Naik kelas, UMKM jangan takut dikejar pajak
Unggahan seorang pelapak daring di sebuah marketplace viral baru-baru ini. Postingan di akun Facebook Karina Putri Dewi pada pertengahan Oktober lalu itu berisi peringatan bagi para pelaku usaha daring untuk memasukkan tagihan pajak dalam perhitungan harga jual produk.
Ia bersama dengan rekan sesama seller kaget saat menerima surat dari Direktorat Jenderal Pajak soal nominal pajak yang harus dibayar. Tak tanggung-tanggung nominalnya mencapai puluhan juta yang dihitung dari jumlah omzet lapak daring.
“Ini hanya Remind untuk kita semua supaya melek informasi mengenai pajak...
Supaya bisa memasukan pajak ke dalam hpp saat akan menentukan harga jual,” ungkapnya dalam postingan tersebut.
Viralnya unggahan ini seolah membuka mata para pelaku online shop mengenai kewajiban pajak. Pasalnya, sosialisasi mengenai ketentuan ini masih minim. Padahal, pemerintah berniat memberlakukan peraturan perpajakan yang menempatkan transaksi konvensional dan online dengan perlakuan pajak yang sama.
Ketua Umum Asosiasi Usaha Mikro Kecil dan Menengah Indonesia (Akumindo) Ikhsan Ingratubun justru menilai tagihan pajak untuk para pelapak marketplace merupakan bentuk perlakuan setara. Mengingat, para pelaku usaha di sektor offline juga sudah dipungut pajaknya.
“Dia melakukan penjualan dengan harga murah, dapat fasilitas, kalau dia enggak bayar pajak, beda dengan pemain di offline. Makanya dia dapat kiriman faktur pajak wajar,” katanya saat berbincang dengan Alinea.id, Kamis (2/12).
Menurutnya, para pelaku usaha daring ini tidak bisa menghindar dari kewajiban pajaknya. Pasalnya, aplikator sendiri pasti mempunyai sistem yang dapat menghitung berapa penghasilan pelapak dan kewajiban pajaknya.
“Mereka pura-pura kaget bisa juga, kan selama ini menghindar,” seloroh Ikhsan.
Sekretaris Kementerian Koperasi dan UKM Arif Rahman Hakim menegaskan kewajiban perpajakan bagi pelaku usaha telah diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pemerintah melalui Ditjen Pajak Kemenkeu telah mematok tarif pajak sebesar 0,5% dari penghasilan bruto yang belum melebihi Rp4,8 miliar. Jika penghasilan bruto sudah melebihi Rp4,8 miliar, maka tarif akan berlaku dengan skema penghitungan secara normal melalui pembukuan atau perhitungan penghasilan.
“Besaran jumlah pajak yang harus dibayarkan oleh Wajib Pajak, termasuk oleh pelaku usaha sangat bergantung dari peredaran usaha (omzet) serta berapa lama kewajiban perpajakannya tidak dipenuhi,” katanya kepada Alinea.id, Sabtu (4/12).
Ditjen Pajak juga menetapkan bagi Wajib Pajak orang pribadi yang memiliki peredaran bruto tertentu tidak dikenai Pajak Penghasilan (PPh) atas bagian peredaran bruto sampai dengan Rp500 juta dalam satu tahun pajak.
“Namun, hal ini baru akan berlaku pada Tahun Pajak 2022,” tambahnya.
Terkait viralnya curhatan seorang pelapak di sebuah marketplace tersebut, Arif menyatakan Ditjen Pajak sendiri telah menjelaskan foto surat berkop Ditjen Pajak bukanlah surat tagihan untuk membayar pajak. “Surat tersebut merupakan permintaan klarifikasi dan imbauan pelaksanaan kewajiban perpajakan,” sebutnya.
Surat ‘cinta’ itu, kata dia, dilayangkan karena sang wajib pajak belum melakukan kewajiban perpajakannya. Baik sebagai wajib pajak seller di e-commerce maupun wajib pajak lainnya.
Kemudahan berusaha
Tak hanya soal perlakuan pajak bagi para pengusaha digital, sejak Undang-undang Cipta Kerja disahkan, pemerintah memang gencar melakukan harmonisasi peraturan perundang-undangan. Tak terkecuali aturan bagi pelaku usaha termasuk Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Salah satu turunan dari amanat Undang-undang Cipta Kerja adalah pemuktahiran Online Single Submission atau Sistem Perizinan Berusaha Terintegrasi secara elektronik yang sebenarnya sudah lahir sejak 2018 silam.
Staf Khusus Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Bidang Hubungan dengan Daerah sekaligus Juru Bicara BKPM, Tina Talisa menjelaskan UU Ciptaker menitikberatkan pada perkembangan UMKM yang tahan banting melewati berbagai krisis ekonomi. Bentuknya adalah dengan memperbaharui OSS berbasis risiko. Tujuannya tentu agar pelaku usaha termasuk UMKM bisa mengurus legalitasnya di tanah air dengan mudah.
“Pemerintah enggak menerapkan sanksi tapi pingin ini jalan, kalau enggak dilakukan ini dapat hukuman, bukan seperti itu menakut-nakuti. Tapi konsep ini cara anda kalau mau naik kelas, bisa ikut e-procurement, legalitas ini buat mereka juga,” ujarnya dalam acara Legalitas dan Lisensi untuk Berusaha di Indonesia' dalam Konferensi Nasional Maju Digital yang diselenggarakan Go To Group live via Youtube, Sabtu (13/11).
Tina menegaskan, pembuatan Nomor Induk Berusaha (NIB) layaknya KTP bagi pelaku usaha. Dengan mengantongi izin ini, pelaku UMKM bisa mendapatkan bantuan usaha. Begitu juga akses untuk pembiayaan dari perbankan.
Dalam UU Ciptaker, mantan presenter televisi swasta ini bilang, ada PP nomor 5 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko. “Semakin rendah risiko makin cepat izin usahanya, risiko rendah hanya butuh NIB, enggak butuh lain-lain lagi,” serunya.
Sementara itu, hingga saat ini, Tina memaparkan 90% perizinan di OSS adalah usaha risiko rendah sehingga cukup selesai di OSS. Baru sisanya adalah risiko menengah dan tinggi yang membutuhkan sertifikasi lain dari pemerintah.
Saat ini dari sekitar 65 juta UMKM baru 4,3 juta saja yang memiliki NIB. “Artinya ada 60-an juta yang perlu diedukasi mengenai pentingnya legalitas,” sebutnya.
Arum Idiawati (47), pelaku usaha kuliner dari Sokaraja, Banyumas, Jawa Tengah adalah salah satu pelaku UMKM yang sadar betul pentingnya legalitas bagi usahanya. Meski sudah mengantongi NIB sejak September 2020 lalu, Arum kembali mendaftarkan usahanya dalam OSS berkat informasi dari Asosiasi Pengusaha Mikro Kecil Menengah Kabupaten Banyumas (Aspikmas).
“Kebetulan waktu itu saya juga baru gabung Aspikmas. Ada pendamping divisi 3 dari Aspikmas yang membidangi masalah perizinan,” katanya saat berbincang dengan Alinea.id, pekan lalu.
Prosesnya, kata dia, cukup sederhana dengan mencantumkan alamat email, Nomor Induk Kependudukan (NIK), aset usaha, dan pendapatan. Jika pada perizinan tahun lalu hanya berupa NIB dan Izin Usaha Mikro Kecil (IUMK), maka legalitas kali ini adalah Perizinan Berusaha Berbasis Resiko Sertifikat Standar. Sementara bagi usaha makanan sendiri, izin Produk Industri Rumah Tangga (PIRT) dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) serta sertifikasi halal tetap dibutuhkan.
“NIB-nya itu sebagai syarat untuk melangkah perizinan jenjang berikutnya bagi pelaku usaha,” kata pemilik usaha beromzet Rp500.000 per hari ini.
Meski sudah memiliki NIB dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), namun Arum belum menyetor kewajiban pajaknya selama pandemi. “Ada insentif pajak dari pemerintah untuk UMKM jadi sudah 2 tahun saya tidak setor pajak,” imbuhnya.
Hal senada juga dilakukan Agustina Syuhada. Ibu dua anak yang memiliki bisnis kriya ini baru saja mengantongi NIB beberapa waktu lalu. “Aku pakai OSS hanya untuk bikin NIB saja karena untuk syarat dapat bantuan (BPUM/Banpres Produktif Bagi Usaha Mikro),” ujarnya kepada Alinea.id, Jumat (3/12).
Ikhsan Ingratubun dari Akumindo menilai sejak OSS diperbaharui Agustus lalu, UMKM yang mengurus NIB masih terbilang sangat kecil yakni 70-80 ribuan UMKM. Hal ini, kata dia, tak lepas dari tantangan di era digital.
“Mungkin ada yang gaptek,” ujarnya.
Selain itu, UU Ciptaker juga mengubah skema modal dan pendapatan UMKM sehingga perlu banyak penyesuaian. Begitu juga dengan aspek perizinan lainnya misalnya izin penggunaan air yang memerlukan persetujuan di tingkat daerah bukan pusat. Karenanya, dia menilai masih perlu ada perbaikan dalam perizinan ala digital ini.
Tahun |
Transaksi |
Produk Domestik Bruto (PDB) |
Jumlah UMKM (Unit Usaha) |
Tenaga Kerja |
2018 |
Rp8.573,9 triliun |
57,8% |
60 Juta |
91% |
2019 |
Rp8.400 triliun |
60,3% |
63 Juta |
96% |
2020 |
Rp4.235 triliun |
37,3% |
34 Juta |
73% |
Kontribusi UMKM terhadap perekonomian Indonesia (Sumber: Pusat Data Akumindo)
Perluas transformasi UMKM
Lebih lanjut, Ikhsan mengapresiasi OSS sebagai kemudahan melakukan bisnis bagi pelaku usaha termasuk UMKM. Ia berharap ke depan OSS yang juga bisa merilis NPWP bagi pelaku usaha dapat melalui berbagai perbaikan agar kian sempurna.
“UMKM sendiri harus disosialisasikan, diharmonisasi, disinkronisasi agar tercapai pemahaman OSS berbasis berisiko itu oleh para UMKM,” cetusnya.
Sejauh ini, Kementerian Koperasi dan UKM mencatat berdasarkan System OSS RBA (Risk Based Approach) per 4 Agustus sampai 18 Oktober 2021 sebanyak 144.765 NIB yang sudah turut mendaftarkan legalitas usahanya. Sekretaris Kementerian Koperasi dan UKM Arif Rahman Hakim menambahkan dalam waktu empat bulan sejak diluncurkan, OSS RBA telah menerbitkan lebih dari 17.654 NIB bagi pelaku usaha mikro.
“Pencapaian ini melebihi target reguler Kemenkop UKM sebanyak 5.000 penerbitan NIB di tahun 2021,” sebutnya.
Adapun jumlah UMKM yang mengurus NIB secara total sampai Agustus mencapai 2.668.343 Unit UMK (Periode 8 Juni 2018 – 25 Agustus 2021).
Ke depan, Kemenkop UKM terus mendorong UMKM mengurus legalitasnya dengan sosialisasi secara offline maupun online. Pihaknya juga membentuk Garda Transfumi (Transformasi Formal Usaha Mikro) sebagai implementasi PP 7/2021 tentang Kemudahan, Pelindungan, dan Pemberdayaan KUMKM. Upaya ini dilakukan melalui kolaborasi dengan berbagai pihak untuk akselerasi kemudahan penerbitan perizinan berusaha.
Sebagai gambaran, ujarnya, Deputi Bidang Usaha Mikro bersinergi bersama dengan Mercy Corps Indonesia, BKPM, Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), Badan Standardisasi Nasional (BSN) menyediakan akses kemudahan berusaha bagi pelaku usaha mikro di seluruh Indonesia melalui peran pendampingan dengan membentuk lebih dari 200 relawan Garda Transfumi di 5 wilayah utama yaitu Jadetabek, Jawa Barat, Jawa Tengah, D.I. Yogyakarta, dan Jawa Timur.
“Program ini akan dilakukan perluasan diluar pulau Jawa dengan menggandeng pihak-pihak strategis lainnya. Pendampingan on the spot jemput bola oleh Para Garda Transfumi Kementerian Koperasi dan UKM,” tambahnya.
1. | Memperoleh kmudahan berusaha bagi UMK |
2. | Dapat mengakses program pemerintah |
3. | Kemudahan mengakses pembiayaan/permodalan usaha (KUR) |
4. | Mendapatkan perlindungan dan kepastian hukum dalam berusaha |
5. | Perizinan tunggal sebagai legalitas dan identitas usaha serta berlaku juga sebagai pernyataan jaminan halal dan SNI Bina UMK |