Modernisasi, upaya menyelamatkan koperasi agar tak mati suri
Koperasi mendapat peran penting sebagai sokoguru atau tonggak ekonomi Indonesia. Peran penting koperasi itu ditekankan dalam Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian.
Dalam baleid pengganti UU Nomor 25 Tahun 1992 itu, pemerintah bertugas memberdayakan koperasi agar tumbuh dan mampu meningkatkan kesejahteraan anggotanya. Di saat yang sama, koperasi juga berperan untuk mengembangkan dan memberdayakan tata ekonomi nasional berdasarkan asas kekeluargaan dan demokrasi ekonomi dalam rangka mewujudkan masyarakat maju, adil, dan makmur.
Meski begitu, koperasi yang dicita-citakan oleh Bung Hatta sebagai tonggak utama ekonomi masyarakat, belum mampu melaksanakan tugasnya. Dari segi kuantitas, koperasi memang telah bertumbuh pesat. Dari data online data system Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (ODS Kemenkop UKM), pada 2021 saja ada 127.124 koperasi aktif dengan jumlah anggota mencapai 25.098.807 orang. Angka ini meningkat dibanding jumlah koperasi aktif pada 2019 yang mencapai 123.048 unit, Jumlah anggota 22.463.738 orang.
“Dari jumlah itu koperasi yang sudah registrasi dan punya Nomor Induk Koperasi (NIK) ada sebanyak 35.760 unit. Secara nasional baru 45.490 unit atau 37% koperasi yang melakukan rapat anggota tahunan (RAT) secara rutin di tahun 2019,” beber Dosen Institut Manajemen Koperasi Indonesia (Ikopin) Sugiyanto, kepada Alinea.id, belum lama ini.
Sementara aset koperasi pada periode tersebut mencapai Rp152,11 triliun dengan hasil sisa usaha (SHU) sebesar Rp6,27 triliun.
Kondisi itu mencerminkan perkembangan koperasi dari sisi kualitas masih jauh dari cita-cita. Bahkan, sampai hari ini belum banyak koperasi yang layak dibanggakan, baik di dalam apalagi hingga ke luar negeri.
“Karena itu, koperasi sebagai sokoguru masih menjadi mimpi yang berkepanjangan,” imbuhnya.
Hal itu diamini oleh Pengamat Koperasi Suroto. Dia bilang, dari ratusan ribu koperasi yang ada di tanah air, kini tidak ada satu pun koperasi yang masuk dalam daftar 300 koperasi besar dunia. Bahkan, menurutnya, mengutip laporan Aliansi Koperasi Internasional (International Cooperative Alliance/ICA), koperasi Indonesia belum pernah sekalipun diperhitungkan posisinya di mata dunia. Meski sejak lebih dari tujuh dasawarsa yang lalu pemerintah selalu menggembar-gemborkan koperasi sebagai pilar utama ekonomi nasional.
“Sebenarnya ini menjadi ironis, karena dasar ekonomi kita adalah ekonomi kerakyatan. Kita kalah dari Amerika Serikat yang mana mereka adalah negara kapital,” kata dia, kepada Alinea.id, Senin (20/12).
Dalam laporan ICA, Amerika Serikat justru mampu menempatkan 88 koperasinya dalam 26% dari 300 koperasi besar dunia. Sedangkan koperasi besar terbanyak berasal dari Benua Eropa, degan jumlah 166 unit.
Di Indonesia, ada beberapa koperasi yang pernah masuk daftar 300 koperasi besar di dunia. Yakni, Koperasi Simpan Pinjam (Kospin) Jasa Pekalongan yang memiliki aset di atas Rp6 triliun dan omzet lebih dari Rp2,5 triliun. Selain itu, ada juga dua koperasi konsumen yang pernah masuk kategori 300 koperasi besar dunia, yakni Koperasi Telekomunikasi Seluler (Kisel) dan Koperasi Warga Semen Gresik (KWSG).
