Nawacita ekonomi biru, antara cita-cita dan realita
Pada Juni 2012 silam, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memunculkan ide blue economy dan menjelaskannya dalam forum internasional UN Conference on Sustainable Development. Ia memaparkan ekonomi biru sebagai konsep pembangunan yang mempromosikan sumber daya alam sebagai modal pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan masyarakat, dan keberlangsungan lingkungan hidup.
Cita-cita ini pun akhirnya diteruskan Presiden Joko Widodo melalui komitmen ekonomi biru dalam Nawacita, sembilan agenda prioritas Indonesia yang dilaksanakan selama lima tahun kepemimpinannya.
"Ekosistem investasi dan kolaborasi di dunia usaha ini juga dimaksudkan untuk memperkuat perkembangan ekonomi berbasis teknologi, khususnya ke arah ekonomi hijau (green economy) dan ekonomi biru (blue economy) yang berkelanjutan," kata mantan Gubernur DKI Jakarta itu pada saat membacakan pidato kenegaraan, Senin (16/8) lalu.
Secara rinci, penerapan ekonomi biru tercantum pada visi pertama Nawacita yang menyatakan bahwa Indonesia akan meningkatkan keamanan dan kepentingan maritim, khususnya dalam bidang batas negara, kedaulatan maritim, dan pemanfaatan sumber daya. Lalu, visi ketiga dalam Nawacita yang mencantumkan bahwa pemerintahan Jokowi akan membangun Indonesia dari daerah pinggiran dengan memperkuat pedesaan namun masih dalam kerangka kesatuan.
Indonesia menetapkan dengan tegas ingin mengembangkan industri maritim secara signifikan, agar Indonesia bisa mandiri secara ekonomi. Hal tersebut menjadi strategi Jokowi untuk memprioritaskan pilar ekonomi sebagai diplomasi luar negeri Indonesia dalam mendukung pembangunan dan kemandirian ekonomi nasional.
Sayangnya, niat yang sudah terucap sejak bertahun-tahun lalu itu belum juga terlaksana dengan baik sampai hari ini. Bahkan, menurut Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Rusli Abdullah, pelaksanaan ekonomi biru hanya kuat di lisan pemerintah saja.
"Itu terlihat dari masih banyaknya illegal fishing, kemudian potensi ekonomi kelautan kita yang belum dimaksimalkan dan tidak ada road map (peta jalan) yang jelas dan rinci," ungkapnya kepada Alinea.id, Kamis (9/9).
Alih-alih road map, penerapan ekonomi biru hanya dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan pelaksanaan sustainable blue economy (UU Ciptaker) yang kemudian diturunkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang Laut, dan PP Nomor 27 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Kelautan dan Perikanan.
Kemudian, PP Nomor 41 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas, dan PP Nomor 43 Tahun 2021 tentang Penyelesaian Ketidaksesuaian Tata Ruang, Kawasan Hutan, lzin, dan atau Hak Atas Tanah.
Selain itu ada pula peraturan terkait pembangunan untuk pengelolaan ruang laut yaitu Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2020-2024. Kemudian Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 28 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang Laut di mana negara memberi perlindungan terhadap kepentingan masyarakat lokal, masyarakat tradisional, dan masyarakat pesisir, sekaligus memberi kepastian hukum, kepastian ruang, serta kepastian berinvestasi bagi pengguna ruang laut.
"Aturannya masih terpisah-pisah, itu lah kenapa kemudian penerapan blue economy ini belum bisa berjalan dengan maksimal," ujar Rusli.
Padahal, jika sebelas sektor ekonomi biru dapat diterapkan secara maksimal, ekonomi maritim dapat berkontribusi lebih banyak terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) nasional.
Sektor ekonomi | Nilai ekonomi |
Perikanan tangkap | US$30 miliar/tahun |
Perikanan budidaya | US$210 miliar/tahun |
Industri pengolahan hasil perikanan | US$100 miliar/tahun |
Industri bioteknologi kelautan | US$180 miliar/tahun |
ESDM | US$210 miliar/tahun |
Pariwisata bahari | US$80 miliar/tahun |
Transportasi laut | US$30 miliar/tahun |
Industri jasa dan maritim | US$200 miliar/tahun |
Coastal forestry | US$8 miliar/tahun |
Sumber daya wilayah pulau kecil | US$120 miliar/tahun |
Sumber daya non-konvensional | US$200 miliar/tahun |
Total | US$1.338 miliar/tahun |
Kemudian ada pula pariwisata bahari, transportasi laut, industri dan jasa maritim, coastal forestry atau hutan pantai, sumber daya wilayah dari berbagai pulau kecil, serta sumber daya non-konvensional.
