close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Meraup cuan dari bisnis kematian. Alinea.id/Oky Diaz Fajar
icon caption
Meraup cuan dari bisnis kematian. Alinea.id/Oky Diaz Fajar
Bisnis
Jumat, 28 Februari 2020 06:06

Meraup cuan dari kematian

“Tidak ada hal yang pasti di dunia ini, kecuali pajak dan kematian,” kata Benjamin Franklin.
swipe

Kematian selalu menjadi momen yang memilukan bagi keluarga, teman, dan kerabat yang ditinggalkan. Baik karena sakit, pembunuhan, maupun kecelakaan, kedatangan malaikat maut selalu menjadi momok yang mengerikan bagi tiap orang. Sampai saat ini belum ada satupun obat yang membuat peminumnya hidup abadi.

Sebagai makhluk yang beradab, kematian manusia tidak terlepas dari tradisi dan ritual yang menyertainya. Untuk menjalani segala prosesi tersebut, pihak yang berduka rela melakukan apa saja agar sang mendiang mendapat ketenangan di akhirat, termasuk menyisihkan harta bendanya.

Hal inilah yang membuat Andri Jimmy Ranti (46) tertarik menekuni bisnis kematian. Jimmy telah malang melintang di dunia tersebut sejak tahun 2000. Dia mengawali karier berbisnis kematian dari menjual tanah makam di Bogor bersama ahli fengshui.

Kemudian, Jimmy menjual bong pay (batu nisan ala tionghoa), menjadi agen pemasaran makam di Taman Kenangan Lestari (Karawang) dan San Diego Hills (Karawang), hingga menjadi Direktur Golden Gate Funeral Services, sebuah perusahaan kargo jenazah. 

Perbedaan visi-misi membuat Jimmy dan sang adik, Frans Henrik (45) mendirikan Eternity Funeral Services sejak Juli 2019 silam. “Kalau Saya sama Pak Frans sudah panggilan dari Yang di Atas. Saya pernah usaha yang lain dibikin nol (sama Tuhan),” ucap Jimmy ketika ditemui di workshop miliknya di bilangan Kalideres, Jakarta Barat, Kamis (27/2). 

Masih di kawasan Kalideres, mereka memiliki kantor operasional di Ruko Indah 2. Eternity menyediakan layanan kargo jenazah dan pembuatan peti mati. Keduanya memiliki jaringan luas berkat pengalaman di bisnis tersebut. “Internasional saya layani. Ekspor maupun impor (kargo jenazah),” ujar Frans. 

Jimmy menyebut, satu paket peti mati termurah yang ditawarkannya senilai Rp3,5 juta. Harga ini sudah termasuk jasa pengangkutan jenazah. “Kalau kami dari satu peti mati, kami untung Rp500.000. Kami jual paket Rp3,5 juta, untung Rp500.000, wajar enggak? Kalau satu hari targetin lima (peti) keluar, untung Rp2,5 juta,” ungkapnya. 

Suasana workshop Eternity Funeral Services di Kalideres, Jakarta Barat, Kamis (28/2). Alinea.id/Syah Deva Ammurabi

Kemudian, pihaknya juga memiliki paket lain seharga Rp7 juta, Rp8 juta, dan Rp12 juta. Hal yang membedakan harga paket adalah ukuran, bahan, bentuk, dan aksesoris peti. Meskipun demikian, 70% pelangggan mengambil paket seharga Rp3,5 juta. 

“Sekarang, namanya kematian kan kesusahan. Kalau yang mampu, silakan bayar yang mampu. Kalau yang enggak mampu, kudu kami bantu (subsidi),” ujarnya. Dana subsidi didapatkannya melalui donasi dari berbagai pihak.

Pihaknya berencana pindah ke gudang yang lebih besar di sebuah kawasan pergudangan dekat Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Pasalnya, mereka mulai kewalahan dalam melayani pesanan yang terus berdatangan.

“Jujur saja, Eternity mulai dari Juli 2019 sampai saat ini, tempatnya udah enggak cukup. Ambulans saya dua, mau nambah dua lagi. Sudah kewalahan. Kadang-kadang kami mesti sewa karena sudah kekurangan. Orang dari enam, sembilan, sekarang 12 (masih) kurang karena pelayannya nambah,” terangnya.

Frans menambahkan, pihaknya berencana membuka rumah duka di Kota Tangerang Selatan, Banten. “Lahan sudah ada, tinggal cari investor,” bebernya.

