Mewujudkan e-commerce inklusif bagi penyandang disabilitas
Pertumbuhan jumlah pengguna niaga elektronik alias e-commerce diramal bakal mengalami pertumbuhan pesat. Berdasar data Statista Market Insight, pada 2022 saja jumlah pengguna e-commerce mencapai 178,94 juta, naik dari tahun sebelumnya yang sebanyak 158,65 juta. Pada tahun ini, pengguna e-commerce diramal bakal mencapai 208,55 juta, kemudian menjadi 244,67 juta pengguna pada 2027.
Di antara ratusan juta pengguna itu, bisa jadi ada penyandang disabilitas yang menggunakan layanan belanja digital ini. Sementara itu, menurut BaKTI, disabilitas terdiri dari banyak macam. Disabilitas fisik atau daksa, yang ditandai dengan terganggunya fungsi gerak; disabilitas intelektual seperti yang dialami orang-orang dengan kecerdasan di bawah rata-rata; disabilitas mental yang ditandai oleh terganggunya fungsi pikir, emosi dan perilaku; serta disabilitas sensorik, keterbatasan pada pancaindra.
“Kita juga manusia biasa, yang kalau melihat barang-barang bagus atau yang kita butuhkan, kita ingin beli. Jadi, ya kami belanja juga di e-commerce,” kata Sabila, salah satu barista di toko kopi di Jakarta Pusat, kepada Alinea.id, Rabu (29/11).
Untung baginya, karena memiliki mata normal yang masih bisa berfungsi dengan baik. Karena hanya dengan indrapenglihat, teman tuli ini dapat memilih apa yang ingin dia beli di e-commerce.
Meski begitu, ada satu fitur yang Sabila hindari saat berbelanja, yakni Live Shopping, layanan belanja langsung. Sebab, dengan telinganya yang tidak bisa berfungsi dengan baik, perempuan 23 tahun itu sama sekali tidak bisa menangkap apa yang disampaikan oleh penjual dalam siaran belanja langsung itu.
“Enggak ada subtitle atau juru bahasa isyarat di siarannya. Jadi saya enggak tahu apa yang mereka bicarakan. Saya cuma bisa tahu apa yang mereka jual, tapi enggak tahu (spesifikasi) produknya seperti apa,” imbuhnya.
Lain halnya dengan Sabila, Haidar bisa berbelanja di platform e-commerce seperti orang biasa yang tidak memiliki keterbatasan. Sampai tiba saatnya kalau dia melihat barang-barang berwarna hijau dan merah. Ya, dia adalah penderita buta warna parsial yang tidak bisa membedakan warna hijau dan merah.
“Pernah sekali ingin beli jaket bomber, sudah beli, check-out warna coklat. Sudah dipakai juga beberapa minggu, tapi ternyata pas pulang kampung dan dikasih tahu Ibu, ternyata jaketku warna hijau army dan selama ini aku nganggepnya ya itu coklat,” katanya sambil terkekeh, saat dihubungi Alinea.id, Rabu (29/11).
Kebingungan dalam melihat warna barang selalu dialaminya saat melihat tampilan platform niaga elektronik. Akan bagus jika penjual memberikan deskripsi lengkap, termasuk warna dari produk yang mereka jual. Nyatanya, masih banyak yang memberikan informasi produk sekadarnya.
“Makanya, biar aman ya beli yang warnanya jelas aja. Hitam, putih, kuning, abu-abu tapi yang muda,” lanjut dia.
Fitur ramah difabel
Sejak muncul di Indonesia di akhir 1990-an, e-commerce terus bertumbuh. Pengguna platform belanja elektronik pun semakin bertambah dengan adanya Covid-19 pada 2020 lalu.
Namun, sampai sekarang e-commerce belum bisa menjadi tempat berbelanja inklusif bagi para penyandang disabilitas. Hal ini terlihat dari sangat jarangnya platform yang menyediakan fungsi voice over dan bisa mengubah tulisan menjadi suara atau subtitle pada layanan Live Shopping mereka.
“Saya cuma tahu yang ada fitur voice over-nya itu di Tokopedia,” kata Aktivis Hak Disabilitas Agus Hasan Hidayat, kepada Alinea.id.
Menurutnya, kedua fitur itu seharusnya ada di platform e-commerce. Pasalnya, voice over akan sangat membantu penyandang tunanetra dan subtitle untuk teman tuli.
Selain itu, fungsi-fungsi dasar untuk disabilitas ini juga harus diintegrasikan dengan platform pembayaran digital serta ke sistem perbankan. Agus bilang, ini penting karena saat melakukan pembayaran produk, konsumen akan langsung disambungkan dengan sistem pembayaran untuk menyelesaikan pembayaran, sebelum barang terbeli sepenuhnya.
“Nah, karena enggak satu sistem, jadi kan layanan di sistem pembayaran berbeda dan setahu saya platform pembayaran digital, apalagi bank tidak menyediakan layanan ini. Jadi, sama saja teman-teman tunanetra ini masih kesulitan,” ungkapnya.
Sementara itu, untuk teman tuli, kesulitan tidak hanya dari nihilnya subtitle di layanan Live Shopping saja, namun juga dari deskripsi produk yang kadang ditulis sangat sedikit. Sehingga, keterangan itu tidak bisa menggambarkan produknya dengan jelas.
“Mereka banyak cerita, kalau tanggal kembar atau saat lagi banyak diskon, mereka sebetulnya juga ingin ikut. Tapi mereka (penyandang disabilitas tunarungu dan netra) kalah duluan, karena enggak ada fitur yang mendukung,” imbuh Agus.
Sementara ihwal fitur ramah difabel, pada akhir 2021, Tokopedia telah merilis fitur voice over untuk memudahkan penyandang tunanetra. Kini, platform niaga elektronik yang identik dengan warna hijau itu meluncurkan fitur tampilan warna yang ramah bagi penyandang buta warna atau yang secara medis dikenal sebagai defisiensi penglihatan warna.
Perlu diketahui, buta warna, baik parsial maupun total termasuk ke dalam kategori disabilitas sensorik. Di dunia, prevalensi penderita buta warna cukup banyak, yakni mencapai 2% hingga 5% populasi. Indonesia, di sisi lain, tidak ada data terbaru terkait total jumlah penderita buta warna. Namun, jika merujuk data Riset Kesehatan Dasar tahun 2007, buta warna terjadi pada sekitar 0,7% masyarakat Indonesia.
Head of Sustainability Grup GoTo Tanah Sullivan bilang, fitur ini tersedia pula di anak perusahaan GoTo yang lain, yakni di Gojek dan Gopay. Selain itu, fitur ini juga bisa diaktifkan oleh pengguna aplikasi di Indonesia, Vietnam dan Singapura. Dengan integrasi fitur ini, dia berharap para penyandang buta warna bisa menjalankan aktivitas belanja mereka di platform digital lebih mudah.
“Fitur terbaru ini menyesuaikan warna layar dan menciptakan kontras yang lebih tinggi antara teks dan latar belakang, meningkatkan keterbacaan dan mengurangi ketegangan mata, terutama di lingkungan terang benderang sesuai dengan standar kontras AAA, yang merupakan standar aksesibilitas tertinggi, dari Web Content Accessibility Guidelines (WCAG),” kata Tanah, dalam keterangannya kepada Alinea.id, Rabu (29/11).
Dia melanjutkan, fitur ini tidak hanya diharapkan dapat memenuhi kebutuhan mendesak para pengguna aplikasi dari kalangan penyandang buta warna, tetapi juga menetapkan standar aksesibilitas dalam industri digital. Dus, ekosistem industri digital di Indonesia pun dapat lebih ramah dan inklusif bagi penyandang disabilitas.
“Sehingga memperkuat peran kami sebagai yang terdepan dalam menciptakan ekosistem digital yang inklusif. Kami harap lebih banyak lagi masyarakat yang dapat merasakan berbagai kemudahan dalam ekosistem GoTo,” harapnya.
Terpisah, Chief Technology Officer Grup GoTo Herman Widjaja mengungkapkan, menciptakan teknologi yang mendorong kemajuan secara inklusif untuk semua adalah salah satu tujuan utama GoTo sebagai ekosistem digital. Inovasi ini pun merupakan perwujudan komitmen GoTo dalam menyediakan ekosistem digital inklusif bagi pengguna aplikasi secara luas, termasuk di antaranya untuk para penyandang disabilitas, sebagai bagian dari Komitmen Keberlanjutan Tiga Nol Perseroan.
“Untuk itu, kami selalu berupaya melakukan inovasi untuk meningkatkan pengalaman seluruh pengguna aplikasi, termasuk yang berkebutuhan khusus. Kami harap fitur inklusif ini dapat membantu lebih banyak masyarakat dan makin menghilangkan hambatan bagi pengguna aplikasi,” ujarnya.
Pengguna aplikasi GoTo sekaligus penyintas buta warna Fardhan Ramzy, mengaku sangat terbantu dengan adanya fitur terbaru yang ramah buta warna dari GoTo. Sebab, dengan fitur anyar ini, pihaknya bisa melihat lebih jelas tampilan e-commerce andalannya itu, termasuk barang-barang yang ditawarkan di dalamnya.
“Sebagai penyintas buta warna parsial, saya sangat mengapresiasi upaya GoTo untuk menciptakan fitur yang relevan dengan berbagai kalangan termasuk penyintas buta warna. Dengan fitur ini, transaksi online saya melalui Tokopedia maupun Gojek makin nyaman dan mudah.”