Era Jokowi, merayu investor demi investasi Rp 3.491 triliun
Investasi merupakan salah satu mesin pertumbuhan ekonomi. Tak heran jika pemerintah kian agresif membujuk investor baik lokal maupun luar negeri untuk ramai-ramai membangun pabriknya di Indonesia. Merujuk data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), target nilai investasi sepanjang tahun 2015 hingga 2019 sebesar Rp 3.491 triliun atau setara US$262,4 miliar. Angka itu melonjak 113,6% dibandingkan realisasi nilai investasi pada pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono periode kedua tahun 2010 hingga 2014 yang tercatat Rp 1.634,7 triliun atau US$122,9 miliar.
Tahun ini, BKPM membidik aliran modal yang masuk ke Indonesia mencapai Rp 765 triliun terdiri dari Rp 287,6 triliun adalah investasi lokal dan Rp 429 triliun merupakan investasi asing. Target ini melambung 12,69% ketimbang target tahun 2017 yakni Rp 678,8 triliun. Melihat sejarahnya, pencapaian investasi sejak tahun 2015 hingga 2017 selalu melampui target. Tahun lalu, realisasi investasi yang mengalir ke Indonesia sebesar Rp 692,8 triliun atau 102,06% dari target.
Jika tahun ini bernasib sama dengan tahun-tahun sebelumnya, nilai perolehan investasi yang masuk ke kantong Indonesia dalam empat tahun terakhir bisa tembus Rp 2.558,1 triliun. Investor dalam negeri menyumbang nilai investasi Rp 921,6 miliar. Sedangkan investor luar negeri diharapkan bisa mencetak angka investasi sebesar Rp 1.636.5 triliun.
Dilihat secara sektor, penanaman modal dalam negeri (PMDN) masih mengandalkan industri makanan, pertanian dan perkebunan, serta listrik, air dan gas. Ketiga sektor ini menyumbang investasi 34,43% dari total PMDN atau sebesar Rp 86,01 triliun pada tahun lalu. Sedangkan, penanaman modal asing (PMA) paling besar mengalir ke sektor pertambangan, industri metal, mesin dan elektronik, serta listrik, air dan gas. Pada periode yang sama, nilai investasi ketiga sektor ini tercatat US$12,39 miliar atau 52,83% dari total investasi US$23,46 miliar.
Ke depan, investasi di sektor ketenagalistrikan masih menjadi tulang punggung baik PMA maupun PMDN. Hal ini sejalan dengan upaya pemerintah menaikkan rasio elektrifikasi nasional melalui pembangunan pembangkit. Bahkan, pemerintah telah mencanangkan program 35,000 MW guna mencukupi kebutuhan setrum domestik.
Sementara, di sektor PMDN, investasi makanan diproyeksikan makin membesar sejak pemerintah memberlakukan post border policy. Adanya kebijakan tersebut membantu perusahaan memperoleh kemudahan akses bahan baku. Ditambah lagi, pemerintah memberikan lampu hijau untuk impor gula dan garam untuk industri. Sebanyak 1,8 juta ton keran impor gula dibuka oleh pemerintah tahun ini.
Lain halnya dengan sektor ketenagalistrikan dan makanan, investasi di sektor perkebunan bisa tersendat. Pasalnya, Indonesia terancam perang dagang dengan Uni Eropa terkait dengan produk minyak kelapa sawit atawa crude palm oil (CPO). Seperti diberitakan, parlemen negara-negara Uni Eropa sepakat mengeluarkan biodiesel dari sumber energi baru dan terbarukan di tahun 2021. Meski pemerintah Indonesia masih memperjuangkan produk biodiesel dengan cara mengancam parlemen Eropa untuk menyetop impor komoditas tertentu dari benua biru tersebut, kondisi ini berpengaruh terhadap investasi perkebunan. Apalagi, permintaan CPO dari China dan India sebagai pasar ekspor terbesar juga turun. Tentu saja hal ini bakal meredam nilai investasi di sektor perkebunan. Maklum, investasi di sektor perkebunan masih didominasi oleh kelapa sawit.
Di sektor PMA, investasi sektor pertambangan serta industri metal, mesin dan elektronik berpeluang masih mendominasi. Hal ini tak lepas dari kebijakan pemerintah mempromosikan investasi di sektor smelter atau pemurnian. Selain itu juga, pemerintah gencar mensosialisasikan investasi nilai tambah batu bara. Kendati begitu, investasi sektor pertambangan bisa saja melorot lantaran ketetapan mengatur harga batubara sebesar US$70 per ton untuk pembangkit setrum. Harga yang tidak keekonomian bisa berdampak terhadap seretnya aliran modal. Di sisi lain, industri metal, mesin dan elektronik masih dominan lantaran pemerintah menggenjot sektor infrastruktur. Pembangunan yang cukup masif melahirkan permintaan terhadap baja. Tapi, lagi-lagi, pemerintah harus berhati-hati dengan ancaman impor dari luar negeri terutama China.
Insentif genjot investasi
Peraturan terkait dengan kemudahan perizinan berusaha diluncurkan oleh BKPM guna menggaet investor. Peraturan Nomor 13 tahun 2017 menggantikan izin prinsip menjadi pendaftaran penanaman modal. Setelah melalui tahapan pendaftaran penanaman modal, perusahaan harus mengantongi izin usaha. Namun, pada bidang usaha tertentu, BKPM bisa memberikan izin usaha secara langsung tanpa harus memperoleh pendaftaran penanaman modal. Syaratnya adalah berbadan usaha Indonesia, memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP), menguasai kantor atau tempat usaha, tidak memerlukan kegiatan konstruksi dan tidak memerlukan pembebasan bea masuk atas impor mesin atau barang modal.
Selain itu, pemerintah menelurkan insentif fiskal berupa pembebasan pajak penghasilan badan. Pemerintah baru saja menelurkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 35 tahun 2018 tentang pemberian fasilitas pengurangan pajak penghasilan badan. Dibandingkan dengan peraturan sebelumnya, PMK yang baru ini lebih ramah terhadap investor. Misalnya, pemberian fasilitas pajak penghasilan badan diberikan dalam waktu 5 hari kerja. Ketentuan ini jauh lebih cepat dibandingkan sebelumnya yakni sebesar 125 hari.
Revisi peraturan soal insentif pajak disebabkan minimnya perusahaan yang memanfaatkan fasilitas tersebut. Makanya, pemerintah mengatur ulang syarat dan kriteria perusahaan yang memperoleh fasilitas pembebasan pajak. Berdasarkan data dari Kementerian Industri dan BKPM, sejak tax holiday dan tax allowance diluncurkan tahun 2007 hingga 2017, hanya 142 perusahaan yang memanfaatkannya.
Tak cuma memperpendek perolehan ketetapan fasilitas pajak, pemerintah juga memberikan kelonggaran misalnya perusahaan yang telah berdiri dan ingin memperluas bisnisnya boleh mengajukan tax holiday. Selain itu juga, pemerintah tidak menetapkan rentang diskon pengurangan pajak. Di aturan sebelumnya, pemerintah memberikan pembebasan pajak bervariasi antara 10% hingga 100%. Nah, di aturan yang baru, pembebasan pajak untuk industri yang tercover adalah 100%. Periode pembebasan pajak juga bervariasi mulai dari tujuh hingga 20 tahun bergantung terhadap nilai investasi. Makin sedikit nilai investasinya, makin pendek periode waktu pembebasan pajaknya dan sebaliknya.
Yang paling baru dari peraturan ini adalah adanya periode transisi yakni 50% selama 2 tahun. Dengan begitu, perusahaan masih memperoleh pembebasan pajak sebesar 50% selama 2 tahun setelah periode berakhir. Ambil contoh, sebuah perusahaan memperoleh fasilitas pajak selama 10 tahun. Di tahun 11 dan 12, perusahaan hanya membayar pajak terutang sebesar 50%. Baru pada tahun ke-13, perusahaan wajib membayar pajak secara penuh. Lalu, jumlah industri yang berhak memperoleh tax holiday melebar dari 8 sektor industri menjadi 17 sektor industri.
Tawaran pemerintah atas tax holiday ini cukup menggiurkan. Tetapi nilai minimum untuk mendapatkan tax holiday tidak kecil yakni sekitar Rp 500 miliar atau US$36 juta. Tentu saja, jumlah industri yang berkomitmen untuk menguncurkan modal dengan jumlah paling sedikit Rp 500 miliar tidak banyak. Lagi, industripun masih sanksi jika banyak yang memanfaatkan fasilitas ini meski pemerintah memberikan banyak keuntungan.
Bagi industri yang tak penuhi syarat minimum investasi, sebenarnya tak perlu kecil hati. Pasalnya, Kementerian Perindustrian juga mengeluarkan aturan baru Nomor 1 Tahun 2018 tentang fasilitas pajak penghasilan badan untuk penanaman modal di sektor industri. Setidaknya ada 56 sektor industri tertentu yang akan diberikan fasilitas pembebasan pajak penghasilan badan. Lalu, kementerian yang dipimpin oleh Airlangga Hartato tersebut juga mengatur 46 sektor industri tertentu di wilayah tertentu akan diberikan fasilitas yang sama.
Perbedaan insentif Kementerian Perindustrian dengan Kementerian Keuangan adalah nilai minimum investasi yang tak begitu besar dan kewajiban menyerap kandungan lokal. Kementerian Perindustrian memberikan kelonggaran nilai investasi minimum dari Rp 25 miliar hingga Rp 2 triliun tergantung sektor industri dan wilayah yang dituju. Bagi industri yang sudah memanfaatkan fasilitas dari Kementerian Perindustrian tak boleh mengajukan pembebasan pajak versi Kementerian Keuangan.
Semangat pemerintah merombak aturan untuk menarik investasi patut diacungi jempol. Kendati begitu, berbagai kemudahan dan fasilitas tak serta merta bisa dimanfaatkan oleh industri. Selain tersendat besarnya nilai investasi juga kewajiban kandungan lokal. Belum lagi, era kepemimpinan Presiden Joko Widodo akan berakhir di tahun 2019. Sehingga, boleh dibilang tahun 2018 adalah tahun terakhir kerja pemerintah.
Bagi perusahaan yang membutuhkan waktu konstruksi lebih dari dua tahun mungkin ada yang memilih untuk menunda investasi. Sebab, ada kekhawatiran pergantian presiden menyebabkan perubahan kebijakan. Perusahaan yang sudah menyiapkan rencana dengan matang bisa bubar apabila terjadi perubahan aturan. Makanya, pemerintah masih harus mengkampanyekan iklim investasi yang kondusif meski pemilihan presiden di depan mata.
Faktor lainnya yang juga akan memengaruhi minat investasi adalah pembebasan lahan dan infrastruktur. Sudah menjadi rahasia umum jika pembebasan lahan di Indonesia cukup berbelit. Data BKPM menyebutkan sebanyak 77 perusahaan yang terdiri dari 60 PMA dan 17 PMDN tersendat. Salah satu penyebabnya adalah pembebasan lahan. Makanya, dibutuhkan dukungan dari pemerintah bagaimana cara menuntaskan pembebasan lahan bagi investor.