close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Mindring atau bank keliling menyasar masyarakat yang tak tersentuh lembaga keuangan formal. Alinea.id/Oky Diaz.
icon caption
Mindring atau bank keliling menyasar masyarakat yang tak tersentuh lembaga keuangan formal. Alinea.id/Oky Diaz.
Bisnis
Selasa, 19 Mei 2020 07:04

Kiprah mindring yang kembali moncer kala pandemi

Ada yang semakin ganas, ada pula yang menjadi lebih lunak.
swipe

Mindring atau bank keliling. Profesi yang satu ini belakangan sudah jarang terdengar disebut atau mungkin sudah dilupakan sebagian besar masyarakat Indonesia. Padahal, pada masa kolonial profesi ini telah menjadi salah satu motor perekonomian bagi masyarakat kecil di perdesaan.

Sekitar awal abad ke-19, ketika pemerintah kolonial memperkenalkan alat tukar mata uang kepada kalangan Bumiputera, profesi mindring atau bank keliling mulai populer di Indonesia. Umumnya, profesi ini dilakoni oleh orang-orang timur asing atau keturunan Tionghoa.

Mereka bergerak secara informal ke kampung-kampung di Pulau Jawa sembari mendorong pedati berisikan barang kebutuhan sehari-hari, seperti baju, celana, gelas, piring, panci dan alat-alat dapur lainnya. Sembari menjajakan dagangan para pelaku mindring ini mengetok-ketok alat bebunyian yang disebut kelontongan, sehingga kalangan tani lebih mengenal mindring dengan sebutan kelontong.

Pada masa itu, masyarakat banyak terbantu oleh kehadiran mindring lantaran skema kredit yang ditawarkan dirasa lebih meringankan rakyat kecil. Selain itu, mindring juga kerap menawarkan pinjaman uang kepada buruh tani untuk modal pembelian pupuk, kerbau dan lain sebagainya.

Tetapi seiring berjalannya waktu, bunga kredit yang kian tinggi dan cara penagihan mindring yang tidak kenal belas kasih mulai dirasa memberatkan bagi masyarakat. Pelan dan pasti, mindring semakin dihindari.

Terminologi mindring yang sempat dianggap sebagai ‘penolong masyarakat kecil’ mulai bertransformasi ke arah negatif. Di Yogyakarta dan Solo, mindring dikenal dengan sebutan ‘Bank Titil’ yang berarti utang dicicil tidak lunas-lunas. 

Kadang disebut juga ‘Bank Plecit’. Artinya, ketika didatangi, nasabah lari kocar-kacir. Ada juga julukan ‘Bank Ucek-Ucek’ yang bermakna hari ini diberi utang, besok pagi harus sudah bayar angsuran.

Di Jawa Barat, mindring juga dikenal dengan sebutan Bank Emok yang dalam bahasa Sunda berarti duduk lesehan. Praktik pinjaman mikro ini menyasar ibu-ibu rumah tangga. Umumnya, bunga yang dikenakan cukup mencekik.

Ketika pada Oktober 1988, pemerintah mengeluarkan paket kebijakan ekonomi yang dikenal dengan sebutan Pakto 88, profesi mindring kian terkikis. Poin paling penting dalam kebijakan ini adalah memperbolehkan setiap orang mendirikan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) hanya dengan modal Rp50 juta dan bank umum dengan modal Rp10 miliar.

Sejak itu, nama mindring semakin terlupakan. Masyarakat kecil mulai beralih memenuhi kebutuhan dana ke kantor BPR atau koperasi simpan pinjam (kosipa) setempat yang dianggap lebih manusiawi.

Mindring dinilai sebagai noktah hitam kearifan lokal yang telah mencoreng budaya ewuh-pakewuh masyarakat Jawa. Orang-orang Jawa yang selalu merasa berutang budi dimanfaatkan mindring untuk terus melancarkan aksinya memberi pinjaman, kendati mereka tidak lagi butuh.

Dengan kata lain, mindring tidak pernah melepas korbanya untuk terus terlibat dalam jerat utang. Cara inilah yang membuat citra mindring semakin buruk, dan akhirnya mereka pun hilang sendiri seperti ditelan bumi.

Namun begitu, profesi mindring di Ibu Pertiwi ini sejatinya tidak pernah benar-benar mati. Ibarat sejumput akar rumput, mereka tetap ada, hanya menunggu musim yang tepat untuk tumbuh dan kembali menggerogoti.

