Miss-selling agen asuransi berujung nasabah rugi
Sekitar tahun 2017, Wulan (31), nasabah sebuah perbankan nasional ditawari produk asuransi kala bertandang ke kantor cabang bank bersangkutan. Seorang agen asuransi menyodorkannya produk unit link.
Sebagai seorang awam, Wulan mengaku tertarik dengan penjelasan sang agen. Tanpa bekal ilmu investasi, ia kepincut dengan tawaran perlindungan asuransi sekaligus investasi itu. Perempuan yang berdomisili di Bogor itu pun membeli produk asuransi jiwa tersebut.
Dia menyebut jumlah premi tiap bulan sebesar Rp300.000-an yang diambil secara autodebet dari rekening banknya.
"Waktu itu belum paham-paham banget, jadi iya iya aja, sebenarnya kalau udah paham enggak ada salahnya sih dari produk itu," ujar Wulan kepada Alinea.id, Selasa (11/5).
Ia mengaku belum 'melek' investasi kala itu. Alhasil, penjelasan agen asuransi tentang nilai investasi yang bisa diraih dalam kurun waktu ke depan pun memikatnya. Memang, agen tersebut hanya memfokuskan pada nilai investasi yang bakal didapatkan nasabah. Sementara, risiko penurunan nilai investasi tidak dijelaskan dengan gamblang.
"Kalau enggak paham investasi jadinya kan juga tidak paham risikonya, karena kayak main cepat aja gitu," imbuhnya.
Seiring waktu, Wulan pun pelan-pelan belajar investasi. Kebetulan, profesinya di sebuah perusahaan memberinya ruang edukasi terkait investasi. Kini, ia lebih memahami skema asuransi unit link.
Karenanya, ia pun tak kaget dengan adanya penurunan nilai investasi di awal masa pandemi. Tentu saja ini adalah imbas anjloknya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) saat wabah Coronavirus menerjang Indonesia. Nilai investasi saham dari asuransi miliknya pun ikut merah.
"Pas awal-awal tahun 2021 itu udah naik lagi, cukup signifikan," kata dia.
Namun demikian, Wulan kemudian memutuskan untuk menghentikan asuransi unit link itu pada Januari 2021. Dengan begitu, jaminan Rp100 juta untuk ahli waris bila terjadi kematian dan manfaat investasi unit link pun tak jadi dia dapatkan.
Dikarenakan tak sampai tuntas, pencairan uang yang didapatkan Wulan kala itu pun tidak penuh. Wulan akhirnya hanya mengantongi sekitar Rp8 juta-an.
"Ya pengen menghentikan saja asuransi jiwanya, pakai JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) biasa. Investasi akhirnya ke investasi biasa enggak di unit link," ujarnya.
Pengalaman terkait miss-selling agen terhadap konsumen asuransi unit link dialami juga oleh Asnil (39). Karyawan swasta ini bahkan mengaku, sempat berseteru dengan agen dan manajemen salah satu penyedia asuransi unit link.
Ceritanya bermula saat Asnil mendapatkan tawaran dari salah seorang agen asuransi unit link pada tahun 2012 lalu. Setelah sekitar tiga hingga empat tahun berjalan, Asnil berniat mencairkan manfaat investasi unit link.
Namun ternyata, prosedur pencairannya menimbulkan konsekuensi. Jika dicairkan di tengah jalan maka masa pembayaran premi akan bertambah, yang semula 10 tahun menjadi 15 tahun.
"Ini tahunya di tengah jalan kalau ada aturan seperti ini. Agennya enggak fair di awal. Lembaran polisnya waktu itu juga tebal sekali," ujar Asnil kepada Alinea.id, Rabu (11/5).
Kekecewaan Asnil membuncah saat dia tidak bisa menyampaikan komplain ke agen yang dulu menawarinya. Sementara itu, manajemen asuransi justru lepas tangan karena menyebut persoalan ini menjadi urusan agen bersangkutan.
"Agennya bilang udah enggak kerja di perusahaan itu, aku komplain ke manajemen juga nyerahin ke agen. Ini kasus kayak gini banyak," katanya lagi.
Ayah dari tiga anak ini pun, akhirnya memutuskan untuk berhenti menggunakan asuransi unit link tak lama kemudian.
"Premiku kan Rp450.000 per bulan. Waktu itu, pokoknya dapatnya cuma setengah yang semestinya. Jadi, mau ada klaim dan enggak ada klaim tetap berkurang," jelasnya.
Aduan masyarakat terkait produk asuransi berbasis investasi atau unit link memang terus menanjak. Memasuki April ini saja, sudah ada sekitar 273 pengaduan.
Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat angka aduan masyarakat meningkat dua kali lipat pada tahun 2020 yaitu sebanyak 593 laporan. Sedangkan pada 2019, aduan yang masuk sebanyak 360 kasus.
Direktur Pelayanan Konsumen Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Sabar Wahyono mengungkap aduan itu didominasi oleh miss-selling yang dilakukan oleh agen penjual produk asuransi. Banyak konsumen yang kemudian merasa tertipu saat terjadi penurunan pada investasi.
Agen asuransi ini, ada yang menggunakan simulasi investasi dengan asumsi investasi yang terus bertumbuh. Padahal, informasi yang berimbang soal risiko juga mestinya disampaikan. Alhasil, tak sedikit konsumen yang merasa terkecoh saat nilai investasi merosot.
Seiring itu, Sabar mengatakan, aduan juga muncul akibat kelalaian konsumen yang tidak memahami polis tertulis secara seksama.
"Jadi ada dua sisi, perusahaan harus menjelaskan dan dari konsumen harus mau baca," ujar Sabar dalam webinar AAJI, Rabu (14/4) lalu.
Mencari celah solusi
Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI), Togar Pasaribu mengatakan pihaknya memberikan perhatian khusus terkait berbagai aduan asuransi unit link.
Dalam menghadapi kasus kerugian pada produk asuransi unit link, AAJI menurutnya tengah berupaya mendorong para anggota untuk menyelesaikan secara internal melalui mediasi.
Apabila tidak menemui kesepakatan, kata dia, kedua pihak dapat meminta fasilitasi dan mediasi melalui Satu Pintu Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Sektor Jasa Keuangan (LAPS-SJK).
"Kami mendukung penuh langkah OJK sebagai pengawas dalam IKNB untuk memberikan tindakan tegas kepada oknum agen asuransi yang melanggar kode etik perusahaan," ujar Togar kepada Alinea.id, Rabu (11/5).
Di satu sisi, AAJI menurutnya juga terus melakukan konsolidasi dengan para anggota perusahaan asuransi. Tujuannya, untuk menerapkan praktik serta kode etik kepada seluruh tenaga pemasar untuk menghindari miss-selling yang tidak sesuai dengan penawaran.
Selain miss-selling, masalah lain yang menurut Togar penting diperhatikan adalah kurangnya pemahaman nasabah terkait produk asuransi unit link. Oleh sebab itu, AAJI bersama para anggota juga melakukan upaya edukasi untuk meningkatkan literasi asuransi.
"Berbagai program sudah kami lakukan antara lain mengadakan dialog dengan para regulator, pelaku industri asuransi dan media mengenai PAYDI (produk asuransi yang dikaitkan dengan investasi)," tambahnya.
AAJI sebagai wadah serta penyalur aspirasi Perusahaan Asuransi Jiwa dan Reasuransi di Indonesia kini beranggotakan 60 perusahaan asuransi jiwa dan 5 perusahaan reasuransi di Indonesia.
Seiring itu, OJK juga tengah berencana menerbitkan beleid untuk memperketat ketentuan produk asuransi yang dikaitkan investasi (PAYDI) atau unit link pada kuartal-II tahun 2021.
Dalam beleid itu disebutkan akan diatur juga soal investasi apa yang bisa dibelikan perusahaan dari dana pemegang polis. Sehingga, kerugian pemegang polis serta potensi pemilihan saham yang berpotensi spekulasi bisa diminimalisir.
“Nanti kami mau kasih rambu-rambu apa yang boleh dibeli perusahaan,” ucap Kepala Departemen Pengawasan IKNB 2A OJK Ahmad Nasrullah, Rabu (21/4).
Dia juga memastikan bahwa OJK tidak akan membuat aturan menjadi kaku. Sebab dalam mekanisme bisnis, perusahaan asuransi tetap berhak memilih kelompok saham ataupun emiten tertentu secara proporsional.
Data OJK mencatat, per Februari 2021 investasi saham memiliki porsi 25,93% dari total portofolio investasi, kedua tertinggi setelah reksa dana yang sebesar 31,9%.
Tingginya porsi ini mengakibatkan investasi asuransi komersial relatif rentan terhadap gejolak pasar keuangan.
“Kita kan harus fair juga,” pungkasnya.
Tingkatkan edukasi
Pengamat asuransi Irvan Rahardjo mengatakan fenomena yang dilaporkan OJK ataupun pengalaman para nasabah itu sebetulnya masalah yang berulang.
"Itu sudah berlangsung lama," ujar Irvan ketika dihubungi oleh Alinea.id, Rabu (11/5).
Irvan menyebut, OJK serta pihak terkait memang masih optimal dalam memberikan edukasi masyarakat terkait produk asuransi unit link. Utamanya, terkait skema dan ketentuan untuk manfaat asuransi dan investasi ini.
Arbiter Badan Mediasi & Arbitrase Asuransi Indonesia juga menilai, aturan pemerintah soal batasan unit link hanya akan mengatur soal porsi investasi. Namun, hal penting yang tak boleh diabaikan adalah permasalah soal etika agen serta penetrasi masyarakat terhadap informasi yang memadai.
"Itu kan hanya menertibkan dia menjual, tapi menjual seperti apa, yang sesuai dengan etika, kebutuhan konsumen, itu yang tidak pernah dijelaskan," kata Irvan.
Sehingga, menurut Irvan, meskipun ada regulasi yang sudah mengatur batasan investasi unit link sebesar 10 hingga 15%, tidak akan banyak berarti jika tak ada upaya pengelolaan risiko.
"Masalahnya bukan hanya jumlah investasinya saja, tapi kemampuan mengelola investasi dan risikonya yang mesti disampaikan dengan layak ke masyarakat," pungkasnya.