Mereka mengaku akan menjalani bisnis pelayanan jenazah seumur hidup. “Kerjaan kami makin tua, makin beruban, makin dicari orang. Kerjaan ini kalau kami mati, baru pensiun,” tegas Jimmy.

Pemilik Toko Kain Kafan Hj Wahyu Siti Aisyah (60) ketika menunjukkan simpanan kain kafan di rumahnya, Suradita, Cisauk, Kabupaten Tangerang, Banten, Senin (24/2). Alinea.id/Syah Deva Ammurabi

Sebagai negara yang mayoritas penduduknya beragama muslim, bisnis kain kafan tak kalah menggiurkan. Sekitar 25 tahun yang lalu, Siti Aisyah (56) bersama bapaknya, Haji Lili merintis toko perlengkapan makam H. Lili di depan Rumah Sakit Mutiara Bunda, Ciledug, Tangerang, Banten. 

Bisnisnya berawal dari permintaan seseorang yang mencari kain kafan untuk korban kecelakaan di Ciledug kepada Lili yang berprofesi sebagai tukang memandikan jenazah.

“Dari situ saya jualan kain kafan. Saya sampai dimarahi adik-adik saya. Saya dagang seolah-olah mau bisnisin orang tua saya. Orang tua saya punya kemampuan memandikan mayat,” ungkapnya saat berbincang dengan Alinea.id, Senin (24/2).

Sejak 2009, dia dan suami pindah rumah ke Suradita, Cisauk, Kabupaten Tangerang. Di rumahnya, ia mendirikan toko kain kafan Hj. Wahyu, sesuai sapaan akrabnya yang diambil dari nama sang suami. 

“Suami kalau nyampur dengan orang tua enggak enak, seolah-olah dia enggak bisa mandiri. Saya dengar kata-kata itu, ikut suami ke mana,” bebernya.

Toko H Lili yang dirintisnya bersama sang ayah, kini dikelola oleh adiknya. “Saya berusaha berjuang masa lalunya. Alhamdulillah, adik-adik saya semua bisa menikmati. Dihajiin semuanya. Saya anak tertua,” ungkapnya.

Wahyu menjelaskan, dirinya menjual satu set perlengkapan jenazah seharga Rp650.000 untuk lebar kain kafan satu meter dan Rp700.000 untuk lebar kain kafan 1,5 meter. Adapun satu set tersebut berisi kain kafan, bumbu-bumbu (sabun, kamper, cendana, dan bedak), papan, kapas, tikar, dan bunga mawar yang dikemas di dalam karung.

“Di sini enggak bisa dibilang. Kadang-kadang sebulan enggak dapat. Kadang-kadang sebulan, dua atau tiga. Tergantung rezeki di sini. Kalau di sana, di Ciledug, sehari-semalam bisa sepuluh gulung ke atas,” jelasnya. Bulan ini saja, dirinya sudah menjual lima set kain kafan.

Ia mengakui, sedikitnya pesanan yang didapat lantaran lokasinya yang berada di tengah kawasan perumahan. Hal ini berbeda dengan Toko H Lili yang berada di jalan raya. 

“Aku bukan mendoakan orang meninggal, tapi aku meminta rezeki Ya Allah,” katanya seraya menirukan doa yang dipanjatkan.

Meskipun demikian, Wahyu berhasil menyekolahkan kedua anaknya ke bangku kuliah dari menjual kain kafan. Kini dia fokus menikmati hari tua dengan berdagang kain kafan dan uang pensiun almarhum suami yang bekerja di Kementerian Pekerjaan Umum.

Pemilik Indah Prasasti H.M. Djuanda (60) sedang menunggu pembeli batu nisan dan prasasti di kiosnya, Kalibata, Jakarta Selatan, Selasa (25/2). Alinea.id/Syah Deva Ammurabi

Terkait ritual kematian, kebanyakan masyarakat Indonesia dikebumikan di area pemakaman. Karenanya, kerajinan batu nisan juga menjadi peluang yang menjanjikan. Pemilik Indah Prasasti H.M. Djuanda (60) telah berjualan di pinggir Jalan Raya Kalibata, Jakarta Selatan sejak 1995. Ia merupakan salah satu perintis usaha batu nisan di Kalibata.