Ilustrasi Rupiah. Foto Reuters/Willy Kurniawan.

Kian terasa semasa pandemi

Saat ini, ketika pandemi Covid-19 melanda Indonesia, dan kondisi ekonomi kian sulit, peran mindring mulai semakin dibutuhkan. Pedagang pasar yang mengalami kesulitan ekonomi lantaran penghasilan berkurang kini menjadi korbannya.

Sepekan lalu, persisnya 11 Mei, seorang pedagang sayur di Kota Bekasi, Jawa Barat, bahkan sampai menebas tangan petugas mindring yang datang menagih utang ke kediamannya.

AS, sang tersangka mengaku, ia jengah dengan petugas bank keliling itu karena terus menerus menagih utang di tengah kondisi sulit. Petugas itu menagih utang ke AS dengan nominal Rp150 ribu.

“Di saat itu saya cekcok sama dia, dia berkata jangan sok preman, jangan sok jagoan di sini. Saya bilang, saya bukan preman, saya bukan jagoan, ditusuk pun saya bisa mati,” kata AS seperti dinukil dari Kumparan, (14/5).

Lain cerita dengan Sri Rahayu (51 tahun), seorang pedagang jajanan ringan di Pasar Tanggul, Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Beberapa waktu lalu, kata Sri, petugas mindring sempat datang ke warungnya untuk memintanya segera melunasi utangnya.

Padahal, cicilan jatuh tempo Sri masih satu bulan lagi. Dengan dalih perusahaan akan menghentikan operasional kantor lantaran pandemi, mereka memaksa Sri untuk segera mengganti utangnya dengan barang.

Kulkas milik Sri untuk meletakkan minuman dingin nyaris diambil petugas mindring kalau saja suaminya tidak datang saat itu. “Untung bapak (suami Sri) datang, akhirnya enggak jadi diambil. Kalau kulkas yang diambil, saya mau jualan minuman pakai apa?” tutur Sri saat ditemui Alinea.id, Sabtu (17/5).

Sri mengaku, saat ini dirinya terjerat utang di tiga mindring sekaligus dengan nominal masing-masing Rp1 juta. Dua di antaranya sudah hampir lunas, sementara satu lainnya baru saja dimulai.

Sri terpaksa meminjam uang kepada mindring lantaran warung miliknya kini sepi pembeli. Penghasilan Sri semenjak masa pandemi merosot dari Rp400 ribu per hari menjadi hanya Rp150-200 ribu per hari.

Dengan penghasilan yang kian minim, Sri membutuhkan utang untuk menambah permodalan. Sulitnya pengajuan utang kepada bank atau BPR membuat Sri terpaksa berutang kepada mindring.

“Kalau sama mereka (mindring) ‘kan gampang. (Syaratnya) cuma KTP aja. Sudah gitu mereka yang datang. Kalau ke bank ribet ‘kan, mesti ini-itu,” kesahnya.

Hal serupa dirasakan pula oleh Daryonah (41 tahun), seorang pedagang kudapan kampung di Pasar Pengampuan, Jakarta Selatan. Sejak dua bulan terakhir, Daryonah mengaku telah dua kali meminjam uang kepada mindring.

Ia berutang masing-masing Rp1 juta atau total Rp2 juta. Tetapi yang ia terima hanya Rp900 ribu untuk setiap pinjaman. Potongan itu dikatakan Daryonah sebagai biaya admin.

“Bayarnya jadi Rp1,2 juta, Mas. Bunganya 20% sama biaya adminnya 10%,” kata Daryonah saat berbincang dengan Alinea.id pekan lalu.

Uang itu digunakannya untuk membayar biaya pendidikan anak bungsunya yang memiliki keterbatasan pendengaran atau tunarungu di sekolah luar biasa (SLB) Pangudi Luhur Rp650 ribu per bulan, membayar kontrakan Rp1,4 juta dan sisanya untuk penghidupan sehari-hari dirinya, suami dan tiga anaknya.

Tidak ada jalan lain, kata Daryonah, karena penghasilannya merosot drastis semenjak adanya pandemi Covid-19. Sementara suaminya, yang seorang pekerja bangunan, telah dirumahkan karena pagebluk itu.

