementara itu, Guru Besar Bidang Ilmu Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Rhenald Kasali mengatakan, manajemen krisis dan komunikasi publik Garuda Indonesia masih terlalu ketinggalan zaman. Terutama, ketika Garuda mengeluarkan larangan mendokumentasikan kegiatan di pesawat bagi penumpang maupun awak kabin.
Surat bernomor JKTCCS/PE/60145/19 itu berisi arahan manajemen kepada awak kabin agar bersikap tegas melarang penumpang mengambil foto dan video. Menurut Rhenald, saat ini kita hidup di era #MO, yakni mobilisasi dan orkestrasi melalui teknologi digital, dengan mengoptimalkan enam pilar, yakni super app, artificial intelligence, big data, IOT, cloud, dan broadband network.
"Di mana semua orang terlibat mengorkestrasi melalui 4G dan sebentar lagi menjadi 5G. Jadi yang dilakukan kehumasan Garuda dalam meng-handle krisisnya saat ini tidak bisa lagi dengan cara kehumasan konvensional, seperti press release atau pendekatan old power," ujar Rhenald saat dihubungi, Selasa (30/7).
Kini, kata dia, masyarakat menjadi partisipan aktif dalam menentukan masa depan sebuah perusahaan maupun publik figur. Salah bertindak, perusahaan bisa kewalahan sendiri. Untuk itu, menurutnya, Garuda Indonesia sudah seharusnya mengubah pola tersebut dengan mengikuti perkembangan zaman.
"Bisa dengan pendekatan sharing shaping, yaitu berupa pendekatan yang menyesuaikan perilaku sesuai selera masyarakat dan lebih melibatkan opini masyarakat," tuturnya.
Pendekatan sharing shaping menurut Rhenald, salah satunya mengandalkan trik menunggangi berita atau isu. Metode trik ini, lanjut Rhenald, misalnya ketika publik ramai membicarakan sesuatu, sebuah perusahaan bisa ikut membahas hal itu atau berbuat sesuatu untuk menarik perhatian publik.
“Ini cara komunikasi dengan teknik #MO, yaitu metode story telling, hype, actionable, and relevant-emotional," ucapnya.
Hal yang semestinya dilakukan perusahaan
Sikap PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) seakan-akan berbeda dengan beberapa perusahaan lain yang geram karena kritik. Pada Sabtu (20/7), Bank Mandiri mendapat kritik dari masyarakat karena kesalahan sistem yang berimbas perubahan saldo secara signifikan terhadap 1,5 juta rekening nasabah.
Akan tetapi, pihak Bank Mandiri langsung mengeluarkan klarifikasi dan menggelar konferensi pers terkait kesalahan sistem ini. Bahkan, admin media sosial Bank Mandiri terlihat responsif membalas satu per satu keluhan warganet di kolom komentar.
Menurut corporate secretary Bank Mandiri Rohan Hafas, pihaknya lebih mengedepankan cara-cara yang persuasif ketimbang membela perusahaan sendiri.
"Kita utamakan membalas sesuai informasi apa yang dibutuhkan nasabah, jadi kita lebih straight to the point, ya memang ada masalah, dan kita coba tenangkan mereka dengan menjamin bahwa uang mereka tidak hilang," ujar Rohan ketika dihubungi, Selasa (30/7).
Menurut Ketua Bidang Keprofesian Asosiasi Psikologi Industri dan Organisasi (APIO) Shanty Komalasari, pendekatan-pendekatan seperti yang dilakukan Bank Mandiri sudah cukup bijak dan patut ditiru.
"Klarifikasi secara resmi dan yang menyampaikan adalah orang yang paling dapat dipertanggung jawabkan itu sudah tepat, membalas komen juga baik karena bisa lebih dekat kepada publik," ujar Shanty saat dihubungi, Selasa (30/7).
Di samping itu, Shanty menilai, perusahaan atau institusi yang mendapatkan kritik dari masyarakat, seharusnya perlu menyusun strategi-strategi baru, untuk membangun citra positif lebih baik dari sebelumnya. Mereka pun, lanjut Shanty, perlu menguatkan segi riset dan pengembangan sebagai evaluasi berkala.
"Paling utama dengan merumuskan brand value yang disesuaikan dengan kebutuhan terkini, kemudian diaplikasikan melalui program-program khusus, seperti sosialisasi dan mungkin membuat slogan tertentu yang lebih menonjolkan value yang ingin ditunjukkan untuk meningkatkan citra perusahaan," katanya.
Sejauh ini, kata Shanty, perusahaan dan institusi yang pernah mendapatkan kritik, kemudian bersikap reaktif, sangat berhati-hati sekali dalam menentukan sikap.
“Cenderung tertutup ya, seyogyanya perlu lebih terbuka dan menunjukkan pada masyarakat bahwa mereka telah benar-benar melakukan perbaikan. Itu akan lebih melekat di benak konsumen dari melihat bukti-bukti yang ada," tuturnya.
Sementara itu, Sinta Dewi memandang, kritik di media sosial bisa diterjemahkan berbeda oleh pihak yang dikritik. Apalagi, kata dia, ada UU ITE yang justru akan semakin memberatkan posisi konsumen, saat sembarangan menyampaikan kritik di media sosial.
Sinta menyarankan, selain menyampaikan kritik secara langsung kepada perusahaan terkait, jalan aman lainnya yang bisa ditempuh masyarakat adalah dengan mengadukannya kepada pihak-pihak yang bisa menjembatani kritik tersebut.
"Bila perusahaan tidak merespons dan khawatir tidak ada perbaikan, sebenarnya kita bisa menyampaikan kritikan ke lembaga perlindungan konsumen yang ada," ucap Sinta.