close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Executive Chairman MNC Group Hary Tanoesoedibjo (tengah) dalam konferensi pers, Kamis (10/2/2022). Foto dokumentasi MNC.
icon caption
Executive Chairman MNC Group Hary Tanoesoedibjo (tengah) dalam konferensi pers, Kamis (10/2/2022). Foto dokumentasi MNC.
Bisnis
Kamis, 10 Februari 2022 15:31

Terus merugi, maskapai Hary Tanoe banting setir jadi perusahaan batu bara

IATA terus mengalami kerugian sejak tahun 2008.
swipe

PT Indonesia Transport & Infrastructure Tbk. resmi berganti nama menjadi PT MNC Energy Investments Tbk. (IATA). Seiring dengan perubahan nama tersebut, perusahaan mengubah kegiatan usaha utamanya dari pengangkutan udara niaga dan jasa angkutan udara, menjadi bidang investasi dan perusahaan induk, khususnya di sektor pertambangan batu bara.

Aksi ini dilakukan untuk memitigasi kerugian akibat pandemi Covid-19. Executive Chairman MNC Group Hary Tanoesoedibjo mengatakan akan membawa emiten berkode IATA ini bangkit dari kerugian.  

"IATA rugi sejak tahun 2008, ruginya konsisten sampai tahun 2021, nah tahun 2022 ini mudah-mudahan adalah tahun berubahnya IATA menjadi perusahaan yang solid, perusahaan yang besar, perusahaan profitable," kata Hary saat konferensi pers, Kamis (10/2).

Hary mengatakan IATA akan menjadi perusahaan batu bara end to end. Aksi banting setir ini disebut bisa menjadi solusi untuk memperbaiki perusahaan. Bisnis batu bata masih menggiurkan karena menjadi sumber utama pembangkit listrik di berbagai negara.

Perusahaan akan memanfaatkan momentum yang timbul dari lonjakan harga komoditas batu bara yang berkelanjutan dan permintaannya yang terus meningkat. Sepanjang 2021, harga batu bara global terus merangkak naik. Bahkan memasuki semester II hingga menjelang akhir tahun, harga mineral ini melesat tinggi hingga menyentuh angka tertinggi sepanjang masa.

Harga batu bara diprediksi akan terus melejit tahun ini sebagai dampak tingginya permintaan dan pasokan yang terus menyusut. Kenaikan ini diyakini turut mendongkrak harga batu bara nasional. Mengutip data International Energy Agency (IEA), Indonesia mengekspor sebanyak 455 juta ton batu bara ke seluruh dunia pada 2019, dan bergerak menjadi 400 juta ton pada 2020 imbas pandemi Covid-19. Posisi tersebut menunjukkan Indonesia sebagai negara eksportir batu bara yang mendominasi di pasar global.

IATA mencatatkan pendapatan usaha sebesar US$7,2 juta di September 2021, naik 15% dibanding US$6,3 juta pada bulan September 2020. Akan tetapi, kenaikan tersebut diikuti dengan melonjaknya berbagai beban usaha yang menghasilkan rugi bersih sebesar US$4,7 juta untuk periode yang berakhir pada tanggal 30 September 2021, naik 118% dibanding rugi bersih pada periode yang sama tahun sebelumya sebesar US$2,1 juta.

Pengalihan aset

Bisnis utama IATA nantinya akan fokus investasi pada unit-unit bisnisnya yang bergerak di bidang usaha pertambangan, infrastruktur, dan transportasi udara. Perubahan usaha tersebut telah mendapat restu pemegang saham dalam Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB), Kamis (10/2). 

RUPSLB juga menyetujui pengalihan aset transportasi udara kepada salah satu anak usaha IATA yang dimiliki 99,99% yakni PT Indonesia Air Transport (IAT), yang juga telah mengantongi sertifikat operator pesawat udara dari Kementerian Perhubungan, Direktorat Jenderal Perhubungan Udara. Dengan demikian, IAT resmi dapat menyelenggarakan angkutan udara niaga sesuai dengan Petunjuk Pengoperasian dan Peraturan Keselamatan Penerbangan Sipil yang berlaku.

Selain itu, perseroan juga telah mendapat restu dari pemegang sahamnya untuk mengambilalih 99,33% saham PT Bhakti Coal Resources (BCR) dari PT MNC Investama Tbk. (BHIT). BCR merupakan perusahaan induk dari sembilan perusahaan batu bara dengan Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, yang meliputi PT Bhumi Sriwijaya Perdana Coal (BSPC) dan PT Putra Muba Coal (PMC). Kedua perusahaan itu sudah beroperasi dan aktif menghasilkan batu bara dengan kisaran GAR 2.800 – 3.600 kkal/kg. Dengan total area seluas 9.813 hektare (ha), BSPC memiliki perkiraan total sumber daya 130,7 juta metrik ton, sementara PMC memiliki 76,9 juta metrik ton, dengan perkiraan total cadangan masing-masing sebesar 83,3 juta metrik ton dan 54,8 juta metrik ton.

Perusahaan lainnya, PT Indonesia Batu Prima Energi (IBPE) dan PT Arthaco Prima Energi (APE), yang ditargetkan untuk memulai produksi batu bara dalam tahun ini. Kemudian, PT Energi Inti Bara Pratama (EIBP), PT Sriwijaya Energi Persada (SEP), PT Titan Prawira Sriwijaya (TPS), PT Primaraya Energi (PE), dan PT Putra Mandiri Coal (PUMCO) yang sedang disiapkan untuk beroperasi dalam satu atau dua tahun dari sekarang. Tujuh IUP dengan luas 64.191 ha ini memiliki estimasi total sumber daya sebesar lebih dari 1,4 miliar metrik ton.

Produksi BSPC dan PMC pada tahun 2021 mencapai 2,5 juta metrik ton, menghasilkan pendapatan sekitar US$74,8 juta dengan pendapatan perusahaan sebelum bunga, pajak, depresiasi, dan amortisasi (EBITDA) US$33 juta.

Pada periode sembilan bulan hingga September 2021, BCR berhasil mencatatkan pendapatan sebesar US$44,1 juta dengan EBITDA senilai US$20,4 juta. Dengan asumsi akuisisi BCR oleh IATA terlaksana pada Januari 2021, laporan IATA untuk September 2021 akan menghasilkan pendapatan US$51,4 juta dengan EBITDA sebesar US$20,4 juta, daripada pendapatan sebesar US$7,2 juta dengan kerugian EBITDA US$54.800.

Pada 2022, BCR telah memperoleh izin untuk meningkatkan produksi hingga 8 juta metrik ton. Dengan estimasi harga batu bara terus menguat dan target produksi tersebut tercapai, pendapatan IATA tahun 2022 diperkirakan akan sangat baik, dengan ekspektasi peningkatan pendapatan hingga 3x lipat dari tahun 2021, setelah mengalami kerugian sejak tahun 2008.

 

img
Ratih Widihastuti Ayu Hanifah
Reporter
img
Satriani Ari Wulan
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan