close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Membangun kemandirian pada sektor pangan menjadi salah satu program Pemerintah dalam mengimplementasikan Nawa Cita./AntaraFoto
icon caption
Membangun kemandirian pada sektor pangan menjadi salah satu program Pemerintah dalam mengimplementasikan Nawa Cita./AntaraFoto
Bisnis
Jumat, 11 Mei 2018 17:59

Nawa Cita sektor ekonomi, banyak PR yang harus diselesaikan

Dari program Nawa Cita yang telah ditetapkan, setidaknya ada tiga yang masuk dalam sektor ekonomi.
swipe

Jauh hari sebelum terpilih sebagai Presiden-Wakil Presiden, Joko Widodo-Jusuf Kalla telah merancang sembilan agenda prioritas. Sembilan program itu disebut Nawa Cita. Nawa Cita disebut-sebut melanjutkan perjuangan dan cita-cita Soekarno, yang dikenal dengan istilah Trisakti, yakni berdaulat secara politik, mandiri dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan.

Dari program Nawa Cita tersebut, setidaknya ada tiga yang masuk dalam sektor ekonomi. Yakni program membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan.

Dua lainnya adalah, meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional, sehingga bangsa Indonesia bisa maju dan bangkit bersama bangsa-bangsa Asia lainnya. Serta mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik.

Lantas seperti apa perkembangan dari program Nawa Cita tersebut hingga kuartal I-2018 ? Berikut ulasannya.

1. Program membangun Indonesia dari pinggiran, dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan.

Mungkin kita sudah banyak mendengar berbagai kebijakan pemerintah untuk memperkuat daerah dan desa. Salah satunya yang dilakukan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). KKP memprioritaskan pembangunan pulau-pulau terluar dan kawasan perbatasan sebagai Sentra Kelautan dan Perikanan Terpadu (SKPT).

SKPT dimaksudkan untuk mengakselerasikan kesejahteraan rakyat melalui pembangunan pulau mandiri dan terpadu. Dari sisi kelautan dan perikanan, indikator kinerja yang menjadi acuan antara lain, meningkatnya pendapatan rakyat, produksi perikanan, nilai investasi, nilai kredit yang disalurkan, ragam produk olahan, utilitas Unit Pengolahan Ikan (UPI), dan nilai ekspor.

Selain itu, mulai 2015 pemerintah secara bertahap menjalankan amanat yang tertera pada undang-undang tentang desa. Di dalamnya ada kewajiban pemerintah memberikan Dana Desa. Keberadaannya diharapkan bisa meningkatkan kualitas desa dan orang-orang yang tinggal di dalamnya.

Tentunya banyak lagi tindakan nyata yang diandalkan pemerintahan saat ini untuk merealisasikan membangun Indonesia dari pinggiran. Misalkan saja pembangunan Tol Laut yang diharapkan mempermudah proses perpindahan barang dari pinggiran ke pusat.

"Setidaknya ada tiga parameter yang bisa dijadikan acuan dari program ini. Yaitu, pertumbuhan ekonomi Pulau Jawa dengan di luar Pulau Jawa, desa dan kota," ucap Direktur Eksekutif Indef Enny Sri Hartati saat dihubungi alinea.id.

Lantas seperti apa perkembangannya? Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), struktur perekonomian Indonesia pada triwulan I-2015 didominasi Pulau Jawa. Dimana Pulau Jawa memberikan kontribusi sebesar 58,30% terhadap pembentukan PDB nasional. Sementara pada kuartal I-2018, kontribusi Pulau Jawa terhadap pembentukan PDB nasional malah meningkat menjadi, 58,67%.

Dari sisi ini, nampaknya program yang dilakukan pemerintah belum berjalan maksimal. Terlihat dari semakin besarnya porsi Pulau Jawa terhadap pembentukan PDB nasional. Nampaknya berbagai program yang dilakukan pemerintah di luar Pulau Jawa belum memberikan sumbangan berarti terhadap pembentukan PDB nasional. 

BPS pun mencatat, jumlah penduduk miskin per Maret 2015 di pedesaan sebesar 17,94 juta atau 14,21%. Penduduk miskin per Maret 2015 di perkotaan sebesar 10,65 juta atau 8,29%. Sementara pada September 2017, jumlah penduduk miskin di pedesaan menjadi 16,31 juta atau 13,47%. Sedangkan jumlah penduduk kota miskin per September 2017 mencapai 10,27 juta atau 7,26%.

Jika dilihat dari tersebut, terjadi penurunan penduduk miskin di desa dari  Maret 2015 ke September 2017 sebesar 9,08%. Sedangkan penduduk miskin di kota dalam periode Maret 2015 hingga September 2017 mengalami penurunan sebesar 3,70%. Mengartikan, program pemerintah cukup berhasil menurunkan jumlah penduduk miskin di desa.

Sementara data BPS menyebutkan, perkembangan Gini Rasio di pedesaan dari Maret 2015 ke September 2017 menunjukkan perbaikan. Pada Maret 2015, Gini Rasio di pedesaan mencapai 0,334 poin, sedangkan September 2017 membaik menjadi 0,320 poin. Begitu pula dengan Gini Rasio di perkotaan pada Maret 2015, tercatat 0,428 poin. Di September 2017 menjadi 0,404 poin.

Kendati Gini Rasio di pedesaan dan perkotaan mengalami perbaikan. Tetapi kalau diperhatikan, perkembangan Gini Rasio di perkotaan relatif lebih baik dari pedesaan. Dimana, Gini Rasio di perkotaan pada periode Maret 2015-September 2017 mengalami penurunan sebesar 0,024 poin. Sedangkan di pedesaan turun sebesar 0,014 poin.

Memang harus diakui telah terjadi penurunan Gini Ratio di pedesaan.  Tetapi tren nya relatif lebih rendah bila dibandingkan dengan perkotaan. Padahal disisi lain, penurunan jumlah penduduk miskin di pedesaan relatif lebih baik dari perkotaan.

Tentunya hal itu bisa menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah. Pasalnya, Gini Ratio memperlihatkan ketimpangan pendapatan di masyarakat. Dana Desa yang setiap tahunnya disalurkan pemerintah kepada pemerintah desa seharusnya bisa lebih maksimal untuk mengurangi angka kemiskinan dan mengurangi ketimpangan pendapatan antara mereka yang berpendapatan rendah dengan tinggi.

2. Meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional

Sebagai upaya merealisasikan program ini, pemerintahan Jokowi cenderung fokus pada pembangunan sejumlah Proyek Strategis Nasional (PSN), yang sebagian besar dalam bentuk proyek infrastruktur.

Secara umum, PSN mencakup 15 sektor infrastruktur, dua program ketenagalistrikan, dan program industri pesawat terbang. Melalui RPJMN 2015-2019, pemerintah telah menargetkan pembangunan 2.650 km jalan, pembangunan 3.258 km jalur kereta api, pengembangan 24 pelabuhan, pembangunan 15 bandara baru serta ketahanan energi melalui penyediaan 35.000 MW listrik, pembangunan kilang minyak baru, serta penyediaan layanan  broadband  di seluruh penjuru Indonesia.

Pemerintah berharap pembangunan proyek tersebut bisa meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing internasional. 

Pembangunan infrastruktur yang masih diharapkan bisa meningkatkan daya saing perekonomian nasional. Dari sisi makroekonomi, daya saing dilihat dari beberapa aspek, seperti pertumbuhan ekonomi, stabilitas harga, tenaga kerja dan pencapaian keseimbangan neraca antara ekspor dan impor.

Sejak kepemimpinan Jokowi, pertumbuhan ekonomi cenderung fluktuatif. Misalkan saja pada triwulan I-2015, pertumbuhan ekonomi sebesar 4,1%. Triwulan II-2016 sebesar tumbuh 5,19%, Triwulan I-2017 kembali turun menjadi 5,01%. Sedangkan di Triwulan I-2018 kembali naik menjadi 5,06%. Tetapi belum sekalipun menyentuh 7%, seperti yang dijanjikan Presiden Jokowi.

Menariknya, neraca perdagangan Indonesia sejak 2015 mengalami surplus. Pada 2015, surplus senilai US$ 7,6 miliar. Pada 2016 mencatatkan surplus US$ 8,8 miliar dollar AS. Sedangkan neraca perdagangan Indonesia sepanjang Januari-Desember 2017 tercatat surplus US$ 11,84 miliar. 

Tetapi nampaknya, hal itu belum banyak diikuti tingkat produktivitas. Berdasarkan data BPS, struktur PDB Indonesia menurut pengeluaran atas dasar harga berlaku pada triwulan I-2015 maupun triwulan I-2018 belum menunjukkan perubahan. Aktivitas permintaan akhir masih didominasi oleh Komponen Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga (PK-RT) yang mencakup lebih dari separuh PDB Indonesia. Komponen lainnya yang memiliki peranan besar terhadap PDB adalah Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB). 

Pada triwulan I-2015, kontribusi PK-RT terhadap PDB sebesar 2,75%, sedangkan PMTB 1,40%. Sementara pada triwulan I-2018, kontribusi PK-RT  2,72% dan PMTB naik signifikan menjadi  2,54%. Mengartikan, kendati mulai berkurang, konsumsi masyarakat masih mendominasi pembentukan pertumbuhan ekonomi.

Namun sayangnya, pertumbuhan ekonomi Indonesia triwulan I-2018 diwarnai faktor musiman pada lapangan usaha pertanian, kehutanan, dan perikanan yang tumbuh ekspansif sebesar 16,36%. Sedangkan lapangan usaha yang banyak menciptakan lapangan pekerjaan seperti sektor kontruksi, pertambangan dan penggalian, pengadaan listrik dan gas dan pengadaan air, pengelolaan sampah, limbah dan daur ulang, mengalami kontraksi.

Disisi lain, peningkatan produktivitas juga bisa tercermin dari orientasi penggunaan kredit perbankan. Pada 2015, kredit untuk modal kerja sebesar Rp1.916 triliun, investasi sebesar Rp1.035 triliun sedangkan konsumsi sebesar Rp1.105 triliun. Sedangkan pada Februari 2018, kredit untuk modal kerja menjadi Rp2.137 triliun, kredit untuk investasi sebesar Rp1.178 triliun dan konsumsi sebesar Rp1.345 triliun. Dengan begitu, pertumbuhan kredit modal kerja, investasi dan konsumsi pada periode 2015- Februari 2018, secara berturut-turut sebesar 11,53%, 13,81%, 32,51%. 

Tingginya persentase pertumbuhan kredit konsumsi seharusnya menjadi perhatian pemerintah. Kredit konsumsi kerap dikatakan tidak banyak menimbulkan multiplier effect yang besar. Bila dibandingkan dengan kredit untuk investasi ataupun modal kerja. Sekaligus mengartikan kebijakan yang diambil pemerintah belum sesuai dengan target meningkatkan produktivitas.

3. Mewujudkan kemandirian ekonomi, dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik.

Bank Indonesia (BI) mencatat utang luar negeri Indonesia mencapai US$ 352,2 miliar atau sekitar Rp 4.773 triliun per akhir Desember 2017. Jumlah tersebut naik 10,1% dibandingkan posisi sama tahun sebelumnya. Kontribusi terbesar yaitu dari utang luar negeri pemerintah.

Pertumbuhan utang luar negeri pemerintah tercatat terus meningkat dalam empat tahun belakangan. Pertumbuhannya mencapai 5% pada 2014, lalu naik menjadi 9,9% pada 2015, naik lagi menjadi 10,9% di 2016, dan terakhir naik 14,1% pada 2017 menjadi US$ 180,6 miliar.

Di sisi lain, pertumbuhan utang luar negeri swasta naik turun selama empat tahun belakangan. Sempat tumbuh 14,75% pada 2014, lalu melambat menjadi hanya tumbuh 2,8% pada 2015, lalu turun 3,8% pada 2016, dan terakhir naik 6,1% pada 2017 menjadi US$ 171,6 miliar. 

Tambahan utang mestinya, mampu untuk meningkatkan produktivitas dan akselerasi dari pertumbuhan ekonomi. Termasuk meningkatkan kualitas pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kemandirian ekonomi Indonesia.

Nyatanya, berdasarkan riset yang dilakukan Indef, out-standing utang Indonesia terus bertambah, namun produktivitas, daya saing perekonomian justru menurun, sebaliknya ketergantungan ekonomi Indonesia terhadap asing justru meningkat.

Hal ini menggambarkan lemahnya kemandirian ekonomi nasional. Indonesia mengimpor berbagai jenis produk, baik untuk kebutuhan produksi maupun konsumsi. Sebagian industri memasok bahan baku maupun penolong dari impor. Padahal, bahan-bahan tersebut sebagian besar berasal dari komoditas ekspor Indonesia, yang telah diolah di negara lain.

Dalam berbagai situasi, pemerintah pun seringkali menempuh strategi impor untuk memenuhi kebutuhan mendasar seperti beras, bawang, bahkan garam. Kondisi yang demikian menggambarkan buruknya tata kelola ekonomi domestik dan pada gilirannya berdampak pada kebijakan jangka pendek. Berbagai keperluan untuk menunjang pembangunan infrastruktur dan pengadaan barang pemerintah juga lebih kental aroma impor ketimbang memprioritaskan industri dalam negeri.

Dalam mewujudkan kedaulatan pangan, Presiden Jokowi memilih langsung ke jantung persoalan. Yakni menargetkan swasembada pangan pada empat komoditas utama, yakni, beras, gula, jagung, dan kedelai dalam 3-4 tahun, sejak 2015. Itu artinya, tahun ini atau tahun depan, swasembada terhadap empat komoditas tersebut sudah bisa direalisasikan.

“Saya sudah beri target Menteri Pertanian tiga tahun, tidak boleh lebih. Hati-hati, tiga tahun belum swasembada, saya ganti menterinya,” kata Presiden Jokowi saat memberi kuliah umum di Kampus Universitas Gadjah Mada Yogyakarta (9/12/2014) seperti dilansir dari presidenri.go.id.

Tetapi berdasarkan data Kementan, pada 2017 luas panen kedelai tercatat hanya 446 ribu ha, menyusut dari 2016 yang mencapai 576 ribu ha dan 2015 sebesar 614 ribu ha. Dengan luas lahan yang minim itu, produksi yang dihasilkan pun tidak dapat terangkat. Pada 2017, produksi kedelai diproyeksikan 675 ribu ton. Lebih kecil dari 2016 yang mencapai 859 ribu ton dan 2015 sebesar 963 ribu ton. Pemerintah pun harus membuka keran impor setiap tahun untuk memenuhi kebutuhan kedelai dalam negeri yang rata-rata 2,5 juta ton per tahun.

Sementara pada 2017 lalu pemerintah mengklaim telah berhasil melakukan swasembada jagung. Tetapi nyatanya pada awal Februari,  Kementerian Perdagangan (Kemendag) menyetujui impor jagung industri sebanyak 171.660 ton. Kemendag beralasan jagung yang dimpor tidak banyak ditanam petani padahal kebutuhan industri cukup besar.

Sama seperti halnya jagung, pemerintah juga mengklaim berhasil melakukan swasembada beras. Tetapi kenyataannya, pada awal 2018, pemerintah mengambil langkah mengimpor beras 500.000 ton dari Vietnam dan Thailand. Lagi-lagi Kemendag mengklaim beras yang diimpor tidak diproduksi petani lokal.

Mungkin ada baiknya pemerintah memperkuat koordinasi antara satu kementerian dengan lainnya. Agar semua program yang telah ditargetkan bisa benar-benar direalisasikan. Mengingat masyarakat semakin pintar. Tidak sinergisnya kebijakan pada sejumlah instansi pemerintahan, berpotensi mengurangi kepercayaan terhadap pemerintah. 

img
Hermansah
Reporter
img
Hermansah
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Berita Terkait

Bagikan :
×
cari
bagikan