Nasib angkatan kerja baru di pusaran resesi
Arie Arifin (22) hanya bisa termangu. Puluhan berkas lamaran yang ia kirim melalui platform pencari kerja daring, hingga kini tak kunjung menuai hasil. Memang, ada lamaran yang sempat direspon hingga dilakukan panggilan wawancara. Namun jumlahnya hanya hitungan jari, kelanjutan prosesnya pun nihil.
Mahasiswa jurusan Informatika di salah satu perguruan tinggi swasta di Yogyakarta itu terhitung sudah lulus sejak Juli 2020 kemarin. Dia sempat mendaftar ke instansi pemerintah di daerah asalnya, Jambi, namun hanya bertahan sekitar sebulan sebagai anak magang.
"Setelah masuk sana, ternyata dicari yang berpengalaman bukan fresh graduate. Akhirnya saya magang, tapi karena satu dan lain hal saya enggak lanjut," ujar Arie kepada Alinea.id kemarin.
Usai magang itu, Arie sebetulnya lebih aktif dalam mencari pekerjaan. Namun, kondisi pandemi Covid-19 ternyata membuat jalannya kian berliku. Sebagai angkatan kerja baru, Arie merasakan kesempatannya relatif terbatas.
Selama masa pencarian lowongan kerja (loker) secara daring, Arie menemukan bahwa mayoritas perusahaan mencari tenaga kerja yang sudah berpengalaman. Sementara, loker untuk angkatan kerja baru relatif sedikit. Kalaupun ada, peluang untuk ditindaklanjutinya pun minim.
"(Lowongan) Pekerjaan banyaknya minimal satu tahun, kalau fresh graduate ada tapi minim. Saya kira-kira melamar ada sekitar 60-an (perusahaan), kayaknya hanya 7 yang respons. Ada yang sudah interview lewat telepon atau video call sampai psikotes. Tapi sampai sekarang belum ada jawaban," kata dia.
Kesulitan Arie dalam mencari kerja ini, menurutnya, juga dipengaruhi oleh kondisinya yang saat ini tidak berada di perkotaan besar. Pasalnya, meskipun banyak perusahaan yang menerapkan bekerja dari rumah (WFH), namun kedekatan geografis itu ia sinyalir juga jadi pertimbangan penyedia loker. Alhasil, beberapa lowongan pekerjaan yang ia bidik makin menciut.
"Kendala utamanya juga, karena faktor keluarga yang menyuruh saya pulang ke Jambi. Padahal, kuliah saya kan di Jogja. Tapi disuruh nyari kerja di Jambi, ya sudah. Ternyata di sini lokernya lebih sempit," imbuhnya.
Tak hanya Arie, mahasiswa lulusan sastra di salah satu universitas negeri di Bandung, Dzahban Jodhie (25) pun menganggur sejak Januari 2020. Kondisi pandemi Covid-19 yang memicu adanya resesi secara nasional ini, membuatnya semakin kelimpungan mencari pekerjaan.
Selepas lulus kuliah pada Februari 2019, ia sebetulnya sempat bekerja kontrak selama 3 bulan di sebuah penerbitan di Bandung. Namun setelah diputus kontrak hingga saat ini ia belum juga berhasil menembus lowongan kerja perusahaan.
"Sudah masukin ke bank, masukin ke perusahaan media online juga enggak ada kabar. Loker di Jobstreet dan lainnya aku juga sudah masukin. Tapi ya, pas Covid-19 lowongan kerja berkurang, makin kecil," ujar Jodhie.
Lelaki yang kini berdomisili di Malang itu, tidak memungkiri bahwa angkatan kerja baru seperti dirinya memang mesti berjibaku lebih keras mencari pekerjaan. Dikarenakan, loker yang tersedia juga diperebutkan oleh angkatan kerja berpengalaman yang ikut terdampak pandemi.
Sementara itu, angkatan kerja yang relatif lebih berpengalaman dibandingkan Arief dan Djodie, Hilma Afrida (24) pun mengaku juga sempat mengalami kesulitan melamar pekerjaan saat pandemi ini. Ia di-PHK pada September 2020 kemarin. Setelah menganggur beberapa saat, ia mendapatkan pekerjaan setelah berhijrah dari kampung halaman di Padang ke ibu kota.
"September ke Jakarta, akhir Oktober (2020) baru dapat kerjaan," kata lulusan Universitas Negeri Andalas tersebut.
Meski baru saja mendapatkan pekerjaan, Hilma menceritakan bahwa perjuangannya untuk bekerja tidaklah mudah. Dia sudah mengirimkan berkas lamaran secara daring ke lebih dari 100 perusahaan. Selain itu, dia mesti mencari informasi pekerjaan door to door ke jaringan pertemanannya.
