Meraup miliaran rupiah dari bisnis kopi kekinian
“Kita tidak bisa menyamakan kopi dengan air tebu. Sesempurna apapun kopi yang kamu buat, kopi tetap kopi, punya sisi pahit yang tak mungkin kamu sembunyikan.” – Dewi Lestari.
Pada akhir 2019, Toffin Indonesia merilis data terkait maraknya kedai kopi yang bermunculan di Tanah Air. Dalam hasil riset independen Toffin bersama Majalah Mix Marcomm disebutkan, jumlah gerai kopi di Tanah Air bertambah signifikan sejak tiga tahun terakhir. Kemunculannya tidak terbendung bak cendawan di musim hujan.
Tercatat pada 2016, jumlah gerai kopi di Tanah Air hanya sekitar 1.000 kedai. Namun pada Agustus 2019, jumlahnya sudah melompat tinggi hingga 2.950 kedai.
Riset itu juga memperkirakan, dengan jumlah gerai kopi yang tersedia saat ini dan asumsi setiap kedai menjual rata-rata 200 cangkir per hari dengan harga sekitar Rp22.500, nilai pasar kedai kopi di Indonesia pada tahun lalu berhasil menyentuh angka Rp4,8 triliun. Diprediksi, angka tersebut bakal meningkat 30% tahun ini.
Ceruk bisnis yang besar itu jelas sangat menggiurkan untuk digarap. Para pemilik modal boleh jadi tidak akan sungkan menyantap kue besar dari bisnis kopi yang sedang marak tersebut.
Namun begitu, bisnis kopi bukanlah sekadar angka-angka belaka, melainkan juga soal cita rasa dan jiwa. Tanpa dua hal itu, kopi hanya akan menjadi sekadar kopi tanpa penikmat.
Adrian Saputri (30 tahun), pemilik kedai Kopi Dalu di wilayah Bintaro mengatakan, penikmat kopi zaman sekarang lebih kritis dari biasanya. Mereka kerap menanyakan bagaimana metode pembuatan kopinya, hingga dari ketinggian berapa biji kopinya berasal.
“Malah dia lebih kritis dari barista. Dia akan nanya ketinggian berapa, prosesnya apa, mediumnya berapa derajat. Makanya setiap kedai kopi harus punya signature (ciri khas baik rasa atau konsep),” kata Putri saat ditemui Alinea.id belum lama ini.
Untuk itu, jurnalis senior yang juga pebisnis kopi itu mengingatkan, selain modal, hal terpenting dalam membangun bisnis kedai kopi adalah riset. Putri bahkan mengaku harus melakukan riset selama enam bulan sebelum membangun bisnis kedai kopinya saat ini.
Ia melenggang seorang diri ke toko buku untuk mencari referensi tentang kopi, mulai dari cara pembuatannya, bagaimana karakter penikmatnya, dan sebesar apa ceruk yang bisa digarap. Bahkan, ia sempat menyisir jalan sejauh 1,5 kilometer dari lokasi kedai kopinya untuk mencari tahu seberapa banyak kedai kopi yang sudah tersedia.
“Gue bisnis kopi di Bintaro. Risikonya gue harus bersaing sedemikian rupa. Karena jarak 1,5 kilo (kilometer) ada 17 coffee shop. Dan itu bener-bener gue itung. Mulai dari yang Starbucks sampai kopi pinggiran. Dari yang rumah, gerobak street bar kayak gue, sampai yang di pelataran ruko, dan ruko,” terangnya sembari sesekali melayani pelanggan yang datang ke kedainya.
Konsep street bar
Setelah serangkain riset itu dirasa sudah cukup, Putri baru memberanikan diri untuk membuka kedai kopi pertamanya pada November 2018. Konsep kedai kopi yang dipilihnya adalah street bar atau gerobak dengan metode penyajian kopi serba manual.
Menurut dia, konsep itu paling realistis dengan modal yang dimilikinya. Ia hanya perlu menyiapkan gerobak, barista, bahan baku, dan alat manual penyeduh kopi, mulai dari rock presso, grinder, V60, americano dan vietnam drip.
“Harganya macam-macam, mulai dari Rp100.000 sampai Rp350.000. Kalau semuanya jutaan. Grinder latina mungkin sekarang Rp4 juta, presso Rp3 juta–Rp3,8juta. Ada yang lebih bagus. Tapi kalau mulai banget, minim siapin uang Rp15 juta,” terangnya.
Angka Rp15 juta itu masih di luar harga sewa lahan, gerobak, bayar karyawan, dan bahan baku kopi. Untuk gerobak, Putri hanya perlu mengeluarkan uang Rp1 juta karena sang pemilik sebelumnya menjual dengan harga murah. Namun, katanya, rata-rata gerobak baru harganya masih di atas Rp7 juta.
Sementara untuk harga sewa lahan, angkanya variatif tergantung tempat. Kopi Dalu sendiri memakai lahan di Bintaro dengan harga sewa hanya Rp1,5 juta per bulan.
Di luar itu, ia juga harus merogoh kocek untuk membeli bahan baku sebesar Rp5 juta untuk modal awal, dan bayar gaji karyawan Rp12 juta per bulan.
“Kalau sudah berjalan, cost-nya itu di atas Rp20juta (per bulan untuk bahan baku). Dengan asumsi penjualan sehari bisa 100 (cangkir) dikali 26 (hari), berarti sekitar 2.000 sampai 2.600 cup per bulan,” katanya.
Dengan modal sekitar Rp30 juta-Rp35 juta per bulan, Kopi Dalu dapat menghasilkan omzet puluhan juta per bulan. Ke depan, kata Putri, Kopi Dalu juga berencana akan membuka waralaba untuk kedainya.
“Sekarang sudah ada lima yang tertarik. Harganya masih pitching, tapi yang pasti di atas Rp60 juta,” terangnya.
Ya, seperti tulisan Dewi 'Dee' Lestari dalam buku Filosofi Kopi, Putri seolah mengambil filosofi kopi tubruk dalam bisnisnya.
“Kopi tubruk itu lugu, kopi yang sederhana, tapi kalo kita mengenal dia lebih dalam, dia akan sangat memikat.” – Dee Lestari,
Kedai kopi kekinian
Beda lagi dengan Ahmad Ghifari (28 tahun), pemilik kedai kopi Kopimpa di Kemangisan, Jakarta Barat. Pria dengan surai tebal di janggutnya itu mengaku membangun bisnis kopi karena cinta dunia nongkrong dan kopi.
Ia juga melihat peluang karena kopi, menurutnya, merupakan bisnis yang tidak pernah mati. Penikmatnya mulai dari usia di bawah 20 tahun hingga 50 ke atas.
Kedai pertamanya dibuka pada Oktober 2017. Konsep kedai kekinian yang instagramable dipilih sebagai tema dasarnya. Kedai itu juga menyediakan workshop bagi mereka yang tertarik belajar tentang kopi.
Di sana, pelanggan bisa belajar banyak tentang kopi, mulai dari cara pembuatannya sampai seni meracik kopinya.
“Karena gue jual kopi ini sekalian edukasi. Jadi orang enggak cuma beli kopi, tapi mereka juga belajar. Di sini gue ngajarin segala hal tentang kopi,” terangnya di kedai Kopimpa, Jakarta Barat, belum lama ini.
Kepada Alinea.id, Ghifari mengaku, untuk membuka kedai kopi dengan konsep yang dibesutnya sekarang, kocek yang dibutuhkan tidaklah sedikit. Setidak-tidaknya, ia harus mengeluarkan dana sebesar Rp150 juta agar konsep bisnisnya bisa berjalan.
Dana sebesar itu digunakannya untuk membeli alat penyeduh kopi mulai dari yang manual hingga yang tercanggih. Selain itu, ia juga harus mengeluarkan uang untuk sewa tempat, furnitur, bahan baku dan bayar karyawan.
“Kalau bujet untuk grinder pasaran harga Rp500.000 sampai Rp25 juta. Ini gue yang pakai harga Rp13 juta dua (alat), yang Rp3,5 juta satu (satu). Kalau mesin (espresso) ini gue pakai yang harga Rp40 juta single brew,” kata ia.
Sementara bujet yang perlu disiapkannya setiap bulan tidak kurang dari Rp10 juta untuk bahan baku, mulai dari kopi hingga makanan. Selain itu ada juga bujet untuk membayar lima karyawan Rp14 juta per bulan dan sewa tempat sebesar Rp5 juta per bulan.
Dengan modal sebesar itu, Kopimpa mampu menjual setidaknya 50-100 cangkir per hari. Penghasilannya tidak begitu besar. Namun, kata ia, cukup untuk menutupi biaya bulanan yang harus dikeluarkan.
Tetapi hal itu tidak terlalu jadi masalah bagi Ghifari. Sebab, menurutnya, bisnis kopi bukanlah sesuatu yang bisa dengan begitu saja ditaklukkan. Terlebih saat ini banyak sekali kedai kopi yang bertebaran di wilayah Jakarta.
