Golden visa, pengungkit investasi atau menambah risiko kejahatan?
Pemerintah tak ada habisnya berupaya memikat investor agar menanamkan modalnya di Indonesia.
Setelah menyatakan akan membentuk Family Office guna menarik investasi sebesar-besarnya dari super rich family, mengobral hak guna usaha (HGU) lahan di Ibu Kota Nusantara (IKN) hingga mampu mencapai 190 tahun dalam dua siklus, kini meluncurkan fasilitas golden visa.
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) mengatakan, program golden visa membuat para investor asing mendapat hak atas tanah di Indonesia. Maka, baik Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, Hak Guna Usaha dan hak atas tanah lainnya bisa menjadi kepemilikan, seperti yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah.
Para pemegang visa ini diberikan kebebasan untuk tinggal selama 5-10 tahun. AHY juga memastikan semua lahan yang dibutuhkan investor pemegang golden visa untuk usaha clean and clear, dengan jaminan ada pengawasan.
Pisau bermata dua
Peneliti Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia Eliza Mardian menilai, kebijakan ini bisa menjadi pisau bermata dua. Ibarat membuka pintu lebar-lebar bagi orang asing, tapi ada risiko keamanan dan kedaulatan yang perlu diwaspadai oleh pemerintah.
Pasalnya, pemberian golden visa ini tanpa pengawasan yang ketat, sehingga dapat menjadi jalur mudah bagi dana-dana gelap untuk masuk dan dicuci di dalam negeri. Lebih jauh lagi, kebijakan ini dikhawatirkan bisa menciptakan negara dalam negara, di mana komunitas warga asing hidup dalam gelembung kemewahan mereka sendiri, terpisah dari realitas masyarakat lokal.
“Ini kan bisa memicu konflik sosial di masyarakat,” katanya kepada Alinea.id, Selasa (30/7).
Menurutnya, kebijakan ini berpotensi menciptakan dilema etis, karena pemerintah memberikan kemudahan bagi warga negara asing (WNA) untuk masuk ke wilayahnya hanya demi keuntungan ekonomi. Padahal masih ada prinsip keadilan dan kesetaraan, yakni ketika orang-orang kaya bisa dengan mudah mendapatkan hak istimewa sementara warga lokal harus melalui proses birokrasi yang panjang dan rumit.
Nasib masyarakat lokal
Program ini disebut menuntut warga untuk berpikir jauh ke depan dan hati-hati. Sebab, impak pemberian golden visa tak sekadar soal angka-angka di neraca perdagangan atau grafik pertumbuhan ekonomi, namun juga berkaitan dengan pilihan tentang masa depan untuk generasi mendatang. Kemudahan golden visa diramal meningkatkan persaingan tenaga kerja di dalam negeri. Di sisi lain, penyerapan lapangan kerja masih kurang optimal.
Dampak lain, mampu menyebabkan gentrifikasi karena pemilik golden visa berpeluang memiliki hak atas tanah. Fasilitas itu merupakan iming-iming pemerintah untuk memberikan kepastian kepada investor agar mau berinvestasi.
Eliza bilang, gentrifikasi dapat menjadi fenomena di kota yang memberikan efek negatif kepada masyarakat. Orang asing nantinya menguasai kepemilikan properti karena harga di Indonesia jauh lebih murah dari negara asalnya. Alhasil, penduduk asli tergusur ke daerah pinggiran urban yang menawarkan harga jauh lebih murah.
“Sudah ada beberapa kejadian, terutama di Bali. Warga lokal tergusur dengan adanya fenomena maraknya WNA yang mengakses lahan untuk bisnis,” ujarnya.
Dia mengingatkan, Parlemen Uni Eropa (MEP) telah menyerukan penghentian kebijakan golden visa lantaran tidak dapat diterima secara etis, legal dan ekonomis. Belum lagi, menimbulkan beberapa risiko keamanan yang serius dan rentan terhadap tindak kejahatan pencucian uang, korupsi, dan penggelapan pajak.
Maka dari itu, untuk mencegah ekses negatif ini, pemerintah perlu menelusuri rekam jejak dari para investor. Misalnya, mewajibkan investor memiliki sejumlah nilai investasi minimum, yang ditentukan besarannya dan kepada perusahaan mana uang itu dialokasikan. Kemudian, investor harus punya minimal aset sekitar US$1 juta, untuk membuktikan mereka kredibel, bukan mencari negara agar biaya hidup lebih murah.
"Pembuktiannya dengan kepemilikan rekening," ujarnya,
Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda mengingatkan, adanya golden visa bukan menjadi pengungkit masuknya investasi secara signifikan. Menurutnya masih ada faktor-faktor lainnya yang bisa menjadi faktor pendorong investasi. Yakni, infrastruktur, sumber daya manusia (SDM), hingga kesiapan teknologi.
Dia menyebut, investor asing tak akan mempertimbangkan keberadaan golden visa sebelum memutuskan untuk investasi di Indonesia.
“Mungkin mereka yang sudah investasi di Indonesia akan menggunakan golden visa, namun tidak demikian bagi mereka yang belum investasi,” ucapnya kepada Alinea.id, Selasa (30/7).
Demikian juga dengan sektor pariwisata. Menurutnya, wisatawan akan memilih menggunakan visa biasa saat melakukan kunjungan pariwisata ke Indonesia. Sebab, syarat untuk mendapatkan golden visa juga tidak sederhana.
"Bagi mereka lebih murah apply visa biasa yang bisa diperpanjang juga. Jadi saya rasa tidak signifikan untuk pariwisata,” tuturnya.
Di samping itu, dia khawatir, pemberian fasilitas kepemilikan properti bagi penerima golden visa dapat menggusur warga negara Indonesia (WNI). Apalagi, pemegang golden visa menggenggam uang yang begitu besar sehingga sanggup membeli properti di Indonesia.
"Mereka akan semakin jemawa membeli properti di tanah air, terutama di Bali yang sudah lama jadi incaran WNA. Maka dari itu, penerapan golden visa harus memenuhi kaidah hak-hak yang bisa diberikan negara kepada pemegang golden visa," katanya.