Dari penuturan temannya, Hilma lantas percaya bahwa mencari pekerjaan di Jakarta peluangnya akan lebih besar. Ia pun memutuskan untuk nekat berangkat ke Jakarta dengan bekal informasi yang didapat tersebut.
"Kalau di Jakarta katanya lebih mudah apply kerjaan. Bisa langsung walk in datang ke kantor terus interview itu bisa datang pagi langsung selesai hari itu juga," ujarnya.
Hilma termasuk angkatan kerja yang lebih mujur sebab lamarannya diterima. Setelah menjalani masa kerja 10 bulan di perusahaan sebelumnya, kini Hilma sudah menyandang kembali status karyawan. Di rantau, wanita berhijab itu kini bekerja di sebuah perusahaan media sebagai telemarketer.
Kecakapan serta jaringan, menurutnya, menjadi penting dalam mencari pekerjaan di masa pandemi yang mengalami resesi ini. Tidak hanya secara offline, ia menekankan kemampuan komunikasi para angkatan kerja di ranah digital juga begitu penting.
"Misalnya dalam melamar kerja di platform daring, sadarnya pas sudah tahu kerjaan. Dulu enggak ngerti caranya melamar kerja, enggak ada subject di email, ada juga kata-kata yang bikin HRD enggak tertarik makanya kirim banyak lamaran enggak keterima," katanya.
Angka pengangguran meningkat
Direktur Peneliti Core Indonesia Piter Abdullah mengemukakan bahwa tantangan terbesar bagi angkatan kerja baru di di masa pandemi ini adalah semakin terbatasnya lapangan kerja yang bisa menampung. Terlebih, kondisi resesi saat ini yang membuat ekonomi makin terpuruk.
"Persaingan mendapatkan pekerjaan semakin berat di masa resesi saat pandemi ini," ujar Piter kepada Alinea.id.
Istilah resesi ini merujuk pada kondisi perekonomian nasional yang telah mengalami pertumbuhan dua kuartal berturut-turut negatif (minus). Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, PDB Indonesia pada kuartal-III/2020 mengalami kontraksi sebesar 3,49% (yoy), sementara kuartal sebelumnya minus 5,32% (yoy).
Di situasi ini, jumlah angkatan kerja lantas menunjukkan peningkatan per Agustus 2020. Jumlah angkatan kerja tercatat mencapai 138,22 juta orang, naik sekitar 2,36 juta orang dibandingkan Agustus 2019.
Melonjaknya para pencari kerja tersebut, tak lepas dari tingkat pengangguran akibat dampak pandemi Covid-19 yang juga melesat. Tingkat pengangguran terbuka (TPT) per Agustus 2020 sebesar 7,07%, meningkat 1,84% poin dibandingkan dengan Agustus 2019.
Dalam setahun terakhir saat pandemi ini, persentase pekerja setengah penganggur dan persentase pekerja paruh waktu naik masing-masing sebesar 3,77% poin dan 3,42% poin.
Terdapat 29,12 juta orang (14,28%) penduduk usia kerja yang terdampak Covid-19. Terdiri dari pengangguran karena Covid-19 2,56 juta orang, Bukan Angkatan Kerja (BAK) karena Covid-19 0,76 juta orang. Lalu, angkatan kerja tidak bekerja karena Covid-19 1,77 juta orang, dan penduduk bekerja yang mengalami pengurangan jam kerja karena Covid-19 24,03 juta orang.
Tak elak, kesempatan mencari kerja di masa resesi saat pandemi ini pun bisa dipastikan semakin ketat. Utamanya, bagi para angkatan kerja baru yang tak hanya bersaing dengan sebayanya, namun juga pencari kerja 'senior' yang terdampak pandemi Covid-19.
Hasil riset Lifepal.co.id mencatat, situs-situs pencarian kerja daring selama pandemi memang sempat mengalami titik terendah pada Mei 2020, namun kemudian ada kenaikan traffic 9% hingga Agustus 2020. Setidaknya, ada lima situs pencari kerja yang menjadi sampel di antaranya Id.Indeed.com, Jobstreet.co.id, JobsDB.com, Urbanhire.com, dan Karir.com.
Brand Activation Associate Manager Kalibrr Andrew Nugraha Patty, membeberkan dari Maret hingga Juni 2020 peluang bekerja di bidang penjualan dan pemasaran (sales and marketing) paling besar, mencapai 50,5%. Rinciannya, sebanyak 0,35% internship, 32,49% entry level, 65,14% associate, 1,98% mid senior dan 0,07% director.
“Yang lumayan tinggi juga ada di ranah IT (information technology),” ujarnya saat dihubungi Alinea.id, Selasa (21/7).
Perusahaan penyedia layanan lowongan pekerjaan ini mencatat peluang lowongan pekerjaan di bidang IT dan software selama masa pandemi itu mencapai 13,4%. Rinciannya 2,92% internship, 37,92% entry level, 39,01% associate, 19,82% mid senior, dan 0,33% director.
Lalu, posisi berikutnya bidang pelayanan umum (general services) sebesar 11,5%, dengan rincian 32,44% internship, 66,56% entry level, 0,78% associate, 0,19% mid senior, dan 0,03% director. Andrew mengatakan, secara keseluruhan lowongan kerja yang dibuka untuk lulusan baru mencapai 54,2%.
“Posisi program officer development paling banyak dicari calon pekerja. Diikuti account officer, business analyst, social media officer, dan banking officer,” lanjutnya.
Menurut Andrew, berdasarkan riset internal Kalibrr, sebesar 73% lowongan pekerjaan memang masih terpusat di Jakarta. Selanjutnya di Banten 6%, Jawa Timur 4%, Jawa Barat 3%, Jawa Tengah 2%, dan daerah lainnya 12%.
Pencari kerja mayoritas berasal dari Jakarta dengan jumlah 33%, lalu Jawa Barat 24%, Banten 10%, Jawa Timur 9%, dan Jawa Tengah 6%. Pekerja muda dan lulusan baru, kata Andrew, juga mendominasi pemakai situs web Kalibrr sebesar 41%. Lalu, magang 26%, mid-senior level manager 11%, dan director 1%.
Meski angkatan kerja baru menjadi mayoritas pelamar di situs pencarian kerja daring, namun realitanya penyerapan angkatan kerja ini juga belum sepenuhnya optimal. Kementerian Komunikasi dan Informatika mengungkap ada sekitar 2,36 juta angkatan kerja baru tidak bisa terserap oleh lapangan kerja.
Angkatan kerja baru ini, mencakup para lulusan baru tahun 2019-2020. Baik yang sarjana maupun yang setingkat SMA. Jumlah itu menambah daftar jumlah pengangguran di masa pandemi saat ini.
Adanya jumlah angkatan kerja baru yang tidak terserap itu disampaikan Wakil Jubir Kemenkominfo Dewi Meisari di Jakarta, Senin (9/11/2020). Dia mengatakan, jumlah angkatan kerja yang tidak terserap itu semakin membengkak lantaran ada sekitar 310 ribu orang yang kehilangan pekerjaan akibat pandemi Covid-19.
“Maka pada kuartal ketiga tahun ini terdapat penambahan pengangguran sekitar 2,67 juta. Sehingga total pengangguran Indonesia menjadi 9,77 juta orang atau 7,07%,” ujar Dewi Meisari beberapa waktu lalu.
Siasat angkatan kerja baru
Menyoal ini, Piter dari CORE melanjutkan upaya melakukan siasat bagi angkatan kerja baru perlu didorong. Selain terus berupaya mengatasi pandemi agar ekonomi turut terkerek, tambahnya, peningkatan kapasitas kelompok ini menjadi penting untuk dilakukan.
Angkatan kerja baru yang notabene memiliki pengalaman minim ini, menurutnya perlu mengasah diri dengan pelatihan keterampilan dan skill yang ke depan semakin menjadi tuntutan. Utamanya soal digitalisasi.
"Bukan posisi atau sektor yang menentukan dalam persaingan mencari kerja di tengah pandemi, tetapi kapasitas dan kualitas angkatan kerja," kata Piter.
Senada, Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira mengatakan pandemi yang kini menimbulkan resesi ini, memang berdampak serius utamanya bagi para angkatan kerja muda.
"Milenial (angkatan kerja baru) yang tahun ini baru lulus kuliah, akan menghadapi persaingan kerja yang ketat karena pelamar membludak sementara lowongan pekerjaan berkurang akibat pandemi," ujar Bhima kepada Alinea.id.
Situasi ini, menurut Bhima, akan menjadikan angka pengangguran usia remaja naik tinggi. Sebelum pandemi, Indonesia termasuk negara dengan angka pengangguran usia remaja yang tinggi yakni 15,8% hanya lebih rendah dari Iraq (failed state) 16,6%. "Jadi situasinya sudah membahayakan," imbuhnya.
Sementara secara umum, tingkat pengangguran terbuka menurutnya akan terus mengalami peningkatan hingga tahun depan. Bahkan, diproyeksi menembus total 15 juta orang per Februari 2021.
Dia berpendapat, angkatan kerja yang terus bertambah itu, tidak diimbangi dengan serapan kerja yang besar. Misalnya, serapan sektor yang seharusnya banyak menampung tenaga kerja seperti industri pengolahan justru menurun dari 14,9% menjadi 13,6% pada agustus 2020.
"Industri pengolahan terdampak pelemahan daya beli di dalam dan pasar ekspor sehingga terpaksa lakukan efisiensi pegawai," ujarnya.
Sementara itu, jasa konstruksi termasuk infrastruktur yang diandalkan serap tenaga kerja justru menurun dari 6,74% menjadi 6,28%. Sektor konstruksi termasuk sektor yang terkena imbas paling besar dari adanya pandemi.
Sektor potensial tumbuh pesat seperti informasi dan telekomunikasi yang diperkirakan tumbuh sebesar 10,6% yoy pada kuartal-III 2020. Sayangnya, kata dia, kondisi itu hanya mampu menyerap 20.000 orang tenaga kerja.
"Sekarang yang terpenting pemerintah harus menyiapkan mitigasi ledakan pengangguran generasi muda," katanya.
Upaya yang perlu diwujudkan, kata dia adalah mendorong pelaku usaha UMKM tetap produktif dengan akses ke digitalisasi. Baru 13% UMKM yang masuk ke platform digital.
Semakin banyak yang masuk ke platform digital, menurutnya, serapan tenaga kerja UMKM akan meningkat. "Kenapa UMKM? karena UMKM merupakan usaha yang menampung pengangguran di sektor formal. Sampai situasi ekonomi pulih, maka yang bisa diharapkan menampung tenaga kerja adalah UMKM," imbuhnya.
Selain itu, adanya peluang ekonomi digital juga harus dimanfaatkan untuk mensuplai SDM di start up. Banyak perusahaan rintisan yang membutuhkan ahli seperti data scientist, UX designer, program developer, hingga artificial intelligences (AI). Tapi skill yang dihasilkan oleh perguruan tinggi tidak sesuai dengan kebutuhan start up.
"Akhirnya start up lakukan outsourcing tenaga kerja keluar negeri. Seperti Gojek misalnya yang memiliki badan riset di Bangalore India. Tentu ini miris," ujar Bhima.
Oleh karena itu, ia menekankan agar situasi booming digital harus dimanfaatkan perguruan tinggi untuk adaptif dalam memberikan pelajaran, harus update dan sesuai kebutuhan industri terutama sektor digital.
Kebijakan pemerintah pun menurutnya belum ada yang menyasar secara spesifik angkatan kerja baru. Kartu Prakerja itu sama sekali bukan jawaban. Maka dari itu, ia mendorong revitalisasi sekolah vokasi sebagai pemasok SDM yang skill-nya match dengan kebutuhan industri menjadi penting.
"Usul 80% pengajar vokasi didatangkan dari expert yang berpengalaman di industri bukan tenaga pengajar umum," katanya.
Pendampingan UMKM
Bhima lantas mengusulkan agar ada bantuan produktif bagi angkatan kerja baru. Misalnya, soal UMKM yang butuh pendampingan, pengecekan kualitas (quality control) dan akses pasar. Alih-alih, hanya diberikan bantuan tunai saja.
"Tapi harus ada pendampingan, kalau tidak dananya akan dipakai untuk kegiatan konsumtif," ujarnya.
Pemerintah dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informatika diketahui tengah menyusun program untuk mendukung angkatan kerja baru. Kementerian ini telah menyiapkan tiga program pelatihan untuk membantu usaha mikro, kecil dan menengah serta ultra mikro (UMKM/UMi). Bentuk pelatihan itu sejalan dengan Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia yang dibuat untuk mendorong masyarakat dalam membeli produk buatan UMKM lokal.
"Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia ini juga mengupayakan stimulus dalam bentuk pelatihan dan pendampingan terutama dalam penyesuaian bisnis ke ruang digital atau digital onboarding," kata Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate saat konferensi pers peluncuran Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia, Kamis (16/07) dilansir di situs resmi Kominfo.go.id.
Program pelatihan Kominfo ini, meliputi pelatihan Kewirausahaan Digital yang merupakan bagian dari beasiswa Digital Talent Scholarship. Digital Talent Scholarship ditargetkan bisa menjangkau 50.000 peserta. Selama pandemi, pelatihan tersebut dilakukan dari jarak jauh secara dalam jaringan atau online.
Adapula, program kedua Kominfo berupa Scaling-Up UMKM/UMi. Ini meliputi pelatihan digital petani dan nelayan untuk pengembangan dan pendampingan usaha di kedua sektor tersebut. Gerakan ini sudah ada sejak 2017 melalui Gerakan UMKM Jualan Online dan akan ditingkatkan seiring dengan Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia.
Ketiga, Kominfo juga fokus pada pelatihan kemampuan berbahasa Inggris dan pemasaran digital untuk UMKM dan ultra mikro, serta pelaku desa wisata di destinasi wisata super prioritas.