Mimpi jadi pelaku fesyen kelas dunia dan realita tingginya impor bahan baku
Fesyen atau mode yang erat kaitannya dengan pakaian akan selalu mendapatkan tempat tersendiri di hati masyarakat. Terlebih, meski masih termasuk dalam kelompok kebutuhan pokok, kebutuhan akan pakaian masih berada di bawah makanan dan tempat tinggal.
Bahkan bagi masyarakat golongan berpendapatan sangat rendah, pakaian acap kali masuk ke dalam golongan tersier atau kebutuhan penunjang. Namun demikian, pakaian tidak bisa begitu saja dilepaskan dari kehidupan manusia.
Terlepas dari itu, gelaran fesyen di tanah air makin berkibar. Pada 25-28 November lalu, GCM Group -yang sebelumnya merupakan bagian dari Femina Group- sukses mengadakan gelaran Jakarta Fashion Week (JFW) 2022. Hal ini terbukti dari jumlah tayangan JFW yang mencapai lebih dari 140 juta hingga pertengahan Desember 2021. Rangkaian acara JFW ke-14 yang dilangsungkan secara virtual ini telah menghasilkan 60,5 juta penonton hingga periode yang sama.
Dari total penonton tersebut 95% di antaranya disumbang oleh penonton dari Indonesia dan sisanya dari luar negeri. Kondisi tersebut membuktikan bahwa fashion Indonesia sudah semakin dilirik, tidak hanya dari masyarakat dalam negeri sendiri, namun juga oleh warga negara asing.
Tidak berhenti di peragaan busana saja, 760 looks dari 75 desainer dan jenama lokal pun juga ditawarkan kepada masyarakat luas. Selain JFW, masih banyak lagi gelaran-gelaran peragaan busana lainnya yang menjadi tempat pengenalan sekaligus saksi perkembangan industri fesyen tanah air.
Embracing Jakarta Muslim Fashion Week misalnya, menjadi ajang peragaan busana muslim yang digagas oleh Kementerian Perdagangan (Kemendag) dan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia.
Dengan kondisi tersebut, tak heran jika industri fesyen maupun tekstil dan pakaian jadi akan terus hidup. Bahkan, di Indonesia industri tekstil dan pakaian jadi terus mengalami pertumbuhan sejak kuartal-I 2017 hingga kuartal-IV 2019.
Dengan pertumbuhan tertinggi pada kuartal-II 2019, yang pada saat itu mencapai 20,71% secara tahunan (year on year/yoy). Jauh lebih tinggi dibandingkan periode yang sama di tahun sebelumnya, yang hanya sebesar 6,48% yoy.
Selain pertumbuhan, investasi di sektor manufaktur ini pun ikut terkatrol naik sejak 2016 hingga 2019. Berdasarkan catatan Kementerian Perindustrian (Kemenperin), pada tahun 2016, investasi industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) berada di angka US$11,83 miliar.
Kemudian di tahun 2017 menyentuh US$12,59 miliar. Tren ini berlanjut sampai dengan 2018 dengan nilai ekspor sebesar US$13,27 miliar. Sayangnya, di tahun 2019 nilai investasi mengalami penurunan sebesar 2,87% menjadi US$12,9 miliar saja.
Terpukul pandemi
Sementara itu, sama seperti sektor industri lainnya, industri tekstil dan pakaian jadi pun tidak luput dari pukulan pandemi Covid-19. Kontraksi tercatat mulai terjadi sejak kuartal-IV 2019, di mana pada saat itu pertumbuhan industri TPT hanya sebesar 7,17% saja, turun dari kuartal sebelumnya yang mencapai 15,08%.
Pada 2020, kontraksi di sektor esensial ini masih berlanjut, dengan penurunan tertinggi terjadi pada kuartal-II 2020 dan kuartal-I 2021. Masing-masing kuartal tersebut mencatatkan pertumbuhan sebesar -14,23% yoy dan -13,28% yoy.
