close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi investasi. Foto Freepik.
icon caption
Ilustrasi investasi. Foto Freepik.
Bisnis
Minggu, 28 Januari 2024 15:57

Meski cerah, waspadai risiko pasar obligasi di Tahun Naga Kayu

Pasar obligasi Indonesia dinilai akan melanjutkan kinerja cemerlangnya di tahun 2024. Namun, ada risiko yang perlu dicermati investor.
swipe

Pasar obligasi Indonesia dinilai akan melanjutkan kinerja cemerlangnya di tahun 2024, setelah tumbuh positif di tahun 2023. Laporan PT Penilai Harga Efek Indonesia (PHEI), indikator Indeks Obligasi Komposit Indonesia alias Indonesia Composite Bond Index (ICBI) mencatatkan imbal hasil (return) sebesar 8,65% secara tahunan (year on year/yoy), dari level 344,78 ke level 374,61.

Kinerja positif pasar obligasi ini didorong oleh tumbuhnya indeks return obligasi pemerintah (INDOBeXG-Total Return) dan indeks return obligasi korporasi (INDOBeXC-Total Return). Di mana INDOBeXG-Total Return tercatat tumbuh 8,72% dari level 337,20 ke level 366,60, sementara INDOBeXC-Total Return tumbuh 7,78% menjadi di level 422,78 dari sebelumnya 392,24.

“Walaupun mencatatkan rekor kinerja positif, namun pasar tampak menghasilkan capital gain terbatas, tercermin dari pertumbuhan terbatas pada indeks harga bersihnya. Kondisi tersebut mengindikasikan return dari kupon menjadi penopang utama pertumbuhan indeks total return pada pasar obligasi di sepanjang tahun 2023,” kata Head of Operational Division PHEI Ifan Mohamad Ihsan, dalam keterangannya kepada Alinea.id.

Perlu diketahui, indeks harga bersih ICBI tercatat naik 1,50%, dari level 116,11 pada akhir 2022 ke level 117,85 pada 2023. Sementara kinerja indeks harga bersih INDOBeXG-CP naik sebesar 1,65% ke level 118,26, dari 116,34 di akhir tahun 2022.

Sedangkan pada indeks harga bersih INDOBeXC-CP, tercatat turun 0,49% ke level 111,59, dari sebelumnya 112,14.

“Terbatasnya pertumbuhan indeks harga bersih tersebut mengindikasikan pasar diwarnai dengan tingginya volatilitas,” imbuhnya.

Pada 2024, ketidakpastian kondisi geopolitik global akibat memanasnya konflik di Timur Tengah dan potensi perlambatan ekonomi dunia masih membayangi volatilitas pasar obligasi. Meski demikian, potensi penurunan suku bunga acuan bank sentral di negara-negara maju, terutama Bank Sentral Amerika Serikat (The Federal Reserve/The Fed) menumbuhkan peluang kinerja positif pasar surat berharga Indonesia.

Ifan bilang, di semester I-2024, The Fed diperkirakan bakal mengakhiri siklus pengetatan moneter, seiring dengan tren inflasi AS yang mengarah ke target sasaran 2%. Tidak hanya itu, berdasar dot plot The Fed yang dirilis Desember kemarin, mayoritas pejabat The Fed memproyeksi penurunan nilai tengah Fed Fund Rate (FFR) alias suku bunga The Fed dari 5,38% menjadi 4,63% pada akhir 2024.

“Pelaku pasar berdasarkan proyeksi FedWatch Tool dari CME tampak lebih optimistis dengan memproyeksikan peluang pemangkasan suku bunga The Fed sebanyak lima kali atau sebesar 125 bps (basis poin) ke kisaran 4,00% - 4,25%,” ujar Ifan.

Di dalam negeri, Bank Indonesia juga diperkirakan bakal mulai melakukan pemangkasan suku bunga acuan (BI 7 Days Repo Rate/BI7DRR) pada kuartal III-2024 sebesar 25 bps, ke level 5,75% dan 50 bps ke 5,25% pada kuartal IV-2024. Hal ini sejalan dengan inflasi yang diperkirakan dalam tren terkendali yakni di level 3,7% pada tahun 2024.

Meskipun demikian, perkembangan arah kebijakan moneter The Fed, potensi meningkatnya risiko tensi geopolitik dan aksi invesor yang mengambil sikap hati-hati atau  wait and see pasar terhadap pelaksanaan pemilihan umum (Pemilu) yang akan diselenggarakan di 57 negara, termasuk Amerika Serikat dan Indonesia akan menjadi faktor penentu volatilitas pasar obligasi di Tahun Naga Kayu. Dengan pasar obligasi nasional masih akan ditopang oleh permintaan dari investor domestik yang diperkirakan masih solid.

“Potensi peningkatan demand diperkirakan berasal dari investor institusi keuangan non-bank, didorong oleh adanya kebutuhan reinvestasi, pemenuhan kewajiban investasi pada SBN (Surat Berharga Negara) dan potensi imbal hasil yang lebih tinggi, serta kondisi makroekonomi domestik,” beber Ifan.

Selain dari investor domestik, porsi investor asing di SBN juga berpotensi mengalami peningkatan, akibat siklus pengetatan moneter The Fed yang akan berakhir pada pertengahan tahun pertama 2024. Dengan proyeksi ini, Ifan memperkirakan, penerbitan obligasi korporasi pada 2024 dalam skenario moderat berpeluang sedikit lebih tinggi dari tahun lalu.

Pun dengan total nilai obligasi korporasi yang akan jatuh tempo pada tahun ini juga diperkirakan akan sedikit lebih tinggi, di angka Rp124,50 triliun, dibandingkan dengan nilai obligasi yang jatuh tempo di 2023 yang sebesar Rp116,38 triliun.

“Terbatasnya penerbitan obligasi korporasi dipengaruhi oleh suku bunga di level tinggi serta wait and see pada tahun Pemilu 2024,” lanjut dia.

Dari sisi obligasi pemerintah, berdasar Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024, pemerintah telah merencanakan penerbitan SBN senilai Rp666,4 triliun, sesuai dengan dengan asumsi defisit APBN tahun ini yang ditargetkan ada di level 2,29% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Adapun target penerbitan SBN akan dipenuhi melalui dua instrumen, yaitu Surat Utang Negara (SUN) dan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN), baik dalam rupiah maupun valas.

“Secara komposisi mayoritas pemenuhan target penerbitan SBN tersebut akan dilakukan melalui penerbitan SBN domestik nonritel yakni sebesar 68% hingga 70% dari total penerbitan SBN pada tahun 2024,” jelas Ifan.

Setali tiga uang, Director & Chief Investment Officer - Fixed Income Manulife Management Investment Ezra Nazula menyebut, daya tarik pasar obligasi Indonesia masih akan terjaga baik di 2024. Ini tercermin dari imbal hasil obligasi Indonesia tenor 10 tahun yang ada di kisaran 6,7% sejak awal tahun.

Imbal hasil tersebut jauh lebih tinggi ketimbang yield obligasi di beberapa negara lain, seperti Thailand (3,2%), China (3,0%), Malaysia (2,3%), Filipina (2,1%), India (1,7%), Amerika Serikat (0,9%), dan Eropa (-1,9).

“Kondisi ini disertai dengan peralihan kebijakan suku bunga global yang lebih akomodatif dan nilai tukar rupiah yang lebih stabil, sehingga berpotensi mendorong masuknya aliran dana asing yang dapat mendukung pasar obligasi domestik,” kata Ezra.

Pada saat yang sama, kondisi makroekonomi yang diperkirakan akan suportif, dengan didukung oleh inflasi yang terjaga dan potensi pemangkasan suku bunga menjadikan pasar obligasi nasional lebih seksi untuk investor. Dengan skenario ini, dia memperkirakan, imbal hasil SBN tenor 10 tahun akan berada di kisaran 6,00% hingga 6,25% di tahun ini.

Sementara itu, meski pasar obligasi di 2024 diramal bakal tumbuh positif, Ezra mengingatkan akan adanya risiko yang perlu dicermati dan diantisipasi oleh para investor. Yakni, risiko dari tekanan penerbitan obligasi pemerintah, terutama pada paruh pertama 2024. Kemudian, risiko dari melebarnya selisih yield antara SUN Indonesia dibandingkan yield US Treasur. Serta, dari perbedaan ekspektasi pemangkasan suku bunga The Fed, dan terakhir dari ketidakpastian geopolitik yang bisa jadi akan semakin meningkat.

“Soal penerbitan obligasi pemerintah di semester I-2024, itu adalah strategi DJPPR (Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko) Kementerian Keuangan untuk melakukan lelang surat utang lebih banyak di awal tahun atau yang biasa disebut strategi front-loading issues policy,” tutur Ezra, saat dikonfirmasi Alinea.id.

img
Qonita Azzahra
Reporter
img
Satriani Ari Wulan
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan