Nasib brand terafiliasi Israel kala gerakan boikot kian masif
Konflik antara Israel dan Palestina kembali memanas sejak tiga minggu terakhir. Selama periode 7 Oktober sampai 1 November, serangan brutal Israel telah membunuh lebih dari 8.900 warga Palestina. Di mana korban paling banyak jatuh di Jalur Gaza, yakni 8.805 orang tewas dan 22.240 orang luka-luka. Sementara di Tepi Barat (West Bank), korban jiwa berjumlah 208 orang dan korban luka sebanyak 2.274.
Parahnya, dalam 25 hari perang, 3.600 anak-anak Palestina tewas di Gaza. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Save The Children menyebut, jumlah korban anak yang jatuh dari 7-29 Oktober bahkan melebihi total korban anak yang tewas dalam berbagai konflik di dunia sejak 2019. Menurut laporan dari Sekretaris Jenderal PBB tentang anak-anak dan konflik bersenjata, total korban anak di 24 negara di 2022 berjumlah 2.985 jiwa, 2.515 pada 2021 dan 2.674 di tahun 2020.
“Kematian satu anak saja sudah terlalu banyak, namun ini adalah pelanggaran berat yang sangat besar,” kata Direktur Save the Children untuk wilayah Palestina Jason Lee, dikutip dari Al Jazeera, Selasa (1/11).
Israel, di sisi lain mengklaim bahwa serangan yang dijatuhkannya di Jalur Gaza adalah untuk meruntuhkan kelompok militer Hamas. Selain itu, Israel juga menyalahkan Hamas karena beroperasi di lingkungan perumahan yang penuh sesak.
Aksi kekejaman Israel ini mendapat kecaman keras dari dunia, termasuk masyarakat Indonesia. Tidak hanya itu, penduduk dunia juga ramai-ramai menyerukan gerakan boikot produk atau perusahaan yang terafiliasi dengan Israel atau yang disebut Boycott, Divestment and Sanction (BDS).
Produk yang telah diboikot antara lain, PUMA, Hewlett Packard, AXA, McDonald’s, Starbucks, KFC, Pepsi, Coca-Cola, Danone, Nestle, Unilever, hingga perusahaan hiburan seperti Netflix dan Walt Disney. Aksi boikot yang dimulai sejak 10 Oktober lalu membuat harga saham beberapa perusahaan jatuh.
Sebut saja PepsiCo, yang sahamnya sempat menyentuh titik terendah sejak November 2021, yaitu di level US$157,9 per lembar. Atau Walt Disney yang sejak pemboikotan dimulai terus berfluktuasi, hingga pada akhir perdagangan Rabu (1/11) kemarin ditutup di harga US$245,5 per lembar.
Seruan boikot pun kini sudah menyebar sampai ke Indonesia. Di media sosial X dan Tiktok, bahkan tagar soal #BDSMovement sempat menjadi topik populer. Selain itu, warganet juga banyak menyerukan ajakan untuk memboikot produk-produk seperti McD, Starbucks yang ada di bawah PT MAP Boga Adiperkasa, Philips Morris yang di Indonesia dinaungi oleh HM Sampoerna, Unilever Indonesia, dan Coca-Cola yang didistribusikan oleh PT Graha Prima Mentari Tbk.
Belum berdampak
Seruan boikot memang sudah digaungkan, namun pengamat pasar modal Reza Priyambada menilai, dampaknya ke pasar modal Indonesia maupun ke saham perwakilan perusahaan-perusahaan yang diboikot dan berkantor di tanah air tidak akan terlalu besar. Sebab, kinerja saham perusahaan-perusahaan seperti PT MAP Boga Adiperkasa Tbk. (MAPB), PT Unilever Indonesia Tbk. (UNVR), PT HM Sampoerna Tbk. (HMPS), dan PT PT Graha Prima Mentari Tbk. (GRPM) lebih dipengaruhi oleh sentimen di pasar dalam negeri, ketimbang global.
“Di Indonesia memang sudah mulai ada seruan untuk memboikot produk yang berhubungan sama Israel atau yang mendukung Israel. Tapi suaranya tidak banyak. Gerai-gerai McD, Starbucks masih buka. Orang juga masih tetep beli produknya Unilever,” jelasnya, saat dihubungi Alinea.id, Selasa (1/11).
Selain sentimen di dalam negeri, belum adanya kabar soal penutupan gerai dari perusahaan-perusahaan produk yang diboikot serta penurunan kinerja perusahaan yang menimbulkan masalah baru seperti pemutusan hubungan kerja membuat investor saham pun masih dapat menenangkan diri. Apalagi, meskipun merek dagang yang digunakan tetap, seperti McD, Starbucks, Unilever, Philip Morris, dan Coca-Cola, namun perusahaan-perusahaan tersebut sepenuhnya telah dimiliki oleh pengusaha lokal.
“Dan lagi, mereka (perusahaan-perusahaan yang diboikot) itu kan punya banyak cabang di berbagai negara. Jadi kalau pun ada penurunan saham atau kinerja perusahaan, itu sifatnya teritorial saja. Enggak kalau satu turun, yang lain mengikuti,” imbuh Reza.
Hal ini akan berbeda jika sudah ada gerai yang tutup atau pemutusan hubungan kerja (PHK) massal karena penurunan kinerja keuangan perusahaan. Kalau tidak, konflik antara Israel-Palestina meluas dan melibatkan banyak negara lain.
“Kalau ini yang terjadi, jelas harga saham akan turun,” ujar Sekretaris Jenderal Asosiasi Analis Efek Indonesia itu.
Pandangan serupa disampaikan pula oleh Senior Investment Information Mirae Asset Sekuritas Nafan Aji Gusta Utama. Menurutnya, dalam menyikapi konflik yang tengah memanas di Israel dan Palestina, perusahaan asing yang sudah berkantor di Indonesia akan mengambil sikap riil. Di mana Philip Morris, Unilever, Coca-Cola dan Starbucks bakal mengambil sikap yang sama, seperti yang diambil oleh mayoritas masyarakat dunia, terutama Indonesia.
“Jadi semestinya mereka akan menyerukan gencatan senjata. Semestinya begitu,” Kata Nafan, kepada Alinea.id, Kamis (2/11).
Alasannya, karena perusahaan yang berdiri di Indonesia itu harus menjaga kepercayaan pangsa pasarnya, agar tetap atau bahkan meningkat. Dengan begitu, konsumsi masyarakat terhadap produk mereka pun tidak akan terlalu berpengaruh dengan aksi boikot yang terjadi di dunia.
Sementara itu, setelah seruan boikot terjadi, Nafan bilang kinerja saham HMSP, UNVR, GRPM, dan MAPB relatif mix. Dengan kinerja top line dan bottom line HMSP mengalami pertumbuhan progresif, baik secara kuartalan maupun tahunan.
Sebagai informasi, HMSP membukukan penjualan bersih sebesar Rp87,29 triliun pada Januari-September 2023. Penjualan tersebut meningkat 4,67% dibandingkan September 2022 yang sebesar Rp83,39 triliun.
“Sementara UNVR lagi terkoreksi, dua-duanya. Dia lagi mengalami koreksi baik dari top line maupun bottom line,” ujarnya.
Hal ini disebabkan oleh total laba bersih UNVR yang mengalami penurunan hingga 9,2% (yoy) pada periode Januari-September 2022, menjadi Rp4,2 triliun. “Kalau untuk GRPM dan MAPB yang basic kinerja bottom line-nya bagus, mengalami pertumbuhan yang progresif,” tambah Nafan.
Dengan memperhatikan kinerja perusahaan-perusahaan tersebut, dia merekomendasikan hold untuk saham UNVR, dengan target harga Rp4.270 per lembar. Sementara dalam jangka panjang, target harga HMSP dapat mencapai Rp1.205 per lembar, sehingga Nafan pun merekomendasikan buy on weak.
“Sedangkan GRPM dan MAPB not rated karena kurang likuid,” tandasnya.
Sampai berita ini dibuat, harga saham HMSP, UNVR, GRPM, dan AMPB masih sangat fluktuatif. Dengan harga saham HMSP berada di level Rp950 pada penutupan perdagangan Kamis (2/11) sore, naik dari hari sebelumnya yang seharga Rp895 per lembar. Peningkatan ini pun telah terjadi sejak dua minggu terakhir, bahkan saat seruan boikot produk Israel mulai ramai.
Pada hari yang sama, saham UNVR pun ditutup menguat, pada level Rp3.590, dari di hari sebelumnya yang senilai Rp3.580. Meski begitu, harga saham pada penutupan perdagangan kemarin masih relatif rendah dibandingkan harga-harga di periode dua pekan terakhir.
Hal ini pun dialami juga oleh harga saham GRMP, yang meskipun menguat di penutupan perdagangan Kamis (2/11) (Rp1.860 dari Rp1.800), namun kinerjanya relatif menurun dalam dua minggu ini. Sementara untuk GRPM, kinerjanya relatif terus menurun dan menutup perdagangan sore kemarin dengan harga Rp54 per lembar.