close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi Alinea.id/Firgie Saputra.
icon caption
Ilustrasi Alinea.id/Firgie Saputra.
Bisnis
Kamis, 30 Desember 2021 08:03

Naik gila-gilaan, saham bank digital nge-hype atau digoreng?

Transformasi menuju bank digital berimbas positif pada kinerja saham bank digital.
swipe

Sama halnya dengan saham-saham perusahaan teknologi dan digital, saham bank digital juga tercatat mengalami lonjakan selama pandemi Covid-19. Hal ini terjadi karena adanya perubahan gaya hidup masyarakat yang semakin banyak bergantung pada kecanggihan teknologi di kala mobilitas terbatas. Masa depan bank digital diprediksi kian cerah sehingga saham bank digital pun banyak diburu investor.

Seperti terjadi pada PT MNC Bank Internasional (MNC Bank). Setelah mengantongi izin sebagai bank digital, bank di bawah bendera MNC Financial Services ini kebanjiran investor. Direktur Utama PT MNC Investama Tbk Darma Putra mengungkapkan jumlah investor kian bertambah saat bank dengan kode emiten BABP ini melangsungkan hak memesan efek terlebih dahulu (HMETD) atau right issue pada 31 Agustus 2021.

Izin bank digital yang didapat bulan Mei lalu ini terbukti meningkatkan investor MNC Bank. Hal ini juga mempengaruhi pergerakan harga saham. Emiten berkode BABP ini berhasil lolos dari predikat saham gocapan karena melambung ke harga tertingginya di level Rp610 per lembar saham pada Agustus lalu. Meski kini harga saham kembali landai dan berada di kisaran Rp190 per lembar.

“Sejak kami mendapat izin bank digital dari OJK (Otoritas Jasa Keuangan-red), memang banyak sekali investor yang datang kepada kami. Dan dengan segala teknologi serta ekosistem kuat yang kami miliki, kami yakin bisa menjangkau investor lebih banyak lagi,” bebernya, kepada Alinea.id.

Sama halnya dengan MNC Bank, PT Bank Neo Commerce Tbk (BNC) juga berhasil mencatatkan kinerja cemerlang setelah bertransformasi sebagai bank digital. Dalam sesi Public Expose Insidentil di tanggal 6 September 2021, bank dengan kode emiten BBYB ini mengumumkan pencapaiannya, bahwa mereka telah mendapatkan lebih dari enam juta nasabah yang sudah menggunakan layanan BNC. 

Public expose yang dilakukan karena Bursa Efek Indonesia (BEI) meminta kejelasan tentang kejelasan perseroan di masa mendatang itu juga mengungkap per periode 3-10 September, BNC telah menambah lebih dari 730.000 Neo Customers dari seluruh Indonesia. Melonjak jauh dibandingkan periode 27 Agustus-2 September yang hanya bertambah sejumlah 350.000 nasabah.

“Peningkatan ini tentunya juga diikuti oleh peningkatan investor kami,” kata Direktur Utama BNC Tjandra Gunawan saat dikonfirmasi Alinea.id, Rabu (29/12).

Suasana Bursa Efek Indonesia (BEI) di masa pandemi. Foto Reuters.

Tjandra mengaku, peningkatan nasabah dan investor perseroan tak lain terjadi berkat transformasi yang dilakukan perusahaan sebagai bank digital sejak 2020 lalu. Selain juga karena adanya layanan pembukaan rekening secara online melalui aplikasi neobank atau yang sebelumnya dikenal sebagai neo+.

Adapun saham Bank Neo Commerce juga mencatatkan lonjakan tinggi. Melansir RTI, BBYB tercatat mengalami kenaikan harga saham sebesar 440,6% menjadi Rp2.720 per lembar saham dibandingkan awal tahun. Selain itu, saat melakukan aksi korporasi right issue pada September kemarin, perseroan mengalami kelebihan permintaan (oversubscribed) hingga Rp882,5 miliar.

Dia mengklaim, oversubscribed terjadi karena mayoritas pemegang saham lama ingin tetap melaksanakan haknya dalam aksi korporasi ini. Di saat yang sama, kepercayaan masyarakat utamanya nasabah BBYB juga semakin kuat dalam 10 bulan terakhir, selepas bank yang sebagian sahamnya dimiliki oleh Akulaku ini bertransformasi sebagai bank digital.

“Target kami melakukan aksi korporasi ini adalah untuk membukukan Rp3 triliun, itu akan memenuhi tahun ini. Bukan hanya memenuhi ketentuan OJK, tapi menjadi bagian rencana kami dalam bertranformasi menjadi bank digital,” katanya.

Kondisi serupa juga dialami PT Allo Bank Indonesia Tbk yang mencatat kinerja saham dengan kenaikan tertinggi dalam setahun. Masih dari RTI, harga saham bank yang dikuasai PT Mega Corpora milik Chairul Tanjung ini meroket hingga 4.386,66% menjadi Rp7.075 sejak awal 2021.
 
Peningkatan diperkirakan masih akan terus berlangsung karena pada akhir tahun ini, perusahaan konglomerasi ini berencana melakukan penambahan modal dengan right issue. Bank dengan kode emiten BBHI ini rencananya akan menerbitkan maksimal 10,04 miliar lembar saham baru, dengan harga per lembar saham dipatok sebesar Rp478 per lembar.

Kemudian ada saham PT Bank Jago Tbk yang sejak tahun lalu hingga per Oktober 2021 mencatatkan lonjakan hingga 441,96%. Dari harga saham pada 26 Oktober 2020 sebesar Rp2.800 per lembar saham menjadi Rp15.175 pada penutupan perdagangan 26 Oktober 2021. Di saat yang sama, total nilai transaksi dan volume juga mengalami peningkatan masing-masing sebesar Rp586,19 miliar dan 38,421 juta saham berhasil ditransaksikan. 

Investor naik drastis

Moncernya kinerja saham bank digital selama pandemi diakui oleh Pengamat Ekonomi Digital Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Nailul Huda. Dia bilang, peningkatan terjadi pada hampir seluruh bank digital di Indonesia, terlepas dari seberapa besar kapitalisasi bank tersebut. 

“Saham bank digital atau bank yang bertransformasi menjadi bank digital sangat tinggi kenaikannya seperti Bank Jago (ARTO) yang naik gila-gilaan sahamnya setelah masuknya Gojek,” ujar dia, kepada Alinea.id, Rabu (28/12).

Sementara itu, kenaikan kinerja saham bank-bank digital tak lain terjadi karena bertambahnya jumlah investor di sektor keuangan digital itu. Kenaikan jumlah investor ini dapat terjadi karena beberapa hal. Pertama adalah karena adanya hype teknologi yang terjadi di pasar keuangan saat ini. 

Di mana perusahaan yang bisa memasukkan teknologi dalam operasionalnya akan memberikan dampak sendiri kepada persepsi masyarakat. Menurut Nailul, dalam hal ini, masyarakat beranggapan perusahaan yang menerapkan teknologi merupakan perusahaan yang adaptif dengan perkembangan zaman. 

Kedua adalah demografi investor ritel yang banyak didominasi oleh investor muda dari generasi milenial dan Z. Kondisi ini menjadikan saham perusahaan-perusahaan digital ini menarik bagi mereka. Pada akhirnya, peminat saham bank digital juga ikut terkerek.

“Mereka akan memilih saham yang dekat dengan kehidupan sehari-hari, salah satunya perusahaan bank digital,” imbuh dia.

Ilustrasi Pixabay.com.

Terpisah, Senior Investment Information Mirae Asset Sekuritas Nafan Aji Gusta mengungkapkan, peningkatan kinerja saham bank-bank digital terjadi seiring kian banyaknya bank konvensional yang saat ini beralih atau memperluas cakupan bisnisnya ke dalam sektor digital selama pagebluk. Euforia di pasar keuangan tersebut didukung dengan tingginya penetrasi pengguna internet di tanah air. 

Sebagai informasi, menurut laporan terbaru Google mencatat, ada 27 juta pengguna internet baru di Indonesia sejak 2020. Angka tersebut membuat total populasi online di Indonesia menjadi lebih dari 202 juta orang, baik untuk belajar ataupun mencari hiburan.

“Jadi ini memang murni karena euforia saja, bukan karena ada praktik goreng-gorengan saham,” tegasnya, pada Alinea.id, Senin (27/12). 

Dengan adanya euforia, investor pemula terutama, akan melihat saham dari bank-bank digital sangat menarik untuk dikoleksi. Bahkan, investor tersebut tidak melihat fundamental serta kapitalisasi perusahaan. Apakah mereka berasal dari perusahaan dengan kapitalisasi pasar besar (big cap) atau sebaliknya, small cap

Karenanya, saat euforia berakhir, Nafan memperkirakan, kinerja saham bank-bank digital akan melandai dan tidak melambung tinggi lagi. Di sisi lain, lambat laun investor akan melihat kembali investasinya pada saham-saham perusahaan bank digital. 

“Nanti pelaku pasar akan mencermati laporan keuangan perusahaan (bank digital-red). Paling tidak kalau ada aksi korporasi atau right issue, kinerja perusahaan akan semakin baik. Itu pasti mereka akan bertahan,” jelasnya.

Layanan unggul

Selaras dengan Nafan, Pengamat Pasar Modal dari Asosiasi Analis Efek Indonesia Reza Priyambada mengatakan, bank digital sebenarnya sudah sejak lama di Indonesia, tepatnya saat bank-bank konvensional ramai-ramai mengeluarkan aplikasi mobile banking (m-banking). Hanya saja, bank-bank digital yang ada saat ini menawarkan layanan lebih lengkap dari bank konvensional. 

Ditambah lagi, bank-bank digital yang ada saat ini hampir seluruhnya tidak berdiri sendiri, melainkan mendapat dukungan dari perusahaan-perusahaan teknologi atau startup raksasa. Bank Jago misalnya, dengan GoTo Group di belakangnya serta Bank Neo Commerce yang disokong oleh Akulaku. Selain itu ada pula MNC Bank yang telah memiliki ekosistem kuat dari induk grupnya, MNC. 

“Jadi sebenarnya, kalau bank digital ini banyak peminatnya, itu karena sedang ramai saja. Para investor ini berpikir kalau wah.. ternyata bank digital bisa dipakai untuk ini itu, enggak cuma buat buka rekening, nabung, atau kirim uang saja,” bebernya, saat dihubungi Alinea.id, Selasa (28/12).

Dengan kondisi tersebut, seiring berjalannya waktu para investor akan melihat kembali portofolio saham mereka. Hal ini terjadi seiring dengan melandainya minat masyarakat akan keberadaan bank digital. Dus, para investor akan bisa menilai, apakah harga yang dikeluarkannya untuk membeli saham bank digital akan sebanding dengan keuntungan yang mungkin bakal didapatkannya. Baik untuk jangka pendek, menengah atau panjang. 

“Kalau fundamental perusahaan masih jelek, kinerjanya masih minus, sedangkan harga saham per lembarnya bisa Rp2.000-an lebih atau bahkan sampai Rp3.000 ya investor akan pergi,” imbuhnya.

Sebaliknya, jika kemudian ada aksi korporasi yang dilakukan perusahaan, sehingga bisa memperbaiki kinerja perusahaan, Reza yakin, investor akan tetap bertahan. Selain fundamental perusahaan, ekosistem dan kelengkapan integrasi yang dimiliki oleh bank digital juga menjadi penentu apakah kinerja saham perusahaan akan terus moncer atau tidak. 

Ilustrasi Pixabay.com.

Seperti yang telah banyak diketahui, bank digital selain efisien karena tidak memiliki kantor cabang dan layanan fully digital juga memiliki beberapa fitur unggulan. Contohnya adalah pembukaan rekening baru di platform digital yang sudah ada atau membuka rekening bank hanya dengan meng-klik aplikasi e-commerce atau transportasi online saja.

“Dibanding download aplikasi, bank digital menawarkan cross platform, sehingga tidak memakan space yang besar di smartphone pengguna. Keunggulan lain adalah penyaluran pinjaman secara digital semakin masif dengan kehadiran bank digital,” tutur Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira, kepada Alinea.id, Rabu (29/12).

Oleh karena itu, untuk meningkatkan kinerja saham bank digital, perusahaan diharuskan untuk membangun kelengkapan ekosistem mereka, selain juga memperkuat fundamental perusahaan. Apalagi, saat ini bank-bank digital yang ada saat ini seluruhnya bersaing dengan kelengkapan layanan mereka. 

Di saat yang sama, menurut Bhima, bank-bank yang telah memiliki basis digital atau disokong oleh perusahaan teknologi akan lebih agile ketimbang bank konvensional yang bertransformasi menjadi bank digital. Apalagi, jika mereka tidak mendapat dukungan dari perusahaan teknologi atau startup manapun.

“Misalnya, BLU-nya BCA bisa lebih agile dari AGRO. Selain karena AGRO dari BUMN, BCA juga sudah punya basis nasabah yang cukup besar dan terkenal sebagai transaction banking,” jelasnya.

Pentingnya ekosistem pada bank digital diakui pula oleh Deputi Pengawas Perbankan III Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Slamet Edy Purnomo. Dia bilang, bank digital kecil, apalagi yang tidak memiliki ekosistem memadai akan lebih mudah tersingkir dari persaingan bisnis digital banking

Bahkan pihaknya khawatir, jika demi bertahan di industri keuangan, bank-bank digital tersebut akan melakukan segala cara, termasuk dengan melakukan praktik goreng-menggoreng saham. Hal ini tentu akan merusak kepercayaan investor jika nantinya terjadi fraud pada perusahaan tersebut. 

Dengan begitu, pasar modal utamanya di sektor digital banking akan juga ikut mengalami kerusakan. Untuk menghindari hal itu, Slamet berjanji akan menjaga jalannya bisnis bank digital.

“Kita akan awasi, supaya si bank-bank ini tidak hanya bakar-bakar saham saja, enggak ada goreng-gorengan saham juga,” tutur Slamet saat dihubungi Alinea.id, Selasa (14/12).

Ilustrasi Alinea.id/Firgie Saputra.

img
Qonita Azzahra
Reporter
img
Kartika Runiasari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan