Merebut kue pangsa pasar halal global
Indonesia berniat mengambil peran besar dalam pangsa pasar ekonomi halal global. Salah satunya dengan menjadi produsen dan eksportir produk halal terbesar di dunia.
Target ini sejalan dengan potensi penambahan jumlah penduduk muslim dunia. Laporan The Future of the Global Muslim Population yang diterbitkan oleh Pew Research Center’s Forum on Religion & Public Life menyebutkan jumlah populasi muslim dunia pada 2020 mencapai 1,9 miliar jiwa atau 24,9% dari total penduduk dunia.
Jumlah itu diproyeksi akan meningkat pada 2030 menjadi 2,2 miliar jiwa atau 26,4% dari keseluruhan penduduk dunia. “Kalau ini bisa kita lakukan, kita bisa memanfaatkan pasar halal dunia yang saat ini mengalami peningkatan dari waktu ke waktu,” kata Pengamat Ekonomi Syariah dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Irfan S. Beik, kepada Alinea.id, Kamis (7/1).
Berdasarkan data Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas), sambungnya, sejak 2016 hingga 2020 rata-rata ekspor produk halal masih berada di kisaran 21% dari total ekspor Indonesia. Adapun yang menjadi kontributor terbesar berasal dari sektor makanan dan minuman (mamin). Porsinya mencapai sekitar 90-95% dari total ekspor produk halal.
“Jadi, masih banyak yang perlu kita tingkatkan,” tegas dia.
Irfan juga menyebut komposisi ekosistem halal sendiri dalam 5 tahun terakhir berada di kisaran 24%-25% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Menyambung pernyataan Irfan, Direktur Infrastruktur Ekosistem Syariah Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS) Sutan Emir Hidayat mengungkapkan, sejak 5 tahun terakhir ekspor produk halal paling banyak ditujukan ke negara Organisasi Kerjasama Islam (OKI). Adapun ekspor tertinggi disumbang oleh tiga sektor industri halal, yakni makanan dan minuman, kosmetik serta obat-obatan atau farmasi.
Kementerian Perdagangan (Kemendag) mencatat total ekspor makanan dan minuman nasional ke negara OKI pada 2019 senilai US$752,12 juta. Kemudian, di periode Januari hingga Juli 2020 total ekspor mencapai US$454,16 juta. Adapun industri kosmetik mencatat total ekspor pada 2019 sebesar US$58,75 juta dan US$30,32 juta pada periode Januari-Juli 2020. Selanjutnya, total ekspor obat-obatan mencapai US$49,96 juta pada 2019 dan US$31,31 juta pada periode Januari-Juli 2020.
“Dengan asumsi komoditas yang diekspor ke negara OKI adalah produk halal. Ini trennya meningkat dari tahun ke tahun,” ujar dia, Jumat (8/1).
Kenaikan ekspor produk halal ini salah satunya disumbang oleh perusahaan kosmetik kondang Indonesia Martha Tilaar Group. Presiden Direktur PT Martina Berto Tbk. Bryan David Emil Tilaar bilang, perusahaan keluarga ini pada 2020 berhasil mencatatkan ekspor sekitar Rp10 miliar.
Angka ini naik dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya sekitar Rp9 miliar. Tidak hanya itu, peningkatan juga ditargetkan akan terus berlanjut hingga 2021. “Plus minus kita mau value grow 10% untuk 2021,” tutur dia, Sabtu (9/1).
Untuk merealisasikan target pertumbuhan ekspor, Martha Tilaar Group akan fokus pada pangsa pasar kosmetik dengan jenama Sari Ayu Martha Tilaar di negara-negara Asia Tenggara hingga Asia Pasifik, seperti Brunei Darussalam, Malaysia, Hongkong, dan Taiwan. Selain itu, perusahaan juga akan membangun kerjasama lebih erat dengan distributor bisnis yang berada di negara-negara tujuan ekspor.
Selanjutnya, produsen kosmetik dan jamu ini juga akan membuat terobosan yang lebih dalam untuk sistem distribusi mereka. “Selain itu kerjasama dengan distributor-distributor kita untuk digital promosi digital beauty classes,” imbuh Bryan.
Peningkatan ekspor produk terjadi pula pada PT. Paragon Technology and Innovation (PTI). Pada Oktober 2020 lalu, produsen kosmetik Wardah ini mampu mengekspor enam kontainer kosmetik dan perawatan wajah Wardah senilai Rp22,9 miliar ke Malaysia.
Kosmetik halal naik pesat
Menurut Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi dan Tekstil Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Muhammad Khayam, selama beberapa tahun terakhir industri kosmetik nasional termasuk kosmetik halal tengah mengalami peningkatan pesat. Hal itu disebabkan oleh meningkatnya pangsa pasar kosmetik di dalam negeri maupun luar negeri, seiring dengan meningkatnya populasi penduduk dan perkembangan zaman.
Belum lagi, saat ini konsumen produk kecantikan wajah, parfum pewangi, dan personal care yang mencakup perawatan tubuh, perawatan kepala, dan perawatan kulit tak hanya didominasi oleh kaum hawa saja, namun juga oleh pria dan anak-anak. Selain itu, dengan berbagai inovasi, produk kosmetik juga telah disesuaikan dengan iklim di berbagai negara.
“Trend back to nature atau produk kosmetik bahan alam juga memperkuat meningkatnya kebutuhan kosmetik dunia,” kata Khayam, Senin (11/1).