“Dulu saya (kerja di) bengkel motor. Zaman dulu, teman usaha begini (batu nisan) di Jalan Raya Bogor, saya lihat-lihatin. Tertarik juga. Saya belajar-belajar bisa. Sambil buka bengkel, sambil belajar,” tutur pria yang akrab disapa Jhony tersebut saat ditemui di kiosnya.

Jhony menjelaskan, waktu yang dibutuhkan untuk belajar membuat batu nisan berkisar antara 6-12 bulan. “Ada yang sudah lama enggak bisa juga. Tergantung otaknya,” selorohnya. 

Dia menjual sebanyak dua hingga sepuluh batu nisan setiap harinya. “Kadang, kalau kosong ya kosong. Tapi ada saja sih,” ujarnya.

Harga batu nisan yang dijualnya bervariasi, mulai dari Rp300.000–Rp1,5 juta tergantung dari bahan dan ukurannya. Batu nisan yang termurah terbuat dari batu cor (campuran granit dan semen), sedangkan yang termahal terbuat dari granit asli. Apabila ingin memakai tinta emas asli dalam tulisannya, Ia mematok tarif tambahan Rp400.000.

Dia mendapat batu granit dari para pedagang di Rawasari, Jakarta Pusat. Harganya berkisar antara Rp900.000–Rp1,3 juta per meter bergantung jenisnya.

Jhony menjelaskan, pembuatan batu nisan diawali dengan proses pencetakan. Kemudian, batu ditempeli stiker yang berisi tulisan sesuai permintaan. Lalu, batu tersebut digrafir untuk menyempurnakan bentuknya. 

Terakhir, stiker bagian huruf dan angka dicopot dan dicat. Ia mengklaim, kiosnya mampu menghasilkan 10-15 batu nisan per hari. “Dulu iya (ukir), kami pahat. Kalau sekarang namanya samblas,” ujarnya.

Selain batu nisan, Jhony juga membuat prasasti untuk peresmian acara. “Ada yang harganya Rp3 juta, Rp4 juta, Rp5juta, Rp7 juta. Itu granit asli, tebel punya,” ungkapnya.

Jhony enggan merinci lebih jauh mengenai omzetnya, namun dia berhasil berangkat naik haji bersama istri, menguliahkan anak, dan memiliki 16 ‘pintu’ kontrakan melalui hasil jerih payahnya. 

Bini yang megang kontrakan. Duit dari sini, saya kasih. Saya megang buat gaji karyawan, buat belanja, buat gaul sama teman, makan, ngaji, itu saja. Di masjid ada acara kita sumbang,” beber pria asal Palembang tersebut.

Ia mengatakan, sang anak yang bernama Rizky (32) akan meneruskan usahanya. Di samping kios ayahandanya, lulusan Universitas Bina Nusantara tersebut membuka kios batu nisan San Diego Marmer. 

Jhony menuturkan, sang anak telah membuka cabang di Kemang, Jakarta Selatan dan Bandung, Jawa Barat. “Anak saya mau bikin pabrik di Purwakarta (Jawa Barat),” katanya.

Di sisi lain, Ia melihat persaingan di industri batu nisan semakin ketat. “Dulu kan jarang banget, jadi gampang banget (jual nisan). Enggak ada 5 tahun ini agak menurun, tapi masih dapat saja,” keluhnya.

Suasana kios Cemara Advertising di Blok M Square, Jakarta Selatan, Rabu (27/8). Terlihat sang pemilik, Martha (59) yang memakai baju hitam sedang melayani pembeli. Alinea.id/Syah Deva Ammurabi

Ritual upacara kematian tidak terlepas dari adanya doa. Melalui doa, jenazah diharapkan akan mendapat ketenangan dan kemulian di sisi-Nya. Salah satu buku doa populer adalah buku Yasin, yang kerap dibaca sebagian umat Islam ketika berduka.

Pemilik Cemara Advertising Martha (59) telah membuka kios pembuatan trofi dan plakat di Blok M, Jakarta Selatan sejak 1980. Pada 1987, Dia mulai melebarkan sayapnya ke bisnis buku Yasin. Kini, Martha berjualan di pusat perbelanjaan Blok M Square.

“Pertama, kalau dulu belum ada yang tujuh hari, 40 hari, 100 hari, 1 tahun. Sekalipun ada, kita boleh hitung satu, dua. Kedua, kertasnya jelek karena pakai rugos. Orang dulu bilang yang penting ada yasin,” ujarnya ketika ditemui di tokonya.