Tumbang
Menurut sepengetahuan Suroto, sampai saat ini jumlah koperasi masih didominasi oleh koperasi simpan pinjam. Sedangkan jenis usaha koperasi lainnya, seperti koperasi riil dan konsumsi masih belum menunjukkan perkembangan signifikan.
"Padahal dua jenis usaha koperasi ini malah yang berpotensi memunculkan nilai tambah lebih besar," imbuh dia.
Sementara itu, beberapa koperasi sektor riil sulit bertahan. Salah satunya dialami oleh Koperasi Produsen Tahu dan Tempe di Lebak, Banten yang berusaha keras mempertahankan eksistensinya. Di daerah tersebut, Koperasi-koperasi Produsen Tahu dan Tempe (Kopti) mati suri dalam tiga tahun terakhir.
Hal ini pun diakui oleh Ketua Kopti Kabupaten Lebak Kaliri. Menurutnya, anjloknya kinerja Kopti di wilayahnya disebabkan oleh beberapa faktor. Yakni, produsen tahu dan tempe lebih memilih membeli pasokan kedelai pada pengusaha lokal langsung, alih-alih dari stok yang tersedia di gudang koperasi. Hal ini jelas membuat roda koperasi tak lagi bisa berputar.
Pilihan para produsen untuk membeli kedelai pada pengusaha lokal, tak lain disebabkan oleh harga kedelai yang dijual oleh pengusaha sedikit lebih murah ketimbang milik koperasi. Namun demikian, perbedaan harga yang diterapkan oleh koperasi sebenarnya ditujukan untuk menggerakkan roda koperasi.
"Kami berusaha agar koperasi bisa dapat untung dan usahanya bisa jalan terus. Tapi ya kami kalah saing. Akibatnya sekarang cuma tinggal nama saja koperasi kami ini," ujar Kaliri, saat dihubungi Alinea.id, Rabu (22/12).
Hal tersebut kemudian diperparah dengan lonjakan harga kedelai dunia yang terjadi beberapa bulan lalu. Dus, baik omzet maupun kinerja Kopti pun kian amblas.
"Harapannya, Bulog bisa ikut turun tangan bantu kami. Jadi bisa tetap menjaga biar harga kedelai tetap rendah. Lalu, menyalurkannya ke kami. Jadi kami bisa yang langsung salurkan ke perajin," harapnya.
Selain Kopti, kondisi serupa dialami pula oleh koperasi konsumen. Pengamat Koperasi yang juga Dosen Institut Manajemen Koperasi Indonesia (Ikopin) Sugiyanto menjelaskan, pangsa pasar koperasi konsumen kian tergerus dengan keberadaan toko-toko ritel modern hingga swalayan besar.
Modernisasi koperasi
Dengan kondisi ini, mau tak mau koperasi harus berubah. Baik pemerintah, pelaku koperasi, maupun masyarakat pun harus bergotong-royong memperbaiki citra kuno koperasi, yang sampai saat ini belum berubah. Dengan demikian, kata Sugiyanto, koperasi tak hanya sekadar papan nama saja atau justru fiktif dan hanya memanfaatkan masyarakat.
"Kalau yang begini kan justru bukan menyejahterakan, tetapi menyengsarakan anggota karena gagal membayar simpanan. Hal ini misalnya terjadi pada koperasi simpan pinjam yang membebani bunga pinjaman tinggi," ujarnya.
Sugiyanto mengatakan perbaikan koperasi dapat dilakukan dengan modernisasi atau digitalisasi. Apalagi, dengan perubahan zaman dan semakin berkembangnya teknologi dan informasi, modernisasi, dan digitalisasi menjadi sebuah keniscayaan bagi seluruh sektor ekonomi nasional, termasuk koperasi.
Upaya pengembangan koperasi telah banyak dilakukan. Pemerintah, selain telah melakukan reformasi pada tahun 2020, juga sudah memulai memodernisasi koperasi. Di saat yang sama, tidak sedikit pelaku berupaya bertahan mengembangkan bisnis ke arah koperasi berskala besar. Upaya lain juga dilakukan oleh berbagai gerakan koperasi dengan menyelenggarakan Kongres Koperasi Ketiga di Makasar tahun 2017 yang diprakarsai Kementerian Koperasi dan UKM, Dekopin, dan Ikopin.
"Kongres menghasilkan berbagai kesepakatan, namun hingga kini implementasinya masih perlu diefektifkan, agar hasil kongres dapat memberikan warna perkembangan koperasi nasional," tuturnya.
Sadar dengan pentingnya digitalisasi untuk perkembangan koperasi, Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin) berkomitmen untuk menjadikan digitalisasi sebagai babak baru perkembangan koperasi. Hal ini sejalan dengan upaya koperasi untuk menyambut era society 5.0 yang akan segera datang.
"Dekopin sebagai penegak koperasi sebagai sokoguru ekonomi nasional akan terus menggaungkan ketahanan informasi nasional dengan digitalisasi," ujar Ketua Umum Dekopin Sri Untari Bisowarno, kepada Alinea.id, Kamis (23/12).
Dari data yang ada, Indonesia sebenarnya memiliki sekitar 700 koperasi besar. Angka yang cukup banyak ini diminta untuk konsisten diorbitkan melalui branding digital. Di saat yang sama, dirinya juga menginstruksikan kepada pengurus dan anggota serta pelaku koperasi Indonesia guna mengoptimalkan teknologi untuk branding digital.
"Ini clue bagi kami untuk mengoptimalkan peluang yang ada. Sasarannya, membangkitkan semangat berkoperasi dan membangun rasa percaya diri," katanya.
Dia menyebut, banyak koperasi yang telah berhasil menjalankan modernisasi. Yakni, mengubah dari koperasi kuno menjadi koperasi yang memanfaatkan teknologi digital. Salah satunya adalah koperasi sarang burung walet PT Ammar Sasambo. Selain menjadi contoh koperasi modern, pemerintah melalui Kementerian Koperasi dan UKM menjadikan koperasi yang terletak di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB) ini sebagai koperasi dengan sistem kelola digital. Artinya, segala aktivitas perkoperasian di sana akan dikelola secara profesional dengan berbasis pelaporan digital, sehingga lebih efektif dan efisien.
Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki, dalam keterangannya kepada Alinea.id, bilang digitalisasi dan modernisasi PT Ammar Sasambo ini penting dilakukan untuk meningkatkan produksi koperasi. Di sisi lain, hal ini juga dilakukan karena peran penting koperasi untuk menyerap produk walet mentah dari para peternak.
"Sehingga akhirnya produk mentah ini bisa diolah di koperasi menjadi produk turunan dan walet bersih yang punya kualitas ekspor," ungkapnya, Jumat (24/12).
Selain penataan pengelolaan koperasi, Kementerian Koperasi dan UKM juga akan memfasilitasi permodalan sesuai dengan permintaan dari anggota koperasi.
Terpisah, Pemilik PT Ammar Sasambo Lalu Ading Guntaran yakin, dengan dijadikannya koperasi walet sebagai percontohan koperasi modern, bakal mendorong meningkatnya produksi. Ujung-ujungnya, ekspor yang telah dilakukan pihaknya sejak beberapa tahun lalu, juga ikut berkembang.
Menurut catatan Ading, sejak memulai usaha pada 2016 lalu, koperasi walet telah berhasil mengekspor sarang burung walet hingga 17 ton dengan nilai sebesar Rp340 miliar.
"Ekspor sarang burung walet kami sudah dilakukan ke berbagai negara seperti China, Australia, Thailand, Malaysia hingga Amerika Serikat," ungkap dia, saat dihubungi Alinea.id, Jumat (24/12).