Nasib serupa juga dialami kinerja ekspor yang juga turun menjadi US$10,6 miliar di sepanjang 2020, atau merosot 17% dibanding tahun sebelumnya. Pun demikian dengan investasi di sektor ini yang pada periode yang sama hanya senilai US$10,62 miliar.
Kali ini, momen Lebaran 2020 serta Hari Raya Natal dan libur Tahun Baru pun tak bisa menolong, seperti di tahun-tahun sebelumnya. Kondisi ini ditengarai karena penurunan daya beli serta perubahan pola belanja masyarakat yang lebih mengutamakan belanja kesehatan dibandingkan pakaian.
Sementara itu, meski masih mengalami kontraksi, kinerja industri tekstil dan pakaian jadi di tahun lalu nampaknya sudah mulai menunjukkan perbaikan. Terlihat dari pertumbuhan di kuartal-III 2021, yang sebesar -3,34% yoy. Angka ini membaik dibanding kontraksi pada kuartal sebelumnya, yang mencapai -4,54% atau bahkan kuartal-III 2020 yang sebesar -9,32% yoy.
“Kenaikan terjadi karena demand (permintaan-red) di dalam negeri sudah mulai membaik, dengan kembali diperbolehkannya sekolah tatap muka, kantor mulai masuk, mal buka, dan tempat-tempat wisata yang sudah mulai boleh dibuka lagi,” beber Direktur Tekstil, Kulit dan Alas Kaki Kementerian Perindustrian Elis Masitoh, kepada Alinea.id, Kamis (3/2).
Di saat yang sama, nilai ekspor dan investasi industri tekstil dan pakaian jadi pun turut mengalami perbaikan. Hingga periode Januari-Oktober 2021 nilai ekspor telah mencapai US$10,52 miliar.
Sedangkan berdasarkan hitung-hitungan Kemenperin, ekspor sektor ini hingga akhir tahun lalu diperkirakan dapat mencapai US$13,02 miliar. Kontribusi ekspor terbesar disumbang oleh komoditas pakaian jadi, yang diikuti oleh benang dan serat, dengan masing masing nilai ekspor sebesar US$8,35 miliar, US$2,06 miliar dan US$1,14 miliar.
Dari sisi investasi, kata Elis, pada periode Januari-Oktober tahun lalu penanaman modal di sektor ini telah mencapai Rp5,06 triliun. Jika dirinci, industri pakaian jadi berhasil mencatatkan investasi sebesar Rp2,1 triliun sedangkan industri pakaian jadi senilai Rp2,9 triliun.
“Dengan demikian, di sepanjang 2021, bisa jadi industri TPT bisa tumbuh sebesar 1,37% (yoy),” ungkapnya.
Menuju kelas dunia
Menurut Elis, kinerja apik ini selain disebabkan oleh perbaikan konsumsi masyarakat, juga didasari oleh kondisi sektor TPT yang sudah semakin kompetitif, baik di pasar dalam negeri maupun di kancah global. Hal ini terutama terjadi sejak pemerintah menerapkan Program Making Indonesia 4.0 dan berniat menjadikan industri tekstil dan pakaian sebagai salah satu dari lima pemain industri tekstil dunia pada 2030 nanti.
Dengan telah terintegrasinya bagian hulu hingga hilir, ditambah implementasi teknologi 4.0 yang sudah dilakukan oleh pabrik-pabrik tekstil hingga pakaian jadi, pihaknya yakin tujuan agar industri tekstil dan fesyen nasional bisa berjaya di luar negeri dapat tercapai secepatnya. Apalagi, satu per satu tujuan yang terdapat pada peta jalan atau road map Tekstil dan Busana 4.0: Menjadi Pemimpin dalam Produksi Pakaian ‘Fungsional’ sudah mulai tercapai.
“Kita sebenarnya sudah menjadi produsen tekstil dan pakaian jadi 3 besar dunia setelah Cina dan India,” kata Elis.
Ini terjadi karena produk tekstil dan pakaian jadi nasional selain dikonsumsi oleh 65% masyarakat Indonesia juga mulai dikenakan oleh 35% penduduk dunia. Capaian ini, lanjut Elis, diikuti juga oleh kabar gembira lainnya, yakni penurunan impor di beberapa komoditas tekstil dan produk tekstil pada tahun 2020.
Di mana secara keseluruhan, impor di tahun ini hanya sebesar US$7,2 miliar. Lebih rendah dibanding tahun 2019 yang sebesar US$9,37 miliar.
Sayangnya, penurunan nilai impor tidak berlanjut di tahun lalu. Dus, berdasarkan angka sementara Kementerian Perindustrian, substitusi impor di tahun 2021 hanya mencapai 18,5% atau sebesar US$9,43 miliar, masih dibawah target tahun kemarin, yang sebesar 22%.
Impor, lanjut Elis, masih didominasi oleh kain lembaran, dengan komposisi lebih dari 51%. “Ini karena bahan baku untuk industri berorientasi ekspor di kawasan berikat. Selain itu juga kenaikan harga kapas, benang dan kain,” jelas dia.
Ketergantungan impor bahan baku
Sementara itu, menurut Akademisi sekaligus Dosen Pascasarjana Universitas Nasional (Unas) Made Adnyana daya saing sektor TPT nasional masih tergolong menjanjikan. Hal ini terlihat dari nilai ekspor industri tekstil dan pakaian jadi yang cenderung positif dari tahun serta CAGR (Compound Annual Growth Rate) atau tingkat pertumbuhan rata-rata per tahun, yang pada 2019 di level 5,74% dan 5,41%.
Namun demikian, kecenderungan Indonesia untuk menjadi negara importir agaknya lebih besar dibandingkan potensi untuk menjadi salah satu pemain terbesar dunia. “Ini diperparah dengan semakin banyaknya produk-produk impor ilegal, terutama dari Cina dan semakin mahal dan langkanya bahan baku produk tekstil,” katanya, kepada Alinea.id, belum lama ini.
Hal ini lantas diamini oleh Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jemmy Kartiwa Sastraatmaja. Dia bilang, saat ini industri TPT Indonesia sudah berada pada tahap ketergantungan impor. Di mana MEG (mono ethylene glycol) dan PX (Paraxiline) menjadi penyumbang impor terbesar bahan baku produk tekstil dan pakaian jadi.
“MEG mayoritas impor, di atas 75%,” ungkap Jemmy, kepada Alinea.id, Sabtu (5/2).
Melansir laman resmi PT Polychem Indonesia Tbk., polychemindo.com, MEG merupakan salah satu bahan baku utama pembuatan benang dan serat polyester atau benang polyester, yang secara luas digunakan dalam pembuatan pakaian dan perlengkapan rumah tangga. Pun demikian dengan PX. Di sisi lain, bahan baku utama produk tekstil yang juga industri hulu sektor TPT ini merupakan produk hilir dari industri petrokimia.
Sebagai produk turunan minyak bumi, jelas harga dasar MEG dan PX sangat dipengaruhi oleh harga minyak mentah dunia. Dengan demikian, saat harga minyak mentah tengah terkerek seperti yang terjadi di sepanjang tahun 2020 lalu, produsen tekstil dan pakaian jadi lokal jelas kewalahan. Pasalnya, ongkos produksi yang harus dikeluarkan akan lebih besar akibat harga MEG dan PX juga turut mengalami kenaikan.
Untuk mengatasi permasalahan ini, API telah meminta agar pemerintah melalui industri petrokimia, yakni PT Pertamina (Persero) untuk dapat masuk ke dalam ekosistem industri tekstil dan pakaian jadi. Dengan langkah ini, diharapkan dapat mengurangi porsi impor bahan baku produk TPT dan lebih dapat mengoptimalkan ekspor industri ini.
Di saat yang sama, untuk memaksimalkan ekspor, Asosiasi juga telah membedah apa saja yang harus dilakukan oleh sub-sub sektor industri TPT yang berada di bawah naungannya. “Supaya substitusi (impor) juga bisa tercapai,” imbuh dia.
Tantangan lain yang masih menjadi halangan bagi perkembangan industri tekstil dan pakaian jadi berasal dari kerja sama antara Kementerian/Lembaga (k/l) dengan para produsen tekstil dan pakaian jadi yang belum berjalan dengan baik. Jemmy bilang, sampai saat ini keputusan terkait industri TPT lebih banyak hanya diambil oleh pemerintah sepihak saja. Sering kali Asosiasi tidak diajak urun rembuk.
Padahal, jika terkait pasar, para produsen tekstil dan pakaian jadi lah yang lebih banyak tahu, ketimbang pemerintah. “Contoh dalam melakukan perundingan PTA/FTA (free trade agreement) harus melibatkan industrinya dan mempertimbangkan level playing field-nya,” ujarnya.
Ihwal perjanjian dagang, Jemmy pun meminta agar pemerintah tidak gegabah dalam mengambil kebijakan serta harus pintar-pintar dalam melakukan negosiasi. Hal ini utamanya berlaku pada, perjanjian terkait komoditas (kode HS) apa yang diminta oleh negara lain, dan komoditas apa yang akan ditawarkan Indonesia.
Sebab, langkah ini sangat penting bagi keberlangsungan program substitusi impor yang dicanangkan pemerintah.
“Makanya harus berkomunikasi dulu. Karena asosiasi mempunyai informasi lebih mengenai kekuatan dan kelemahan industrinya,” tambahnya.
Selain itu, melalui komunikasi dengan produsen tekstil, pemerintah dinilai akan menguasai pasar ekspor lebih luas lagi. Sekaligus juga dapat menghindari kebijakan yang pro impor.
Sementara itu, untuk menjadi raja di negeri sendiri, pemerintah juga dinilai masih perlu menggaungkan kebijakan cinta produk Indonesia lebih keras lagi. Sebab, seperti yang telah banyak diketahui, konsumsi pakaian impor di Indonesia masih cukup tinggi.
Apalagi, industri pakaian jadi lokal juga masih harus bersaing dengan produk-produk impor ilegal, seperti pakaian-pakaian bekas dari Cina, Jepang hingga Korea Selatan.
Terpisah, Akademisi sekaligus Dosen Pascasarjana Universitas Nasional (Unas) Made Adnyana mengungkapkan, masih ada tantangan lain yang harus dihadapi oleh industri tekstil dan pakaian jadi. Beberapa di antaranya adalah terkait masih tingginya biaya energi, rendahnya produktivitas dan kapasitas sumber daya manusia (SDM).
Begitu juga dengan persoalan infrastruktur pelabuhan yang tidak kondusif dan mahal, serta tingginya biaya penyusutan mesin-mesin pertekstilan karena sebagian mesin yang dimiliki industri telah lapuk dimakan usia.
Karenanya, untuk memajukan industri tekstil dan pakaian jadi dalam negeri pemerintah diharuskan untuk dapat memperkuat kebijakan utamanya yang terkait dengan peningkatan ekspor dan penguatan pasar dalam negeri.
“Tentu dalam hal ini adalah melakukan pengendalian terhadap impor,” katanya, kepada Alinea.id, beberapa waktu lalu.
Selain juga dapat membuka investasi kepada siapapun untuk menanamkan modalnya di sektor ini. Termasuk juga memberikan kesempatan kepada industri kecil dan menengah (IKM) atau usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) untuk masuk ke dalam ekosistem TPT.
“Dengan kondisi ini, meskipun kontribusi industri tekstil terhadap perekonomian Indonesia cukup besar, tapi faktanya, sebenarnya industri ini sepertinya belum cukup siap untuk menghadapi revolusi industri. Makanya, untuk mencapai Making Indonesia 4.0 masih banyak yang harus dilakukan,” tegas Made.