Napas tersengal produk lokal di tengah aksi boikot perusahaan pro-Israel
Siang itu, Selasa (7/11), restoran cepat saji asal Amerika Serikat McDonald’s (McD) di bilangan Tanjung Barat, Jakarta Selatan tampak lengang. Biasanya, saat jam makan siang tiba, restoran tersebut ramai dikunjungi mahasiswa, pegawai kantor, atau warga di sekitarnya.
Kedai kopi milik McD, yakni McCafe yang berada di sebelah bangunan utama McD pun mengalami nasib serupa. Di lantai dua bangunan itu, hanya ada delapan orang saja yang “numpang” kerja. Padahal, sebelumnya, setidaknya belasan orang nongkrong di sana.
“Sudah beberapa hari ini sepi,” kata seorang pramusaji McD yang enggan disebut namanya kepada Alinea.id, Selasa (7/11).
“Mungkin karena boikot (produk) Israel itu. Saya juga enggak tahu persis.”
McD memang menjadi salah satu perusahaan yang masuk dalam target boikot, menyusul serangan brutal tentara Israel ke Gaza, Palestina sebulan ini. Perusahaan waralaba global itu disorot usai McD Israel dikabarkan menyumbang ribuan makanan bagi tentara Israel Defense Force (IDF) dalam konflik melawan Hamas, Palestina.
Seruan boikot muncul diinisiasi gerakan yang disebut BDS (boycott, divestment, and sanctions). Pegiat BDS Indonesia, Giri Taufik mengatakan, McD Indonesia memang tak ada kaitannya dengan McD Israel. Namun, McD Indonesia dan Isarel sama-sama punya lisensi dari McD Amerika Serikat.
“Mereka satu jaringan sebenarnya,” tutur Giri, Sabtu (4/11). “Yang didorong adalah agar McD Indonesia itu menyatakan posisi terhadap apa yang dilakukan McD Israel bukan bagian dari mereka dan mengecam (penjajahan Israel di Palestina).”
Tekanan sosial, juga ditujukan pada perusahaan-perusahaan yang punya keikutsertaan dalam pendudukan Israel, seperti perusahaan asurasi AXA, perusahaan perlengkapan olahraga Puma, perusahaan teknologi Hewlett Packard (HP), dan kedai kopi Starbucks. Di samping itu, banyak perusahaan besar lain yang dijadikan target, di antaranya Siemens, Domino’s Piazza, Pizza Hut, Burger King, Papa John’s Pizza, Unilever, dan Carrefour.
Mampukah produk lokal bersaing?
Seiring dengan itu, bergema pula ajakan mengganti konsumsi produk-produk tersebut dengan produk lokal. Sebagian orang pun beralih ke merek-merek lokal atau negara lain yang tak terindikasi ikut mendukung Israel.
“Tadinya masih sering beli (kopi) di Starbucks. Tapi sekarang, udah lah (beli) kopi di Family Mart atau Tuku,” ujar Ida, seorang karyawan perusahaan periklanan di Jakarta, Senin (6/11).
Family Mart merupakan jaringan waralaba toko kelontong yang berkantor pusat di Jepang. Sedangkan Kopi Tuku didirikan pengusaha Indonesia bernama Andanu Prasetyo pada 2015.
Ida, yang sebelumnya penggemar berat kentang goreng McD juga berhenti membeli makanan di restoran cepat saji itu. “Daripada nanti duit hasil penjualan mereka enggak tahu buat apa, kan,” kata dia.
Di sisi lain, seruan boikot produk pro-Israel tampaknya sedikit-banyak mampu mendongkrak penjualan makanan dan minuman milik pengusaha lokal. Misalnya, karyawan Restoran Remboelan cabang Grand Indonesia, Jakarta, Annisah Chaerina mengungkapkan, restoran tempatnya bekerja mengalami peningkatan pembelian hingga 40% per hari, semenjak ada gerakan boikot.
“Hampir seluruh 14 cabang Restoran Remboelan meningkat pembeliannya,” tutur Annisah, Senin (6/11).
“(Itu terjadi) sejak masyarakat mulai mencari alternatif restoran atau brand yang tidak mendukung genosia (Israel terhadap Palestina). Saya juga kewalahan (karena) pembeli semakin ramai.”
Annisah yang sudah bekerja dua tahun di restoran tersebut menilai, gerakan boikot dapat membuka mata masyarakat untuk mengonsumsi produk lokal. Meski ia juga paham, aksi itu bakal berimbas pada karyawan yang bekerja di perusahaan yang masuk dalam daftar gerakan BDS.
“Produk lokal banyak kok yang lebih bagus dan bersaing, terutama makanan-makanan Indonesia,” ucap dia.
Peningkatan penjualan juga dirasakan kedai kopi waralaba Janji Jiwa. Menurut salah seorang karyawan Janji Jiwa di bilangan Jagakarsa, Jakarta Selatan, Iqbal Ramadhan, penjualan es kopi melesat hingga nyaris enam kali lipat. Begitu pula dengan roti panggangnya, yang naik sekitar empat kali lipat.
“Karena ada boikot (produk yang mendukung) Israel itu kan, jadi (penjualan) naik,” ujar Iqbal, Selasa (7/11).
Meski begitu, Sekjen Asosiasi UMKM Indonesia (Akumindo) Edy Misero sangsi jika kampanye boikot produk pro-Israel bakal menaikkan penjualan produk UMKM secara drastis. Sebab, ia mengakui, produk UMKM masih kalah saing dari segi kualitas dan kuantitas.
Dalam menentukan produk substitusi, menurut Edy, konsumen bakal mencari produk yang dari segi kualitas lebih baik, serupa, atau tak jauh berbeda dengan produk yang menjadi target boikot. “Kalau produk UMKM pun, mereka (konsumen) akan mencari produk yang kualitasnya bagus. Enggak sembarangan,” ujarnya, Senin (6/11).
Selain itu, gerakan boikot pun tak diikuti seluruh masyarakat Indonesia. Hanya sebagian saja yang benar-benar peduli. Edy justru khawatir kalau aksi boikot ini akan memengaruhi bisnis UMKM yang terkait dengan perusahaan yang masuk “daftar hitam”.
“Contohnya ayam McD itu kan stoknya dari peternak lokal, bisa saja dari UMKM. Kalau diboikot, mereka yang akan terpengaruh,” tutur dia.
“Belum lagi karyawan-karyawannya yang kerja di sana juga orang kita.”
Karenanya, ia menyarankan, agar aksi boikot tak merugikan UMKM dan tenaga kerja Indonesia, sebaiknya gerakan itu fokus pada barang-barang yang berasal langsung dari Israel, salah satunya jeruk shantang. Jeruk jenis ini merupakan salah satu produk pertanian yang diimpor langsung dari Israel sejak 2012.
Sementara itu, Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto mengatakan, aksi boikot tak akan memberikan dampak besar kepada UMKM. “Walaupun seruan ini bisa jadi momentum bagi Indonesia untuk memperkuat kualitas produk UMKM,” kata dia, Senin (6/11).
Bagi Eko, produk UMKM masih belum bisa bersaing dengan produk-produk dari perusahaan yang terafiliasi dengan Israel. “Jadi memang butuh strategi jangka panjang, tidak bisa langsung. Karena kualitas produk UMKM kita kebanyakan masih kalah jauh,” kata Eko.