close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi Alinea.id/Firgie Saputra.
icon caption
Ilustrasi Alinea.id/Firgie Saputra.
Bisnis
Rabu, 18 Agustus 2021 17:34

Meramal nasib saham unikorn Bukalapak

Harga saham Bukalapak jatuh di bawah harga saat IPO yang sebesar Rp850 per lembar saham.
swipe

Bak roller coaster, saham BUKA yang sempat melejit hingga mengalami auto rejection atas (ARA) kemudian berbalik jatuh. Saham PT. Bukalapak.com yang baru saja melantai di bursa pada Jumat, 6 Agustus lalu itu kini jatuh di bawah harga ketika Initial Public Offering (IPO/penawaran perdana saham). 

Memang, sebagai e-commerce pertama yang melantai di bursa, saham Bukalapak jelas menjadi buruan para investor, baik lokal maupun asing. Tak lama setelah dibuka dengan harga penawaran perdana sebesar Rp850 per lembar saham, harga saham Bukalapak langsung melejit 24,71% menjadi Rp1.060 per lembar saham dan sempat mencapai ARA dalam beberapa menit.

Selanjutnya, pada Senin (9/8) atau hari kedua perdagangan di Bursa, saham Bukalapak sempat kembali meroket hingga 25% menjadi Rp1.325 per lembar saham. Sayangnya, pada sesi kedua perdagangan hari tersebut, harga saham BUKA anjlok karena adanya aksi jual dari investor asing yang cukup besar nilainya, yakni mencapai Rp685,02 miliar. 

Dengan kondisi itu, e-commerce yang telah mendapat label unikorn ini harus berpuas dengan harga Rp1.110 saat penutupan perdagangan, atau ditutup menguat 4,72% dari hari sebelumnya. Penurunan di hari kedua itu nampaknya menjadi sinyal penurunan harga saham Bukalapak di hari-hari berikutnya. 

Benar saja, pada perdagangan hari ketiga, yaitu Selasa (10/8), meski dibuka di harga Rp1.130 per lembar saham namun saham Bukalapak ditutup turun 6,76% menjadi Rp1.035. Hari itu, BUKA sempat berada di level tertingginya di harga Rp1.160. Penurunan itu lagi-lagi terjadi lantaran investor asing menjual saham BUKA dengan nilai bersih mencapai Rp166,8 miliar.

Setelah perdagangan kembali dibuka pada Kamis (12/8), saham Bukalapak kembali mengalami penurunan signifikan sebesar 6,76% menjadi Rp965 dan ditutup di zona merah. Kali ini, investor asing melakukan penjualan dengan nilai bersih bahkan mencapai Rp880,67 miliar.

Aplikasi dan logo Bukalapak.com/Foto Reuters.

Selanjutnya, pada penutupan perdagangan Jumat (13/8), harga BUKA kembali ditutup turun sebesar 1,04% menjadi Rp955 per lembar saham. Kemudian, pada Senin (16/8), harga saham Bukalapak turun lagi hingga 6,81% menyentuh harga Rp890 per lembar saham. BUKA juga sempat tersandung auto rejection bawah (ARB) beberapa kali.

Seperti diketahui, sejak pandemi ketentuan batas ARB diubah menjadi 7% untuk menahan penurunan harga saham dan IHSG secara signifikan. Adapun ketentuan ARA untuk harga saham Rp200 – Rp5.000, batas naiknya dalam sehari adalah 25%.

Libur Kemerdekaan RI nampaknya tak berimbas baik pada perdagangan saham anak usaha PT. Elang Mahkota Teknologi Tbk. atau Emtek ini. Hal ini terlihat dari harga saham BUKA yang ditutup pada level Rp830, jauh dari harga saat awal IPO atau merosot 6,7% pada Rabu (18/8).

Aksi ambil untung

Hype IPO saham Bukalapak memang sudah terjadi sebelum marketplace bercorak merah itu resmi melepas saham ke publik. IPO ini bahkan merupakan yang terbesar dalam sejarah Indonesia yang mencapai Rp21,4 triliun.

Meski bisa melejit dalam hitungan detik setelah IPO, namun nyatanya dalam beberapa hari harga saham BUKA menurun. Bahkan, di sosial media tersebar curha-curhat para investor anyar yang kelimpungan karena merugi berkat anjloknya BUKA.

Analis Panin Sekuritas William Hartanto menjelaskan, anjloknya harga saham Bukalapak sejak seminggu terakhir disebabkan oleh aksi profit taking atau ambil untung dari para investor asing. 

Hal ini terlihat dari adanya penjualan dengan harga saham di atas harga saat IPO yakni Rp850 per lembar. Selain itu, jika dilihat dari sisi permintaan dan penawaran atau penjualan, penjualannya lebih besar sehingga terjadi penurunan harga saham. 

"Ini hal yang wajar, kalau sudah profit pasti dijual," katanya, kepada Alinea.id, Senin (16/8). 

Menurutnya, penjualan saham dilakukan oleh investor yang telah memiliki saham BUKA sejak lama, lalu memutuskan untuk menjual saham tersebut setelah perusahaan melantai di bursa. Hal inilah yang kemudian juga membuatnya yakin tidak ada aksi short selling.

"Apalagi setahu saya juga short sell sudah dilarang sama Bursa (Bursa Efek Indonesia/BEI) sejak tahun lalu," imbuhnya.

Untuk diketahui, PT Bursa Efek Indonesia (BEI) memperpanjang larangan transaksi short selling yang diberlakukan sejak 2 Maret 2020. Itu artinya, transaksi short selling belum diperbolehkan, tidak diperkenankan, alias masih dilarang. 

Data historis harga saham Bukalapak. (Sumber: RTI Business).
Tanggal Pembukaan Penutupan Tertinggi Terendah Volume perdagangan (lembar saham) Perubahan
6 Agustus 1.055,00 1.060,00 1.060,00 1.055,00 524,12 juta  19,10%
9 Agustus 1.325,00 1.110,00 1.325,00 1.110,00 3,58 miliar 4,72%
10 Agustus 1.130,00 1.1035,00 1.160,00 1.035,00 994,51 juta -6,76%
12 Agustus 965,00 965,00 1.000,00 965,00 2,75 miliar -6,76%
13 Agustus 940,00 955,00 1.035,00 910,00 3,24 miliar -1,04%
16 Agustus 960,00 890,00 965,00 890,00 1,07 miliar -6,81%

Sepakat dengan William, Direktur Ekuator Swarna Investama Hans Kwee juga menilai bahwa turunnya harga saham BUKA beberapa hari terakhir disebabkan oleh aksi jual oleh para investor. Belum lagi, saham yang dilepas perusahaan ke publik cukup banyak.

Melansir RTI Business, hingga hari penutupan perdagangan Jumat (13/8) lalu, investor asing telah melego saham (net sell) Bukalapak hingga Rp1,58 triliun di pasar reguler. Sebaliknya, di saat yang sama investor asing yang melakukan pembelian saham (net buy) sebanyak Rp310 miliar.

“Saham yang di lepas cukup besar ke publik. Nampaknya investor ambil untung dulu selepas IPO, karena ARB cuman 7%, maka orang menjadi panik takut enggak bisa jual,” kata Hans saat dihubungi Alinea.id, Selasa (17/8).

Dengan kondisi itu, harga saham Bukalapak yang sempat mencapai level tertinggi Rp1.325, dengan nilai kapitalisasi pasar (market cap) sebesar Rp136,5 triliun jelas mengalami penurunan. Pada perdagangan Senin (16/8), market cap Bukalapak longsor menjadi Rp91,7 triliun. Selain itu, aksi profit taking juga menyebabkan market cap perusahaan yang didirikan sejak 2010 itu terpangkas Rp44,8 triliun.

