Milenial profesional dan utopia Erick Thohir mentransformasi BUMN
Rencana Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir menempatkan anak-anak muda di bangku kepemimpinan perusahaan pelat merah rupanya bukan isapan jempol. Baru-baru ini, Erick membuktikan kata-katanya dengan menunjuk tiga kalangan milenial untuk mengisi kursi direksi dan komisaris di BUMN.
Salah satu nama milenial yang mendapat jabatan penting adalah Muhammad Fajrin Rasyid (33 tahun). Co-Founder sekaligus Presiden BukaLapak ini ditunjuk Erick untuk mengisi jabatan sebagai Direktur Digital Business PT Telekomunikasi Indonesia (Persero) Tbk.
Nama lain ada Adrian Zakhary (33 tahun), mantan Senior Konsultan Independen untuk Alibaba Cloud dan UC Browser yang ditunjuk sebagai Komisaris PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VII. Terakhir, ada nama Fadli Rahman (33 tahun), mantan prinsipal di Bolton Consulting Group, yang dipercaya menduduki kursi komisaris di PT Pertamina Hulu Energi, anak usaha PT Pertamina (Persero).
Tiga milenial profesional di jajaran direksi dan komisaris ini sekaligus melengkapi nama-nama anak muda lain yang lebih dulu ditunjuk Erick. Mereka antara lain Septian Hario Seto (36 tahun) yang ditunjuk sebagai Komisaris Independen PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. (BNI), Graha Yudha Andarano Putra Pratama (33 tahun) sebagai Komisaris PT PP Presisi Tbk., dan Arif Rosyid Hasan (33 tahun) menempati Komisaris PT Bank Mandiri Syariah.
Total ada 6 nama dari generasi milenial yang menduduki jabatan penting di perusahaan BUMN. Jumlah ini masih jauh dari target Erick yang menginginkan setidaknya 5%-10% porsi direksi dan komisaris BUMN diisi oleh taruna-taruna muda.
“Saya tidak segan-segan mengangkat direksi yang muda bukan untuk gaya-gayaan, tapi bagian transformasi,” ungkap Erick dalam peresmian logo baru Kementerian BUMN, Rabu (1/7).
Karier melesat
Enam nama milenial di posisi strategis BUMN ini rata-rata sudah mencicipi posisi puncak kepemimpinan di perusahaan sebelumnya. Fajrin Rasyid, misalnya, dikenal sebagai salah satu dari tiga pendiri Bukalapak. Pria kelahiran 11 September 1986 ini menempuh studi di Institut Teknologi Bandung (ITB) pada 2004 hingga 2008.
Fajrin kemudian melanjutkan pendidikan di Daejeon University, Korea Selatan pada 2008 hingga 2009. Lalu, Harvard Business School pada 2018 dan Stanford University Graduate School of Business pada 2019 di Amerika Serikat.
Selepas hijrah ke Telkom, Fajrin melepas jabatannya di Bukalapak. "Kami mengonfirmasi bahwa salah satu Co-Founder sekaligus Presiden Bukalapak, Muhammad Fajrin Rasyid, telah resmi ditunjuk dan ditetapkan sebagai Direktur Digital Business PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk (Telkom)," kata Bukalapak dalam keterangan resmi yang diunggah di laman resmi mereka, dikutip Jumat (19/6/2020).
Saya mohon doa dari semua terkait amanah baru ini #telkom #telkomindonesia
Sebuah kiriman dibagikan oleh Muhamad Fajrin Rasyid (@fajrinrasyid) pada
Fajrin menyerahkan tugasnya sebagai Presiden Bukalapak kepada Dewan Direksi dan Manajemen Bukalapak.
Sementara itu, Fadli Rahman terpilih sebagai komisaris PT Pertamina Hulu Energi (PHE) sejak 20 Januari 2020. Pria kelahiran Jakarta, 5 Juli 1986 ini merupakan lulusan Ekonomi Mineral dan Energi Colorado School of Mines (CSM) pada tahun 2016 dengan gelar Ph.D (Doktor Filsafat) dan 2013 dengan gelar M.S (Master of Science). Sebelumnya, ia meraih gelar Bachelor of Science di ITB pada tahun 2007.
Adapun Septian Hario Seto masuk jajaran direksi BNI sejak Januari lalu. Sebelum pindah ke bank bercorak hijau-oranye ini, Septian menjabat sebagai Staf Khusus Menteri Koordinator Maritim dan Investasi (2018-2020) Luhut Binsar Pandjaitan.
Septian juga pernah menjabat sebagai Plt. Deputi Bidang Koordinator Investasi dan Pertambangan. Septian memperoleh gelar Sarjana (S1) Jurusan Akuntansi dari Universitas Indonesia dan S2 untuk Jurusan International Finance dari SKEMA Business School.
Milenial lain di pucuk BUMN adalah Adrian Zakhary yang menjadi Komisaris PTPN VIII. Pria kelahiran Palembang, 3 Februari 1987 ini memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian dari Universitas Padjajaran Bandung dan lulus 2009. Kemudian, gelar Magister Ekonomi dari Universitas Indonesia dan lulus 2016. Adrian sebelumnya berkarier sebagai Direktur Program, Penyiar, Produser Radio, Reporter, Jurnalis dan sempat menjadi Produser program berita di stasiun NET TV (2006-2016).
Nama milenial lain yang naik ke tampuk pengurus di grup BUMN adalah Graha Yudha Andarano Putra Pratama. Pria berumur 33 tahun ini bahkan sempat dikabarkan menduduki jabatan tiga komisaris sekaligus di lingkungan BUMN, yakni di PT PP Presisi Tbk, PT Waskita Toll Road dan satu lagi perusahaan afiliasi PT Industri Kereta Api Indonesia (Inka), yakni PT Inka Multi Solusi Trading (IMST). Namun, kabar ini dibantah Staf Khusus Menteri BUMN Arya Sinulingga. Arya menyebut Graha Yudha hanya menjabat satu posisi yakni di PT PP Presisi Tbk.
Terakhir, M. Arief Rosyid, Komisaris Independen Bank Mandiri Syariah. Sebelum menjabat posisi itu dia aktif di sejumlah organisasi, termasuk sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (2013-2015). Pria kelahiran Ujung Pandang, 4 September 1986 ini adalah lulusan Dokter Gigi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Hasanuddin tahun 2010. Ia meraih Magister Kesehatan Masyarakat dari Universitas Indonesia pada tahun 2014.
Beradu konsep digital
Staf Khusus Menteri BUMN Arya Sinulingga menjelaskan, penunjukkan para milenial ini bertujuan untuk merombak wajah BUMN lama agar menjadi lebih modern dan punya orientasi ke arah digital. Untuk itu, tambahnya, rerata anak muda yang ditunjuk sebagai komisaris atau direksi di BUMN ini pernah bekerja atau menjadi pimpinan di perusahaan teknologi.
Pengalaman serta intelektualitas mereka dalam bidang teknologi itulah yang amat dibutuhkan BUMN. Harapannya, agar cita-cita transformasi digital BUMN bisa terwujud secepatnya.
“Secara kapasitas intelektual dan kapasitas bisnis, mereka punya pengalaman juga. Dan jangan lupa, mereka juga punya perusahaan-perusahaan yang kapitalisasinya besar juga,” tutur Arya kepada Alinea.id, (29/6).
Arya boleh jadi benar. Kapasitas anak-anak muda ini dalam bidang teknologi dan digital tidak sepatutnya diragukan. Setidaknya, jika merujuk pada daftar riwayat hidup para milenial ini, rerata memang pernah menjadi orang penting di perusahaan-perusahaan berbasis teknologi, baik di Indonesia maupun luar negeri.
Kapasitas itu tampak pada sebuah diskusi bersama Kementerian BUMN belum lama ini. Tiga dari enam milenial di BUMN, yaitu Fajrin Rasyid, Adrian Zhakary dan Fadli Rahman tampak sudah katam bicara transformasi digital yang menjadi tema dalam diskusi itu.
Fajrin Rasyid memaparkan empat konsep digitalisasi yang akan dibawa ke dalam tubuh Telkom. Pertama, kata ia, transformasi operasional dengan konsep digital. Fajrin menginginkan ada aplikasi untuk membuat proses operasional di Telkom bisa berjalan lebih efektif dan efisien. Misalnya, dengan membuat Standar Operasional Prosedur (SOP) dalam perusahaan menjadi lebih paperless (sedikit/tanpa kertas).
Selanjutnya, customer touch point atau memanfaatkan digitalisasi untuk memenuhi kebutuhan pelanggan. Fajrin berharap agar ke depannya Telkom dapat memberikan pelayanan pelanggan yang lebih ringkas dan efisien melalui semua kanal digital, termasuk sosial media. “Jadi transformasi media membuat jarak orang dengan brand (jenama) semakin dekat,” imbuhnya, (26/6).
Ketiga, transformasi model bisnis. Artinya, melihat peluang untuk ekspansi ke bisnis baru yang lahir lantaran adanya teknologi. Misalnya, dengan mulai fokus pada bisnis konektivitas digital, platform digital, dan komputerisasi platform. Fajrin melihat, dengan kekuatan yang dimiliki Telkom sekarang, rencana itu amat mungkin dilakukan.
Terakhir adalah konsep servis digital. Di sini, Fajrin ingin Telkom menyentuh konsumen akhir, baik individu maupun perusahaan dengan pendekatan digital. “Jadi either (antara) B2B (business to business/bisnis ke bisnis) atau B2C (business to customer/bisnis ke konsumen),” katanya.
Sementara Fadli Rahman selaku Komisaris PHE menawarkan tiga konsep. Yakni integrated data management (manajemen data terintegrasi), digital procurement (penjualan secara digital), dan predicted maintenance (pemeliharaan terprediksi).
Tiga konsep ini, menurut Fadli, merupakan digitalisasi yang kelak membuat PHE kian efisien dan kompetitif. Dengan konsep manajemen data terintegrasi, misalnya, sekitar 70%-80% sumur PHE yang didominasi kilang tua dapat dikontrol secara berkesinambungan.
Tujuannya agar tindakan-tindakan yang diambil dalam proses perawatan kilang tua itu dapat diperhitungkan secara cepat dan tepat. Selain itu, sistem ini juga dapat menganalisa kembali tingkat keekonomian sumur-sumur tua tersebut, apakah masih bisa dimanfaatkan lagi atau tidak.
“It’s about calculated action (itu soal mengkalkulasi tindakan),” tutur Fadli dalam kesempatan yang sama.
Sedangkan Adrian Zakhary hanya menawarkan satu konsep digitalisasi, yaitu Perkebunan Go Digital. Konsep ini mencakup seluruh tahap proses tanam, dari hulu hingga ke hilir, atau mulai dari tahap perencanaan hingga pascapanen.
Adrian menjelaskan, digitalisasi awal bakal dimulai dari tahap perencanaan tanam, produksi, efisiensi pabrik, dan optimalisasi hasil panen agar dapat menghasilkan produk-produk berdaya saing dan bernilai tinggi di masyarakat lokal maupun luar negeri.
“Setelah itu, perencanaan itu akan diimplementasikan. Nah. ini kemungkinan besar di tahun ini akan terlihat bagaimana transformasi dilakukan di holding perkebunan keseluruhannya. Lalu setelah itu ya diawasin, dicek lagi, dilakukan inspeksi,” papar Adrian.
Dia menambahkan pada tahap pascapanen, sistem digital dapat membantu skema otomatisasi data dilakukan lebih cepat. Dengan cara itu, kata ia, data konsumen PTPN VIII dapat dimanfaatkan kembali untuk memperluas saluran distribusi penjualan.
“Kemudian juga memanfaatkan business intelligence yang ada saat ini dengan kondisi market (pasar) seperti apa. Kita juga meningkatkan distribusi channel (saluran) kita. Digital marketing kita akan tingkatkan di pemasaran dan bagaimana kita akan memanfatkan sosmed,” sambung Adrian.
Bukan jaminan
Digitalisasi satu hal. Namun, BUMN bukan hanya perlu digitalisasi. Sebelum mentransformasi ke arah digital, para milenial juga akan berhadap dengan segala birokrasi yang ada di tubuh BUMN. Pengamat Kebijakan Publik Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah pesimistis para milenial bisa menaklukkan tantangan yang satu ini. Pasalnya, kata ia, bekerja di perusahaan BUMN amat berbeda dengan di perusahaan-perusahaan lainnya.
Di BUMN, kata Trubus, para pejabatnya ditantang untuk tidak hanya berorientasi pada keuntungan, tapi juga harus berpihak pada layanan publik. Tantangan itu, menurut Trubus, bakal sulit ditaklukan para milenial yang notabene mantan petinggi di perusahaan-perusahaan yang berorientasi profit.