5 negara teratas pasar muslim untuk kosmetik | 5 negara eksportir terbesar ke negara OKI |
India US$6 miliar | Prancis US$2,5 miliar |
Indonesia US$4 miliar | UEA US$1,8 miliar |
Rusia US$4 miliar | Jerman US$1 miliar |
Malaysia US$4 miliar | AS US$940 juta |
Turki US$4 miliar | India US$840 juta |
Meski memiliki tren peningkatan setiap tahunnya, Khayam tak memungkiri jika selama pandemi Covid-19 nilai ekspor kosmetik Indonesia mengalami penurunan. Pada 2019, total ekspor produk kosmetik tercatat sebesar US$506,6 juta. Namun, sampai bulan Oktober 2020 ekspor produk kosmetik baru mencapai US$389,7 juta.
Kendati begitu, ekspor kosmetik utamanya yang memiliki label halal masih berpeluang meningkat. Terlebih saat ini ekspor terbesar kosmetik nasional hanya di pasar Singapura, Malaysia, Thailand, Philipina, dan India. Masih ada ceruk pasar dari permintaan dunia terhadap produk kosmetik dan parfum yang pada 2019 telah mencapai US$82,40 miliar.
“Makanya produk kosmetik halal berpotensi untuk dikembangkan secara berkelanjutan oleh industri kosmetik dalam negeri,” lanjut dia.
Potensi makanan dan minuman halal
Sementara itu, kabar mengembirakan juga berasal dari kinerja industri makanan dan minuman halal. Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Adhi S. Lukman mengatakan, ekspor makanan minuman halal Indonesia mengalami peningkatan yang cukup pesat dibandingkan tahun sebelumnya.
Kinerja positif terlihat dari peringkat industri makanan dan minuman nasional di pasar internasional. Menurut laporan The State of The Global Economy Report 2020, soal produk makanan dan minuman halal, Indonesia berada di posisi empat. Posisi ini berada di bawah Malaysia, Singapura dan Uni Emirat Arab (UEA).
“Sebelumnya kita belum masuk,” ujar dia, Jumat (8/1).
Menurut Adhi, selain disebabkan oleh semakin banyaknya ekspor makanan dan minuman halal, peningkatan juga disebabkan oleh pencatatan produk-produk makanan dan minuman halal yang sudah semakin berkembang. Meski begitu, sistem pencatatan produk halal yang dilakukan melalui pemberian sertifikasi halal perlu lebih ditingkatkan dan dirapihkan lagi.
Dus, kinerja ekspor makanan dan minuman halal Indonesia dapat lebih terkerek naik. Apalagi, pada dasarnya hampir seluruh produk makanan dan minuman di Tanah Air adalah halal. Pasalnya, rata-rata produsen makanan dan minuman halal yang berasal dari usaha kelas menengah hingga besar selalu menyertakan label sertifikasi halal.
“Kecuali memang produknya benar-benar non-halal, seperti sosis babi dan lain-lain,” imbuh dia.
Namun, kondisi tersebut tidak sepenuhnya berlaku pada pelaku Usaha Kecil, Mikro dan Menengah (UMKM). Segmen ini masih menganggap sertifikasi halal sebagai suatu hal mewah dengan tarif mahal. Hal tersebut disampaikan Peneliti CORE Indonesia Yusuf Rendy Manilet dalam kesempatan terpisah.
Menurutnya, banyak pelaku UMKM mengeluhkan aturan kewajiban sertifikasi halal karena hanya akan menambah beban modal atau cost mereka. Padahal, sertifikasi halal menjadi salah satu hal yang terpenting dalam pencatatan produk-produk halal nasional.
“Sertifikasi juga menjadi penting. Untuk meyakinkan bahwa produk ini bisa diterima di luar negeri,” ujar dia
Namun, sebelum itu, pemerintah perlu menyetarakan standar sertifikasi nasional dengan syarat ekspor dari negara-negara lain. Atau setidaknya, pemerintah harus menyetarakan standar sertifikasi Indonesia dengan standar ekspor produk halal Malaysia. Pasalnya, Negeri Jiran selama ini digunakan sebagai acuan standarisasi sertifikasi halal bagi negara-negara lain.
Selain itu, untuk mendorong ekspor produk halal, pemerintah juga perlu memperkuat ekosistem industri syariah di dalam negeri atau membangun brand kepercayaan. Sehingga, ketika brand produk halal Indonesia sudah terkenal akan memudahkan para pelaku usaha untuk melakukan ekspor produk halal.
“Caranya, dengan pembiayaan. Karena ini kan dibutuhkan untuk membangun investasi beragam industri yang akan mendorong produk halal,” jelas Yusuf.
Selanjutnya, pemerintah juga disarankan memberikan tambahan insentif yang diperuntukkan khusus bagi eksportir halal. Sebab, saat ini meskipun sudah ada insentif bagi eksportir namun bentuknya tidak spesifik untuk mendorong ekspor produk halal. Misalnya, insentif hanya berupa pemotongan pajak hingga penyederhanaan proses ekspor.
Di sisi lain, pemerintah juga harus meningkatkan daya saing ekspor produk halal Indonesia. Hal ini dapat dilakukan dengan memaksimalkan potensi produk halal yang belum banyak disentuh oleh negara-negara lain. Salah satunya, potensi pariwisata ramah muslim.
“Karena peminat untuk ekspor pariwisata halal ini sudah relatif banyak. Tinggal bagaimana meningkatkan ini, khususnya setelah pandemi selesai,” ujar dia.