Jika hal ini terus berlanjut, Hans yakin, harga saham Bukalapak akan kembali anjlok di level Rp600-Rp700 per lembar saham, atau bahkan bisa di bawah harga perdana dan mengalami ARB. Sebab, menurutnya jika acuannya adalah harga IPO di Rp850 maka psikologis investor untuk melakukan cut loss di sekitar 30%.

"Karena kalau orang beli saham terus rugi, menurut saya orang mentolerir kerugian untuk buang 20-30%. Kalau Rp850, 20% kan Rp170, berarti kan di Rp680. Kalau dia mentolerir sampai 30%, ya Rp600-700 penurunan di pasar," terangnya.

Namun sebaliknya, harga saham Bukalapak dapat mengalami perbaikan atau rebound, dengan potensi penguatan ke level Rp950 hingga Rp1.000 per lembar saham. “Investor sebaiknya menunggu dulu apakah tekanan harga di saham ini terus berlanjut atau tidak,” sarannya.

Analis Sucor Sekuritas Hendriko Gani juga menyarankan kepada para investor untuk wait and see, hingga tekanan jual pada saham Bukalapak mereda. Setelah itu, barulah pemodal dapat kembali masuk.

“Saham Bukalapak sebetulnya memiliki potensi growth yang tinggi. Namun, karena industrinya relatif baru di Indonesia, serta masih membukukan net loss, saham ini memiliki risiko investasi yang cukup tinggi,” ungkap dia kepada Alinea.id, Rabu (18/8).

Sementara itu, menurut Analis Artha Sekuritas Indonesia Dennies Christoper Jordan, alasan pelemahan emiten terjadi karena valuasi BUKA terlampau mahal dan tidak sesuai dengan kinerja riil perusahaan. Mengutip prospektur perusahaan, Bukalapak tercatat masih mengalami kerugian sebesar Rp323,805 miliar pada kuartal-I 2021.

Dengan valuasi perusahaan yang tinggi, tak heran jika banyak investor yang mengambil untung setelah IPO. 

Namun, di luar pelemahan harga saham BUKA, Dennies mengaku belum bisa membaca arah pergerakan harva saham emiten ini ke depannya. Sebab, sampai saat ini belum ada tolak ukur (benchmark) yang jelas untuk saham dari sektor teknologi. 

"Tapi potensi untuk menguat lagi juga masih sangat terbuka lebar. Karena saat ini BUKA masih sangat dipengaruhi euforia pasar," jelas dia, kepada Alinea.id belum lama ini.

Ilustrasi Pexels.com.

Adapun menurut Analis Panin Sekuritas William Hartanto, saham Bukalapak diperkirakan masih akan melanjutkan tren kenaikan dengan estimasi penguatan ke level Rp1.500 per saham.

Tidak hanya itu, Bukalapak yang masuk ke dalam indeks saham teknologi di BEI pun dinilai memiliki prospek positif ke depannya. Terlebih lagi, jika semakin ramai unikorn asal Indonesia yang mencatatkan saham di pasar modal domestik.

"Indeks techno jadi masih bisa menguat lagi selama tren saham-saham teknologi masih berlangsung, mungkin hingga akhir tahun," ujarnya.

Namun demikian, agar bisa mengubah tren penurunan ke arah penguatan, aksi jual asing terhadap saham BUKA harus dihentikan. Di saat yang sama, cara ini juga tergantung dari bagaimana investor lokal merespon aksi jual bersih asing tersebut. Seperti apakah ada investor lokal yang berani melakukan pembelian besar-besaran saat investor asing menjual saham yang dimilikinya atau tidak.

Dengan cara ini, William yakin pelemahan emiten akan mereda. "Tapi bukan berarti langsung jadi peningkatan selama berhari-hari, mungkin saja akan ada konsolidasi dulu," bebernya.

Ilustrasi Alinea.id/Firgie Saputra.

img
Qonita Azzahra
Reporter
img
Kartika Runiasari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan