Program Makan Bergizi Gratis (MBG) merupakan salah satu janji ambisius Presiden Prabowo Subianto yang bertujuan mengatasi stunting dan gizi buruk di Indonesia. Namun, realisasi kebijakan tersebut menelan anggaran yang tak sedikit. Berbagai usulan pun mengemuka, termasuk memanfaatkan dana zakat dan sedekah sebagai sumber pembiayaan.
Alokasi dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk program ini dalam RAPBN 2025 hanya Rp71 triliun, jauh dari estimasi kebutuhan awal sebesar Rp460 triliun.
Belakangan, muncul wacana dari Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) untuk menggunakan dana zakat, infak, dan sedekah sebagai pendanaan alternatif. Ketua Dewan Perwakilan Daerah Sultan Najamudin berpandangan masyarakat perlu dilibatkan untuk mendanai program andalan pemerintah ini karena anggaran negara saja tidak akan cukup.
Lalu, mungkinkah dana zakat dan sedekah untuk membiayai MBG?
Menurut Ekonom dan pakar kebijakan publik UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat, penggunaan zakat, infak, dan sedekah dalam program MBG harus mengikuti syariat Islam agar tidak menimbulkan polemik. Selain itu, perlunya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana. Mekanisme pelaporan dan pengawasan harus jelas untuk memastikan dana tersebut benar-benar sampai kepada yang membutuhkan.
“Kegagalan dalam hal ini dapat menimbulkan kecurigaan dan mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap program MBG maupun institusi yang mengelola zakat,” katanya, dikutip Alinea.id, Kamis (16/1).
Risiko
Namun, dia bilang mengandalkan dana non-APBN untuk program sebesar ini memiliki risiko tersendiri. Zakat, infak, dan sedekah bersifat sukarela sehingga membuat pendanaannya tidak stabil. Jika target penerimaan dari sumber-sumber ini tidak tercapai, kelangsungan program bisa terancam.
"Kepercayaan publik terhadap kemampuan pemerintah untuk memenuhi janji kampanyenya juga dapat menurun jika pemerintah terlalu mengandalkan dana dari masyarakat," ujarnya.
Ketimbang mengandalkan pendanaan dari masyarakat, pemerintah disebut harus menunjukkan komitmen penuh dalam mendanai program MBG sesuai dengan janji kampanye. Caranya, meningkatkan penerimaan negara dengan memperbaiki sistem perpajakan, mendorong investasi, dan meminimalkan kebocoran anggaran sehingga memberikan ruang fiskal yang lebih besar untuk program ini.
Sementara Direktur Kebijakan Publik Center of Economic and Law Studies (Celios), Media Wahyudi Askar, menyoroti wacana penggunaan dana zakat sebagai langkah yang problematik. Menurutnya, zakat memiliki alokasi spesifik yang ditentukan syariat Islam untuk delapan asnaf atau golongan penerima yang sudah diatur. Dus, cakupan luas program MBG tidak relevan dengan tujuan zakat kecuali dikhususkan bagi fakir miskin.
Ia juga mengkritik wacana ini sebagai indikasi kegagalan pemerintah dalam mengelola pembiayaan publik.
“Zakat adalah domain individu, tidak seharusnya menjadi beban yang dilemparkan kepada masyarakat untuk memenuhi tanggung jawab negara,” tegas Media kepada Alinea.id, Kamis (16/1).
Sikap organisasi keagamaan
Usulan penggunaan zakat, infak, dan sedekah untuk mendukung MBG menuai tanggapan beragam dari organisasi keagamaan. Ketua Umum PBNU, Yahya Cholil Staquf, menilai zakat harus digunakan secara hati-hati agar sesuai dengan delapan asnaf dalam fikih Islam. Ia menyebut penggunaan zakat untuk anak-anak miskin diperbolehkan, namun jika sasaran meluas ke semua golongan, hal ini melanggar prinsip syariat.
“Saya kira, untuk zakat harus lebih dirinci, dan jika digunakan untuk anak-anak miskin, itu tentu sah,” ujar Yahya, dikutip dari Antara. Ia lebih membuka peluang pada pemanfaatan infak dan sedekah, yang sifatnya lebih fleksibel dan tidak terikat pada delapan asnaf.
Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir, menyarankan perlunya diskusi lebih lanjut dengan lembaga pengelola zakat seperti Baznas. Ia menekankan pentingnya manajemen transparan dalam pemanfaatan dana zakat untuk memastikan pertanggungjawaban kepada umat.
Baznas sendiri, melalui ketuanya Noor Achmad, membuka peluang pemanfaatan zakat untuk MBG dengan syarat sasarannya adalah fakir miskin. Namun, ia mengingatkan Baznas selama ini sudah memiliki program bantuan makanan untuk mustahik tanpa menunggu pelaksanaan MBG.
“Kalau ada yang tidak bisa makan, datang saja ke Baznas, kami selalu siap membantu,” tegas Noor, dikutip Antara.
Tanggapan pemerintah
Sementara itu, Kepala Staf Kepresidenan, AM Putranto, dengan tegas menolak wacana penggunaan dana zakat untuk MBG. Menurutnya, alokasi anggaran sebesar Rp71 triliun dalam APBN sudah cukup menunjukkan komitmen pemerintah terhadap program ini tanpa perlu membebani masyarakat melalui zakat.
“Gunanya zakat bukan untuk itu. Presiden sudah mengalokasikan anggaran khusus untuk siswa, ibu hamil, dan pesantren. Menggunakan zakat untuk ini malah memalukan,” kata Putranto.
Ia menekankan tanggung jawab pembiayaan MBG sepenuhnya berada di tangan negara, sesuai dengan janji kampanye Presiden Prabowo.
Meskipun alokasi anggaran dari APBN telah ditentukan, jumlah yang terbatas menimbulkan pertanyaan besar. Apakah program ini dapat berjalan efektif tanpa sumber dana tambahan, ataukah pemerintah akan tetap mencari alternatif seperti zakat dan infak? Dalam jangka pendek, Putranto menegaskan pemerintah akan fokus pada optimalisasi pendapatan negara, termasuk melalui peningkatan pajak dan efisiensi anggaran, untuk memastikan keberlanjutan program.