Belum lagi jika mereka sudah mulai dihadapkan birokrasi berbelit dan skema-skema politis yang sudah menjadi masalah lawas di BUMN. “Dia sudah pengalaman di perusahaan-perusahaan privat. Saya apresiasi itu. Tetapi ketika di perusahaan negara, banyak nuansa politik lebih kental. Itu berat,” jelas Trubus saat dihubungi Alinea.id melalui telepon belum lama ini.
Trubus juga pesimistis melihat sosok anak muda di tubuh BUMN lantaran sempat dikecewakan oleh blunder sejumlah Staf Khusus Milenial Presiden beberapa waktu lalu. Menurutnya, konflik kepentingan dan praktik kolusi seperti yang sempat membelit Adamas Belva Syah Devara dan kawan-kawan bisa saja terjadi lagi pada petinggi milenial BUMN saat ini.
Ia tidak berharap hal itu akan terjadi. Jika kenyataan kenyataannya berbicara lain, kata Trubus, maka sudah dapat dipastikan bahwa kehadiran milenial di BUMN justru akan kontraproduktif dengan cita-cita Erick Thohir. Boleh jadi bukan keuntungan negara yang didapat, melainkan justru beban negara yang semakin bertambah.
Patut diingat, sambung Trubus, selama ini negara sudah sering terbebani karena harus memberi Penyertaan Modal Negara (PMN) kepada sejumlah BUMN. Tahun ini negara menyalurkan PMN kepada 11 BUMN dengan total Rp17,73 triliun.
Angka itu ditambah lagi dengan kucuran dana segar pemerintah melalui program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Sebanyak 12 BUMN, mulai dari PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) hingga PT Garuda Indonesia bakal mendapatkan bantuan dana pemerintah dalam bentuk PMN, kompensasi piutang dan talangan dengan total Rp52 triliun.
Karena itu, menurut Trubus, para milenial ini harus berhati-hati betul dalam menjalankan tugas di posisi barunya sekarang. Sebab, tantangan mereka dalam mengurus BUMN ini tidak terbatas pada masalah transformasi digital, melainkan juga pada sisi politis yang jika salah langkah bisa membuat mereka terpeleset.
“Karena apa? Karena jabatan ini di bawahnya dikelilingi oleh orang-orang lama, orang-orang yang punya relasional dengan pihak-pihak tertentu atau free rider (penunggang gelap) juga di dalamnya itu,” terang ia.
Pandangan senada disampaikan pengamat BUMN dari Universitas Indonesia (UI) Toto Pranoto. Menurut Toto, penunjukkan milenial di kursi komisaris dan direksi BUMN bukan jaminan bagi perusahaan pelat merah akan lebih baik dari sebelumnya.
Sebab, tegasnya, bisa saja masih banyak persoalan-persoalan klasik di BUMN yang belum sepenuhnya dipahami para anak-anak muda ini. Beberapa persoalan itu di antaranya banyaknya regulasi, risiko besar dalam pengembangan bisnis, dan aksi-aksi korporasi yang justru bisa berujung ke meja hukum.
Belum lagi, soal prinsip business judgment rule yang belum ditafsirkan secara seragam oleh aparat penegak hukum, sehingga membuat sebagian besar BUMN harus jalan di tempat karena dihantui bayang-bayang hotel prodeo.
“Nah, apakah milenial bisa dobrak situasi tersebut? Kita lihat segera,” tulis Toto dalam pesan singkat kepada Alinea.id, (29/6).
Tetapi, sambung Toto, anak-anak muda ini setidaknya sudah memiliki spirit untuk menuju arah perubahan itu. Meski di sisi lain, kebijakan-kebijakan strategis untuk mendukung langkah mereka agar bisa memberikan kontribusi maksimal untuk BUMN juga masih amat dibutuhkan.
Karena itu, kata Toto, Erick Thohir harus memainkan peran. Salah satunya dengan memastikan kepada seluruh jajarannya bahwa BUMN bukanlah organisasi birokrasi, melainkan sebuah korporasi yang dibentuk untuk kepentingan publik dan negara.
Selain itu, Erick juga harus memastikan bahwa pola pengelolaan BUMN harus lebih dihadapkan pada persaingan pasar, bukan hanya berorientasi terhadap profit.
“Sementara BUMN yang heavy dengan penugasan pemerintah (PSO) harus menunjukkan kemampuan melakukan efisiensi dan layanan yang makin baik. Kuncinya pemberdayaan SDM (Sumber Daya Manusia),” pungkas ia.