Seorang peternak berinisial J (50) membakar kandang ayamnya di Nglarangan, Kecamatan Kandat, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, pada Minggu (20/2), sekitar pukul 09.00 WIB. Aksi tersebut terekam dalam sebuah video berdurasi 35 detik dan tersebar luas.
Hal itu dibenarkan pengurus Paguyuban Peternak Rakyat Indonesia (PPRN) Kabupaten Blitar, Yesi Yuni. Dia menceritakan, populasi ayam yang dimiliki J sudah tidak mencapai 50%, padahal sudah sekitar 15 tahun menjadi peternak.
"Ini sampai jual tanah [demi memenuhi kebutuhan sehari-hari]. Apa yang bisa dijual [akan dijual] untuk sekadar bertahan. Pada hakikatnya, di desa-desa itu mereka beternak karena keterampilannya, ya, beternak," ungkapnya kepada Alinea.id, baru-baru ini.
Yesi mengungkapkan, harga telur ayam anjlok dalam delapan bulan terakhir. Harga telur anjlok hingga di kisaran Rp12.000-Rp13.000 per kg, padahal idealnya di atas Rp24.000.
"Dia lepas beberapa aset. Kalau tutup kandang semua, mau ngapain keterampilan di situ? Menjadi wajar kalau ada 'nekat' [membakar kandang ayam]," tuturnya.
Menurutnya, kondisi peternak beda-beda atas tekanan yang terjadi. Ada yang masih sanggup bertahan, ada pula yang mulai goyang. Bagi yang tidak kuat, maka akan mencoba meluapkan emosi, salah satunya dengan membakar kandang.
"Diplomasi juga ditempuh. Ini bulan kedelapan, makanya pertahanan ada yang sudah lemah. Makanya, luapannya begitu. Diluapkan keluar, [ada] konsekuensi hukum. Ya, sudah, bakar punya sendiri," bebernya.
Anjloknya harga telur bukan baru kali ini terjadi. Namun, terang Yesi, sekarang adalah kejadian yang paling lama. Sebelumnya, anjloknya harga telur hanya berlangsung sekitar 1-1,5 bulan.
"Nah, ini sudah delapan bulan. Berbagai cara sudah dilakukan, tapi belum ada reaksi positif dari pasar. Sekarang jadi complicated," ucapnya.
Lebih lanjut, Yesi mengatakan, PPRN sudah mencoba menekan pemangku kebijakan dan kepentingan. Berbagai usulan pun telah disampaikan.
Anjloknya harga telur dalam beberapa bulan terakhir sebut akibat pasokan berlebih alias over-supply, bukan permintaan yang rendah (low demand).
"Kalau low demand, akan ada fenomena telur busuk dan dibuang, faktanya enggak ada [low demand]. Low demand karena Covid-19 enggak ada, masih bisa diserap," tuturnya.
Sebelum ada kejadian pembakaran kandang ini, kata Yesi, sempat ada pemasangan spanduk di satu desa. Namun, diminta diturunkan. Penurunan bukan inisiatif peternak.
"Buktinya pada waktu diturunkan satu, 1.000 [spanduk] yang muncul. Kalau kehendak peternak, enggak mungkin ada 1.000 banner yang lain," tutupnya.