Martha mengaku dirinya memesan teks yasin dan bacaan lainnya dari berbagai penerbit seperti Pustaka, Asy Syafii, AKR, dan sebagainya. “Kalau sudah ACC kata-kata sama foto orang, paling seminggu sudah jadi,” tambahnya.

Ia mengungkapkan, kiosnya dapat menerima 5-12 pesanan dalam sebulan. Satu pesanan rata-rata sebanyak 100 eksemplar. Adapun Martha mematok harga Rp23.000-Rp50.000 per bukunya, tergantung dari jenis kertas, jumlah halaman, dan jenis sampul. Selama ini, dia menerima pesanan secara langsung, via telepon, dan WhatsApp.

“Motif bunga dan batik yang lebih laku daripada beludru. Kalau lima tahun yang lalu kan beludru. Memang petama dilihat bagus, tapi setahun warnanya sudah butek. Kita kasih solusi,” bebernya. Adapun proses desain dan layout buku Yasin dikerjakan oleh putrinya sendiri.

Martha mengungkapkan, pihaknya mengambil untung sebesar Rp5.000 pada tiap buku yasin yang dibuatnya. Dalam sebulan, dia dapat mengantongi laba bersih setidaknya Rp2,5 juta. 

Menurutnya, kerapian dan ketepatan waktu adalah dua hal terpenting dalam menjalankan usaha buku Yasin. “Kalau untuk agama harus paham tulisan Arab. Kita enggak asal buat. Orang mungkin enggak baca, tapi ketika ketemu orang yang ngerti agama, dia pasti kasih tahu,” terangnya.

Dia menceritakan, dirinya sering dikira non-muslim lantaran dirinya yang tidak berhijab dan memiliki nama “Martha”. “Martha dari nama keturunan darah biru di Padang. Ini dari nama mamaku Animah dan nama bapakku Damar,” tuturnya. 

Alinea.id juga pernah mengulas mengenai profesi perias jenazah dalam artikel "Jalan sunyi seorang perias jenazah"

Kavling pemakaman San Diego Hills yang dijual ratusan juta rupiah hingga miliaran rupiah per unit milik Grup Lippo. / sales-sandiegohills.com

Pelayanan

Wahyu berpendapat, siapapun yang ingin terjun ke bisnis pelayanan jenazah harus mengenal seluk-beluk tata cara pengurusan jenazah. “Syaratnya, kita bisa berjualan harus terjun ke mayatnya seperti mandiin, jadi kita tahu,” jelasnya. 

Ia menambahkan, orang yang melayani jenazah harus rajin menjalani ibadah yang diperintahkan agama seperti salat lima waktu, puasa sunnah, dan salat tahajud. “Kita kan harus berurusan sama Allah,” ungkapnya. 

Menurut Jimmy, pelaku yang bergelut di bidang kargo jenazah harus siap 24 jam tiap harinya untuk melayani para pelanggan. “Bayangin jam dua pagi ada telepon cewek nangis-nangis bilang bapaknya meninggal, kami pasti jalan. Kerjaan ini enggak ada waktunya, 24 jam. Jadi pasangan kita harus tahu. Itulah suka dukanya,” tuturnya. Tak kalah pentingnya, tim yang dibentuk harus kompak.

Sebagai keturunan tionghoa, dia meyakini siapapun yang ingin terjun ke dunia bisnis harus memiliki hoki di bidangnya. “Kalau bukan panggilan, Cuma money oriented ke laut aja,” ujarnya. 

Di lain pihak, Martha berprinsip jangan sampai pelanggan yang dilayani bertambah duka citanya. Menurutnya, mencari keridaan Tuhan merupakan hal yang penting dalam menjalankan usaha. “Ambil keuntungan sekian persen, enggak mau. Saya tahu orang yang berduka cita dapat musibah, Kita enggak mau menekan,” katanya.

Karena kehadirannya yang tak disangka-sangka, mempersiapkan kematian merupakan hal yang bijak untuk dilakukan. 

“Tidak ada hal yang pasti di dunia ini, kecuali pajak dan kematian,” – Benjamin Franklin, Bapak Bangsa Amerika Serikat.

Infografik meraup cuan dari bisnis kematian. Alinea.id/Oky Diaz Fajar

img
Syah Deva Ammurabi
Reporter
img
Sukirno
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan