Nasib bank asing bermodal cekak: Pilih merger, downgrade, bahkan likuidasi
Tenggat waktu bank-bank umum untuk memenuhi ketentuan modal inti minimum Rp3 triliun hanya tersisa sekitar 1,5 bulan lagi hingga 31 Desember 2022. Merujuk pada Peraturan OJK (POJK) 12 Tahun 2020, bank umum wajib memenuhi ketentuan modal inti minimum secara bertahap, yakni Rp1 triliun pada 2020, kemudian naik menjadi Rp2 triliun di 2021 dan Rp3 triliun pada 2022.
Namun, berdasarkan data terakhir yang pernah disampaikan Kepala Pengawas Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Dian Ediana Rae, hingga Juli 2022 masih terdapat 37 bank yang modal intinya masih di bawah ketentuan. Dengan rincian ada 24 bank umum dan 13 bank pembangunan daerah (BPD). Sedangkan berdasar pantauan Alinea.id, hingga September kemarin, masih ada 23 bank umum yang masih bermodal cekak di bawah Rp3 triliun.
“Kalau ada bank yang tidak memenuhi komitmennya untuk memenuhi modal inti ini, akan kita memilih opsi merger, downgrade (diturunkan-red) menjadi BPR (Bank Perkreditan Rakyat-red), atau likuidasi sukarela,” jelas Dian, kepada Alinea.id, Senin (21/11).
Menilik lebih jauh, dari bank-bank yang belum mampu memenuhi modal inti minimum tersebut, ada bank yang kepemilikan sahamnya mayoritas dimiliki oleh asing. Dari pantauan Alinea.id, ada setidaknya 9 bank umum yang masuk ke dalam kategori ini.
Selain kelima bank dalam infografis di atas, ada pula Bank of India Indonesia. Sampai saat ini pemegang saham pengendali bank dengan kode saham BSDW adalah Bank of India dengan kepemilikan 86,04%. Lalu, PT Panca Mantra Jaya sebanyak 10,46%, Prakash Rupchand Chugani sebanyak 0,99%, dan masyarakat sebanyak 2,51%.
Selanjutnya, ada Bank Amar Indonesia dengan 59,4% atau sekitar 8,22 miliar sahamnya dimiliki oleh asing, yakni Tolaram Group Inc, konglomerasi asal Singapura. Selanjutnya ada Bank Maspion yang melalui Rapat Umum Pemegang Sham Luar Biasa (RUPSLB) pada 20 September 2022 lalu, kepemilikan dari taipan Indonesia Alim Markus berpindah kepada Kasikorn Vision Financial Company Pte Ltd (KVF).
Dari aksi korporasi ini setidaknya anak usaha dari bank asal Thailand Kasikornbank Public Company Limited (Kbank) ini akan memiliki porsi saham sebesar 67,5%. Kemudian ada pula Bank Bukopin Syariah atau yang dikenal juga sebagai KB Bukopin Syariah dengan induk usahanya, PT Bank KB Bukopin Tbk., yang memiliki 92,778% porsi saham. Perlu diketahui, saat ini Bank KB Bukopin dimiliki oleh Kookmin Bank Co Ltd, bank asal Korea Selatan.
Meski bank-bank tersebut dikendalikan oleh asing, namun Senior Faculty Lembaga Pengelolaan Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Amin Nurdin menilai, nasib bank asing tersebut akan sama dengan bank-bank bermodal cilik lainnya yang mayoritas sahamnya dimiliki oleh perusahaan atau taipan lokal.
“Setidaknya ada tiga hal yang akan dialami, terlepas kepemilikan sahamnya itu asing atau lokal. Turun kasta menjadi BPR, merger dengan bank lain, atau menutup usaha banknya,” kata dia, saat dihubungi Alinea.id, Minggu (20/11).
Karenanya, untuk menghindari tiga hal tersebut, bank mau tak mau harus memenuhi modal inti minimum yang disyaratkan otoritas. Dengan cara yang paling umum dilakukan adalah melalui rights issue (penawaran umum terbatas saham) atau yang sering disebut dengan Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu (HMETD) maupun dengan private placement alias pelepasan saham suatu perusahaan oleh pemegang saham tertentu tanpa melalui penawaran umum.
Terlepas dari dua cara tersebut, komitmen pemegang saham pengendali (PSP) untuk menyetorkan modal tambahan dinilai sangat penting untuk memenuhi target permodalan. Amin mencontohkan HMETD misalnya, pada kondisi pasar keuangan global dan nasional yang masih tidak stabil ditambah kinerja perusahaan yang tidak seluruhnya bagus, akan sulit bagi bank-bank mini tersebut untuk mendapat dana tambahan dari pasar modal.
“Makanya, menurut saya harus ada roadshow dulu ke beberapa strategic partner. Jadi nantinya rights issue ini hanya sebagai cara mengundang pasar untuk join, tapi sebenarnya di belakangnya sudah ada strategic partner yang siap menjadi standby buyer untuk saham-saham itu,” jelas pengamat perbankan tersebut.
Bank dengan saham mayoritas dimiliki asing, menurut Amin, akan lebih mudah bagi mereka untuk mencari mitra strategis untuk diajak bekerjasama, baik melalui merger maupun akuisisi. Tidak hanya itu, untuk memperkuat permodalan satu sama lain, OJK pun mempersilahkan bank untuk bekerjasama dengan perusahaan teknologi finansial (tekfin).
“Jadi mereka bisa mengembangkan bisnis dan pasar, tetap menjaga inklusi keuangan dan bisa kerja sama membangun digitalisasi,” imbuh Amin.
Peran pemegang saham pengendali
Sama halnya dengan Amin, pengamat ekonomi perbankan Doddy Ariefianto juga menilai pemegang saham pengendali memegang peranan sangat penting dalam pemenuhan modal inti. Namun, bagi pemegang saham pengendali asing, kata dia, memiliki pertimbangan lebih banyak untuk memberikan penyertaan modal pada bank mini yang dimilikinya.
Beberapa diantaranya adalah kinerja bank tersebut serta bagaimana bisnis perusahaan dari negaranya yang ada di Indonesia berjalan. “Misal ada perusahaan Korea yang buka pabrik baja di Indonesia, mereka biasanya datang untuk memenuhi kebutuhan pendanaan perusahaan tadi. Umumnya begitu,” kata dia, kepada Alinea.id, Sabtu (19/11).
Namun, seiring berjalannya waktu, bisnis tersebut ada yang diambil sebagian kepemilikannya oleh Indonesia, karena bertempat di tanah air. Sehingga, bank yang digunakan untuk memenuhi modal perusahaan tersebut pun berganti atau beralih sebagian ke bank-bank nasional.
Sebaliknya, bisa saja perusahaan tersebut tidak berjalan dengan baik, sehingga tidak juga memberikan keuntungan kepada bank. Apalagi dengan nasabah yang biasanya tergolong lebih segmented. Pada akhirnya, bank-bank asing tersebut bisa jadi kalah saing dengan bank-bank umum nasional atau bahkan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) hingga Bank Pembangunan Daerah (BPD).
“Dengan kondisi itu, jadi sekarang mereka mungkin mulai ngitung secara detail. Kalau bisnis masih ada, kemungkinan mereka akan di backup, enggak mungkin orang membuang bisnis. Dari situ mereka kemudian akan menentukan akan tetap stay di sini atau akan pergi.” imbuh pengajar di Binus University itu.
Menilik laporan keuangan masing-masing perusahaan, ada beberapa dari bank tersebut yang mencatatkan laba bersih. PT Bank JTrust Indonesia Tbk. atau JTrust Bank misalnya yang pada kuartal-III kemarin mencatatkan laba sebesar Rp85,06 miliar. Padahal, pada periode yang sama di tahun 2021, bank asal Jepang ini masih melaporkan rugi bersih senilai Rp337,94 miliar.
Pun dengan PT Bank of India Indonesia Tbk. atau Bank of India yang pada semester-I 2022 mencatatkan laba bersih senilai Rp14,38 miliar. Nilai ini tumbuh 150,09% secara tahunan (year on year) dibandingkan posisi semester-I 2021 yang hanya sebesar Rp5,75 miliar.
Sebaliknya, hingga kuartal-III 2022 PT Bank Amar Indonesia Tbk. masih berkutat dengan kerugian sebesar Rp172,86 miliar ketika harus memenuhi ketentuan modal minimum dari otoritas. Kondisi ini berbanding terbalik dari perolehan laba di kuartal-III tahun lalu yang senilai Rp565,18 triliun.
Selain bank dengan kode saham AMAR tersebut, PT Bank Neo Commerce Tbk. atau BNC juga membukukan rugi bersih yang membengkak hingga Rp601,2 miliar. Jumlah kerugian neo bank ini juga jauh lebih besar dari kerugian pada periode yang sama di tahun sebelumnya yang sebesar Rp264,7 miliar.
“Karena itu, untuk mencegah agar tidak turun kasta menjadi BPR atau bahkan harus dilikuidasi, pemegang saham pengendali dan manajemen bank harus mencari cara untuk memenuhi modal inti. Mumpung waktunya masih ada satu setengah bulan lagi,” ujar Doddy.
Masih kecil
Modal inti, kata Direktur Eksekutif Segara Institute Piter Abdullah, sangat penting bagi perbankan. Pasalnya, bank hanya dapat berkembang dengan baik apabila memiliki modal yang cukup. Di saat yang sama, modal inti yang besar juga bisa melindungi dana nasabah dari berbagai kemungkinan seperti kredit macet hingga fraud.
“Dan ketentuan modal inti di bank-bank Indonesia itu sangat kecil. Ini sudah terjadi bertahun-tahun. Bahkan, modal inti yang sebesar Rp3 triliun ini juga sebenarnya masih relatif kecil untuk ukuran industri perbankan yang mana mereka memegang dana masyarakat yang sangat besar,” jelas Piter, saat dihubungi Alinea.id, Minggu (20/11).
Pengamat ekonomi perbankan ini mencontohkan, apabila perbankan memiliki modal cekak, bank tersebut akan kesulitan untuk meningkatkan pelayanannya, baik dalam menyalurkan kredit hingga meningkatkan pelayanan digital. Karena itu pula, bank kecil bakal mengalami kesulitan untuk mendapat dana murah.
Dengan kondisi ini, praktis akan memaksa bank menyalurkan kredit dengan bunga tinggi. Pada akhirnya, hal ini akan membuat risiko kredit macet meningkat, pun dengan net interest margin (NIM) alias margin bunga bersih yang didapat akan menjadi kecil.
“Karena itu lah keuntungan yang didapatkan juga akan rendah dan ROA (Return on Asset/pengembalian aset) terbatas,” imbuhnya.
Sementara itu, jika bank tidak bisa memenuhi aturan modal minimum dan berganti status menjadi BPR, dinilai akan membuat perbankan berpotensi kehilangan nasabahnya. Namun, nasabah dipastikan tidak akan kehilangan dana simpanannya, karena dana tersebut telah dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
Berkurangnya nasabah dinilai bakal terjadi karena bagaimanapun, ketika bank beralih status menjadi BPR, bank akan kehilangan beberapa fungsinya. “Setelah jadi BPR, yang selama ini jadi bank kan mereka bisa menyediakan fasilitas atau menjual produk tertentu, nantinya tidak bisa lagi,” jelas Piter.
Sebaliknya, jika modal inti bank cukup besar, akan mudah bagi mereka untuk meningkatkan skala usaha bank. Di sisi lain, bank juga bisa mendapatkan kepercayaan diri untuk lebih baik lagi dalam mengelola usaha maupun risiko. Sebab, dalam kondisi permodalan yang cukup, kemampuan bank untuk menyerap risiko bisnis juga akan semakin tinggi dan bervariasi.
Di saat yang sama, modal inti juga diperlukan untuk mendukung dan memperkuat investasi teknologi dan meningkatkan kemampuan sumber daya manusia (SDM). Pada akhirnya, bank dapat pula meningkatkan efisiensi serta daya saing dengan bank umum lainnya, baik di tingkat nasional maupun global.
“Secara makro, penebalan modal inti bank akan memperkuat struktur pasar perbankan, memperkuat stabilitas sistem keuangan, hingga memperkuat daya saing ekonomi indonesia,” ungkap Kepala Pengawas Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Dian Ediana Rae, kepada Alinea.id, Senin (21/11).
Strategi bertahan
Sementara itu, untuk memenuhi modal inti Rp3 triliun, Bank Neo Commerce baru saja mendapatkan pernyataan efektif rights issue dari OJK pada Kamis (10/11) lalu untuk menerbitkan sebanyak-banyaknya 2,61 miliar lembar saham. Dalam aksi korporasi ini, perseroan pun menetapkan harga pelaksanaan sebesar Rp650 per saham.
Sehingga jumlah dana segar yang bakal didapatkan mencapai Rp1,7 triliun. Sementara sampai saat ini, modal inti BNC masih sebesar Rp2,25 triliun.
“Selain pemenuhan modal inti, dana rights issue juga akan digunakan untuk mendukung ekspansi kredit perbankan, baik secara digital maupun konvensional. Kemudian, dana rights issue juga akan digunakan untuk kegiatan operasional, antara lain rekrutmen dan pengembangan SDM,” kata Direktur Kepatuhan BNC Ricko Irwanto, dalam acara paparan public BNC Triwulan-III 2022 secara daring, Jumat (18/11).
Di saat yang sama, dana segar hasil aksi korporasi itu juga akan dialokasikan sebagai promosi untuk memperoleh pengguna baru, serta mendukung pengembangan teknologi informasi seperti pengembangan aplikasi.
Selain BNC, Bank of India Indonesia juga baru saja mendapat restu untuk melakukan rights issue. Di mana dalam Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) manajemen bank berkode saham BSDW ini menyetujui rencana penambahan modal dengan menerbitkan sebanyak-banyaknya 1,38 miliar saham.
Direktur Utama Bank of India Indonesia Raharjo Satrio Unggul memperkirakan, harga pelaksanaan rights issue akan dipatok sekitar Rp1.000 per saham. Sehingga dana yang didapat dari aksi korporasi ini mencapai Rp1,3 triliun. Sementara sampai saat ini modal inti perseroan masih senilai Rp2,03 trilun.
“Dengan kinerja dan aset yang ada, serta harga pelaksanaan sekitar Rp1.000 itu akan bisa untuk memenuhi kesehatan permodalan,” tutur Raharjo, kepada Alinea.id, beberapa waktu lalu.
Masih dengan cara HMETD, Bank Maspion juga diperkirakan akan mendapatkan tambahan modal untuk memenuhi ketentuan modal inti Rp3 triliun. Namun yang berbeda, dalam HMETD II ini, Kasikorn Public Company Limited (KBank) melalui anak usahanya Kasikorn Vision Financial Company Pte. Ltd. (KVF) akan menyerap sisa saham dari bank dengan kode saham BMAS ini.
Hal ini sesuai dengan kewajiban tender off yang telah disepakati oleh BMAS dan KVF. Perlu diketahui, tender off sendiri merupakan penawaran untuk membeli sisa saham perusahaan terbuka yang wajib dilakukan oleh pengendali baru.
“Untuk memperkuat permodalan itu, BMAS melakukan beberapa langkah strategis, salah satunya melalui kolaborasi dengan Kasikornbank Public Company Limited dan Kasikorn Vision Financial Pte, Ltd,” kata Alim Markus, dalam paparan kinerja Bank Maspion, Selasa (15/11).
Sementara itu, saat ini bank asal Thailand itu telah memiliki lebih dari 40% saham BMAS. Tidak hanya itu, KVF juga telah mendapatkan persetujuan OJK untuk menjalankan fit and proper test untuk menjadi ultimate shareholder atau pemegang saham pengendali menggantikan Alim dan meningkatkan sahamnya hingga sedikitnya 67,5%.
Pada kesempatan yang sama, Direktur Kepatuhan BMAS Iis Herijati menjelaskan, dalam proses rights issue ini BMAS mengeluarkan saham baru sebanyak 4.176 miliar saham, dengan jumlah dana hasil ditargetkan senilai Rp1,7 triliun.
Di mana dana yang dihasilkan nantinya akan digunakan 65% di antaranya untuk penyaluran kredit, sebanyak 25% untuk pengembangan teknologi informasi dan 5% untuk pengembangan SDM dan 5% untuk perluasan jaringan layanan.
“Untuk penyaluran kredit, kami akan fokus untuk kredit produktif yang selama ini kontribusinya juga 80% dan 20% konsumtif,” beber Iis.