“Biasanya bisa dapat Rp600-700 ribu, sekarang Rp200 ribu saja sudah susah. Apalagi sekarang ‘kan puasa,” tambahnya kemudian.

Daryonah masih cukup beruntung dibandingkan Sri ataupun AS, lantaran ia tidak sampai mendapatkan penagihan yang memaksa dari petugas mindring. Menurut ia, petugas mindring yang menagih utangnya masih bisa memberikan toleransi jika ia terpaksa menunggak pembayaran.

Berkedok kosipa

Ya, memang faktanya masih ada juga petugas-petugas mindring yang melakukan penagihan utang dengan mengedepankan asas kekeluargaan. Seperti diakui Ronald (bukan nama asli), salah seorang petugas mindring. Ronald menjelaskan, selama masa pandemi ia diperintahkan untuk tidak menagih utang secara berlebihan kepada nasabah.

Aktivitas penagihan utang yang biasanya dilakukan sehari sekali dilonggarkan menjadi hanya dua hari sekali. “Kalau ada yang nunggak, kita juga enggak kasih bunga lagi. Bunganya ya sudah segitu aja 20%, sama potongan tadi itu (admin) 10%,” tutur Ronald saat dihubungi Alinea.id pekan lalu.

Namun begitu, Ronald menampik jika tempatnya bekerja sekarang disebut sebagai bank keliling atau mindring. Lebih tepat, kata ia, disebut sebagai kosipa (koperasi simpan pinjam). Sebab memang begitulah para atasan Ronald menyebutnya.

Tetapi, jika disigi berdasarkan penuturan Ronald yang menyebut bahwa bunga pinjaman kosipa tempatnya bekerja mencapai 20% dan potongan admin 10%, maka sesungguhnya itu amatlah dekat dengan praktik mindring.

Sayang Ronald menolak menyebutkan apa nama kosipa tempatnya bekerja itu. Alinea.id pun tidak bisa menyelisik lebih jauh kesahihan argumennya dengan mengecek nama kosipa tempatnya bekerja melalui data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Kemenkop UKM).
 
“Jangan ditulis, Mas. Nanti kalau ada apa-apa, saya disalahin kantor,” pintanya.

Walau demikian, jika merujuk pada pernyataan Ketua Harian Satgas Anti Rentenir Kota Bandung Saji Sanjoyo, bisa jadi tempat Ronald bekerja memang benar mindring. Menurut Saji, saat ini banyak mindring atau bank keliling berkedok sebagai kosipa.

 

Itu juga, lanjutnya, alasan mengapa pemerintah Kota Bandung membentuk Satgas Anti Rentenir yang unsurnya terdiri dari anggota-anggota koperasi resmi, camat, akademisi, dan pengacara.

“Di lapangan ternyata ditemukan pelakunya itu banyak mengatasnamakan koperasi.  Dengan dalih kosipa, sehingga nama koperasi yang resmi menjadi jelek, menjadi tidak bagus,” terang Saji saat dihubungi Alinea.id pekan lalu.

Dibentuknya Satgas Anti Rentenir sendiri bertujuan untuk menjadikan Bandung sebagai kawasan tanpa lintah darat. Sebagian tugas satgas ini, antara lain mengadvokasi masyarakat yang terlilit utang mindring, mengedukasi warga tentang keuangan, dan memberi pembiayaan alternatif  bagi warga agar bisa melunasi utangnya.

Pembiayaan alternatif ini, terang Saji, akan disalurkan melalui koperasi mitra yang telah bekerja sama dengan Satgas Anti Rentenir. “Cuma itu bantuan terakhir biasanya. Yang kita kedepankan edukasinya, bagaimana mereka kuat menghadapi rentenir, bagaimana dia paham tentang keuangan, bagaimana mereka semangat membayar tanpa nambah utang lagi,” beber Saji.

Sejak dibentuknya pada Desember 2017, Saji menyebut, jumlah pengaduan masyarakat terhadap praktik mindring ke Satgas Anti Rentenir terus meningkat setiap tahunnya.

Pada 2018, jumlah pelaporan mindring di Satgas Anti Rentenir mencapai 1.081. Di 2019, jumlahnya bertambah menjadi 2.013 pelaporan. Sementara tahun ini, hingga akhir April 2020, jumlah pelaporan sudah mencapai 723.