“Yang penting buat gue konsisten sih. Gue dari awal udah prediksi selama 2-3 tahun ini mungkin gue enggak bakal untung. Tapi setelah tiga tahun, gue baru bisa nikmatin hasilnya,” kata ia.
Sekarang, Kopimpa sudah memiliki dua kedai di wilayah Kemanggisan dan Cengkareng, Jakarta Barat. Targetnya, Kopimpa juga akan membuka satu kedai lagi pada April 2020 nanti.
“Tahun ini, insyaallah gue bisa jual 500 cup per hari,” harapnya.
Barangkali, benar kata Dee Lestari. “Kita tidak bisa menyamakan kopi dengan air tebu. Sesempurna apapun kopi yang kamu buat, kopi tetap kopi, punya sisi pahit yang tak mungkin kamu sembunyikan.”
Coffee to go
Untuk kedai kopi yang satu ini, sepertinya mengambil satu filosofi lain. Jokopi, salah satu kedai kopi ternama di Surabaya, Jawa Timur, agaknya mengusung filosofi macchiato.
“Sendirian atau berdampingan, hidup sepatutnya tetap penuh arti,” – Dee Lestari.
Jazil Maksum bersama seorang kawan memulai bisnis kopi itu pada akhir 2017. Tujuan awalnya sederhana, mengumpulkan teman-teman semasa SMA dalam satu wadah yang sama-sama mereka cintai.
Bermodalkan uang Rp5 juta, Jazil dan kawannya lantas membuka bisnis dengan merek Jokopi. Awal mulanya, kata dia, Jokopi hanya menjual kopi susu gula aren secara online melalui aplikasi Line.
Alat yang digunakan juga cukup sederhana, hanya satu rock presso seharga Rp2 juta dan sejumlah alat pendukung lainnya. Penjualannya waktu itu, kenang Jazil, hanya 50-100 cangkir per hari.
Tapi dari modal sekecil itu, Jokopi justru bekembang pesat. Sekarang, Jokopi sudah memiliki tiga kedai dengan konsep coffee to go di Surabaya, Jawa Timur. Targetnya, tahun ini Jokopi akan menambah satu kedai lagi, masih di bilangan Surabaya.
“Jadi awal itu masih jual online gitu pre order. Terus baru buka Maret (2018) dengan konsep gerobak. Di bulan Agustus 2018 baru bisa bikin konsep kedai yang seutuhnya,” katanya saat berbincang melalui sambungan telepon.
Saat membuka kedai pertamanya, Jazil mengatakan, ia membutuhkan dana setidaknya Rp250 juta. Uang itu digunakannya untuk membeli alat-alat penyeduh kopi yang lebih canggih, sewa tempat, dan membangun konsep kedai yang apik.
Untuk membeli kitchen tools, seperti mesin espresso, grinder, kulkas, pemanas air, mixer, blender dan alat pendukung lainnya, Jazil harus merogoh kocek sebesar Rp70 juta. Angka itu belum dihitung dengan pembelian furnitur, interior yang instagramable, dan bayar karyawan.
“Mesin kopi sama mesin grinder sekitar Rp70 jutaaan. Ada yang harga Rp30 juta tapi kuantitasnya beda. Kalau Rp30 juta paling cuma bisa dapat 100 (cup). Kalau Jokopi ‘kan kebutuhannya sekitar 200-300 cup per hari,” katanya.
Sekarang, Jokopi bisa mengantongi omzet minimal Rp800 juta per bulan untuk setiap kedai dengan asumsi penjualan kopi sekitar 800-1.000 cangkir per hari. Jika ditotal, omzet yang didapat Jokopi dari tiga kedainya bisa mencapai Rp2,4 miliar per bulan.
Namun begitu, ongkos yang perlu dikeluarkan untuk mencapai omzet sebesar itu juga harus bertambah. Jazil mengatakan, per bulan Jokopi harus mengeluarkan modal sebesar Rp200 juta-Rp300 juta untuk setiap kedainya. Angka itu sudah termasuk pembelian bahan baku, membayar gaji karyawan dan sewa tempat.
Sekarang, Jokopi sudah dikenal sebagai salah satu kedai kopi yang tidak hanya instagramable, tapi juga sebagai wadah kreatif bagi banyak industri di Surabaya seperti yang diimpikan pemiliknya.
“Jadi, setiap usaha itu harus punya jati diri. Kondisi sekarang ‘kan kopi udah di mana-mana. Yang bisa bikin beda kopi kalian dengan kopi lainnya apa. Entah dari produk atau konsep. Kalau kami mem-branding diri sebagai media. Wadah untuk segala industri di Surabaya, mulai industri musik, indusri kreatif dan lain sebagainya,” pungkasnya.