"Pemanfaatan ekonomi biru enggak cuma masalah penangkapan ikan saja. Tapi juga terkait semua yang ada di dalam laut, kayak angin. Kalau bisa dimanfaatkan dengan baik, bisa besar sekali potensinya," sebutnya.
Jaga ekosistem laut
Hal ini diamini pula oleh peneliti dari Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor (FKIP-IPB) Yonvitner. Menurutnya, pengembangan ekonomi biru dalam sektor kelautan dan perikanan pada dasarnya sudah sejalan dengan tiga prinsip ekonomi berkelanjutan, yakni ecosystem healthy, social regularly dan community wealthy.
Hanya saja, nawacita ekonomi biru harus disertai upaya peningkatan kualitas ekosistem melalui perbaikan ekosistem laut dangkal dan pesisir. Dengan mengatur eksploitasi sumber daya laut dan memanfaatkannya dengan tidak berlebihan, maka akan didapatkan pula eksploitasi pada level daya dukung dan produksi tidak berlebih pula.
"Salah satu caranya adalah dengan meminimalkan illegal fishing dan over fishing (penangkapan ikan secara berlebih-red)," kata Yonvitner saat dihubungi Alinea.id, Kamis (16/9).
Di sisi lain, untuk memaksimalkan potensi ekonomi biru, Pengamat Perikanan dan Kelautan itu berpendapat bahwa sebelumnya pemerintah harus terlebih dulu menghitung dengan cermat seberapa besar potensi maritim nasional jika bisa dimanfaatkan dengan baik. Ukuran potensi merupakan titik optimum dari masing-masing sektor blue economy itu sendiri.
Misalnya, pada perikanan tangkap titik optimalnya adalah MSY (maximum sustainable yield). Pada budidaya perikanan yakni berasal dari titik zero dishcharge-nya dan pada konservasi perikanan ada pada titik daya dukung optimum.
"Titik tersebut yang perlu dibangun dan dihitung. Sepertinya baseline belum ada secara nasional," imbuhnya.
Sementara itu, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), nilai produk domestik bruto (PDB) Perikanan pada kuartal-II 2021 sebesar Rp188 triliun atau 2,83% terhadap nilai PDB Nasional. Nilai PDB ini naik dibandingkan dengan kuartal-I yang sebesar Rp109,9 triliun atau 2,77% terhadap nilai PDB Nasional.
Selain itu, investasi sektor kelautan dan perikanan juga terbilang potensial. Masih dari data BPS, peningkatan ekspor komoditas kelautan dan perikanan tercatat mencapai 4,15% selama Januari - April 2021. Bahkan, pada April 2021, nilai ekspor produk kelautan dan perikanan senilai US$488,61 juta. Angka tersebut meningkat 11,6% dibanding April 2020. Adapun total nilai ekspor selama kuartal-I 2021 sebesar US$1,75 miliar.
Secara keseluruhan sektor kelautan telah memberikan kontribusi hingga 9,69% terhadap PDB nasional pada kuartal lalu. Namun, menurut Guru Besar Kelautan dan Perikanan IPB University Rokhmin Dahuri MS angka itu masih kalah jauh dibandingkan negara-negara lain dengan potensi kelautan yang lebih minim. Sebut saja Thailand, Korea Selatan, Jepang, Maldives, Norwegia, dan Islandia.
"Mereka itu mampu berkontribusi terhadap PDB masing-masing negara sedikitnya 30%," tuturnya, kepada Alinea.id belum lama ini.
Untuk mendorong pemanfaatan ekonomi biru, Ketua Dewan Pakar Asosiasi Pemerintah Daerah Kepulauan dan Pesisir Seluruh Indonesia (Aspeksindo) ini pun lantas menawarkan peta jalan pembangunan Ekonomi Biru yang telah disusunnya bersama akademisi IPB lainnya. Dalam peta jalan rancangannya itu, ada beberapa Elemen dan Proses Transformasi Struktur Ekonomi yang harus dilakukan.
Pertama, dari dominasi eksploitasi SDA dan ekspor komoditas (sektor primer) dan buruh murah ke dominasi sektor manufaktur (sektor sekunder) dan sektor jasa (sektor tersier) yang produktif, berdaya saing, inklusif, mensejahterakan, dan berkelanjutan (sustainable).
Kedua, modernisasi sektor primer (kelautan dan perikanan, pertanian, kehutanan, dan ESDM) secara ramah lingkungan dan berkelanjutan. "Ketiga, PDB yang selama ini secara dominan disumbangkan oleh konsumsi (56%) dan impor (20%) harus dibalik, yakni invetasi dan ekspor harus menjadi kontributor yang lebih besar, kalau bisa lebih dari 70%," tegas Rokhmin.
Selanjutnya, semua unit usaha harus merapkan economy of scale (skala ekonomi), Integrated Supply Chain Management System, baik pada tingkat nasional maupun global, inovasi teknologi mutakhir (Industry 4.0) dan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development).
Pengamat Kelautan dan Perikanan Yonvitner menambahkan, selain peta jalan, pemerintah juga perlu menambah anggaran pelaksanaan blue economy. Di saat yang sama, pemerintah pun harus membangun komunikasi dan bersinergi dengan berbagai pihak, baik pelalu usaha, akademisi, hingga masyarakat luas. Ditambah lagi, pemerintah juga harus memperkuat basis data dan informasi rinci terkait sektor kelautan dan perikanan nasional.
"Ini harus betul-betul diimplementasikan. Jangan sampai sama seperti program poros maritim tempo hari yang hanya kuat di jargon saja," tegas dia.
Sementara itu, Menteri Kelautan dan Perikanan (KP) Sakti Wahyu Trenggono mengungkapkan penting bagi Indonesia untuk menciptakan laut yang sehat, aman, tangguh, dan produktif bagi kesejahteraan bangsa. Dia bilang, hal itu hanya bisa tercapai dengan menerapkan strategi pembangunan Ekonomi Biru yang menitikberatkan pada pertimbangan ekologi dan ekonomi pada aktivitas yang menetap di ruang laut.
"Untuk itu, diperlukan regulasi pemerintah yang akan menjadi pedoman dalam penyelenggaraan penataan ruang laut dengan menerapkan prinsip ekonomi biru bagi daerah dan pusat," ujar dia saat menjadi keynote speaker dalam webinar 'Implementasi Blue Economy dalam Penyelenggaraan Penataan Ruang Laut' secara daring pada Kamis (2/9).
Selain regulasi, pihaknya juga sudah membuat tiga program prioritas untuk tiga tahun ke depan. Ketiganya akan bermuara pada implementasi ekonomi biru. Tiga program tersebut yaitu peningkatan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sumber daya perikanan tangkap untuk peningkatan kesejahteraan nelayan melalui Kebijakan Penangkapan Terukur di setiap Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI).
Kemudian, pengembangan perikanan budidaya untuk peningkatan ekspor yang didukung riset kelautan dan perikanan, serta pembangunan kampung-kampung perikanan budidaya tawar, payau dan laut berbasis kearifan lokal.
“Seluruh pelaksanaan program prioritas yang memanfaatkan ruang laut tersebut memperhatikan aspek keberlanjutan ekologi dan menyesuaikan dengan rencana tata ruang laut yang ada," tegas Trenggono.
Sementara itu, dalam kesempatan terpisah, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa mengungkapkan, masih banyak tantangan yang harus dihadapi untuk bisa mengoptimalkan potensi laut Indonesia. Salah satu yang paling berat adalah terkait pencemaran lingkungan.
Menurutnya, laut Indonesia kini rentan pencemaran limbah industri dan rumah tangga, tumpahan minyak serta limbah plastik. Bahkan, Indonesia dinilai salah satu penyumbang limbah plastik terbesar di dunia setelah Tiongkok. Dus, pemerintah mendorong kesadaran masyarakat merawat samudera Indonesia yang luar biasa luasnya. Di saat yang sama, berbagai gerakan peduli lingkungan di kalangan masyarakat juga harus ditumbuhkan.
“Kesadaran masyarakat untuk tidak menghasilkan limbah berlebih perlu terus kita dorong. Biar tidak semakin merusak laut, jadi kita bisa menjaga ekosistem laut kita," kata dia, Agustus lalu.