“Tapi 60% pelaporan tahun ini rerata dari pinjol (pinjaman online). Untuk bank tradisional sekitar 20%, sisanya dari leasing,” kata ia. 

Saji menerangkan, jumlah pelaporan mindring yang lebih sedikit dibandingkan pinjol ini, kemungkinan terjadi karena dua hal. Pertama, Satgas Anti Rentenir tidak membuka pengaduan luring (luar jaringan), dan kedua pengetatan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) membuat mindring tidak bisa beroperasi secara normal.

Namun jika mengingat kondisi ekonomi semakin sulit, Saji memprediksi, jumlah pelaporan mindring pada Juni-Juli akan melonjak tajam dibanding tahun-tahun sebelumnya.

“Kalau sekarang mungkin mereka baru pinjam gitu ‘kan. Jadi belum banyak pelaporan. Nanti Juni-Juli kalau sudah sulit bayar, baru banyak laporan,” katanya.

 

Bukan tanggung jawab OJK

Patut diakui, meski dianggap menyebalkan, mindring juga sejatinya banyak dicari-cari oleh masyarakat. Hal ini tidak lepas dari sulitnya akses ke lembaga keuangan resmi bagi sedikit-banyak masyarakat di Tanah Air.

Data e-Conomy SEA 2019 menunjukkan, ada setidaknya 92 juta penduduk Indonesia yang belum bisa menikmati akses finansial. Jumlah ini setara dengan 19,2% total populasi Indonesia pada 2019 yang mencapai 269 juta jiwa.

Dari data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 2018, juga terlihat tingginya gap kebutuhan utang UMKM yang masih belum dapat dipenuhi perbankan. Setiap tahun bank umum atau konvensional hanya mampu memenuhi kebutuhan utang UMKM maksimal Rp700 triliun.

Sementara setiap tahunnya, UMKM membutuhkan utang sekitar Rp1.700 triliun. Artinya, masih ada kebutuhan utang Rp1.000 triliun yang belum mampu dipenuhi perbankan.

Gap inilah yang membuat praktik mindring masih tumbuh subur di Indonesia. Terlebih, praktik mindring juga tidak termasuk dalam wilayah pengawasan OJK. “Bank keliling/rentenir tidak diawasi oleh OJK,” tutur Juru Bicara OJK, Sekar Putih Djarot melalui pesan singkat beberapa waktu lalu.

Untuk mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap rentenir, OJK tidak hanya tinggal diam dengan beruncang-uncang kaki. OJK, kata Sekar, sudah melakukan segala upaya agar masyarakat bisa terbebas dari jerat rentenir.

Beberapa caranya, antara lain; meningkatkan literasi keuangan masyarakat, membuka akses ke lembaga keuangan bagi desa terpencil, memfasilitasi penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR), dan mendorong perluasan agen Laku Pandai (layanan keuangan tanpa kantor).

Selain itu, OJK juga berupaya memfasilitasi pendirian Bank Wakaf Mikro, program JARING (Jangkau, Sinergi, dan Guideline), serta mendukung program pemerintah dalam penyaluran bantuan sosial nontunai.

“Dengan meningkatnya literasi dan akses keuangan wilayah-wilayah pedalaman tersebut, diharapkan secara berangsur-angsur praktik rentenir mulai dilepaskan warga,” tukas Sekar.

 

OJK sendiri rutin mengadakan  Survei Nasional Literasi Keuangan (SNLIK) setiap tiga tahun sekali sejak OJK berdiri. Pada SNLIK ketiga tahun 2019 lalu, tercatat indeks literasi keuangan mencapai 38,03% dan indeks inklusi keuangan 76,19%. 

Angka tersebut meningkat dibandingkan hasil survei OJK 2016, yaitu indeks literasi keuangan 29,7% dan indeks inklusi keuangan 67,8%. Dengan demikian, dalam tiga tahun terakhir terdapat peningkatan pemahaman keuangan (literasi) masyarakat sebesar 8,33%, serta peningkatan akses terhadap produk dan layanan jasa keuangan (inklusi keuangan) sebesar 8,39%. 

Kiprah mindring atau bank keliling masih eksis hingga saat ini. Alinea.id/Oky Diaz.

 

img
Fajar Yusuf Rasdianto
Reporter
img
Kartika Runiasari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan