Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menargetkan merilis aturan urun dana pembelian saham atau equity crowdfunding paling lambat Januari 2019. Saat ini, draf beleid berupa Peraturan OJK (POJK) itu berada di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham).
Kepala Bagian Pengaturan Emiten Perusahaan Publik dan Pasar Modal Syariah OJK Darmawan mengatakan, model equity crowdfunding mirip dengan penawaran umum saham perdana (Initial Public Offering/IPO). Bedanya, perusahaan yang melakukan equity crowdfunding tidak tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI).
"Polanya mereka mengumpulkan uang masyarakat dan menjadikan modal. Equity crowdfunding mirip saham. PT nya harus ada dulu, mirip penawaran umum yang sesuai peraturan. Ini alternatif bagi startup (perusahaan rintisan) yang sudah masuk ke inkubator tapi butuh pendanaan dalam jumlah yang kecil," ungkap Darmawan di Gedung BEI, Jumat (14/12).
Dengan demikian, perusahaan beraset kecil bisa mencari pendanaan tanpa harus melakukan IPO. investor yang menanamkan modal akan memiliki sejumlah saham sesuai dengan dana yang diinvestasi pada perusahaan tersebut. "Equity crowdfunding cukup prospektif, pendanaan berbasis saham ini cukup marak," kata Darmawan.
OJK akan menentukan beberapa syarat untuk calon pemodal yang tertarik dengan equity crowdfunding. Salah satunya, investor harus memiliki kemampuan analisis risiko terhadap saham.
Selain itu, pemodal dengan penghasilan sampai dengan Rp500 juta per bulan hanya boleh berinvestasi 5% dari jumlah penghasilannya, sedangkan penghasilan yang lebih dari Rp500 juta per bulan dalam menggelontorkan dana pribadinya sampai 10 % dari total penghasilan.
Perusahaan tidak akan sendirian dalam memasarkan sahamnya. Nantinya, ada penyelenggara yang ikut memasarkan saham perusahaan. "Penyelenggara bisa mengajukan perizinan ke OJK, harus memiliki keahlian di bidang teknologi dan keahlian untuk melakukan kajian atas penerbit," ungkap Darmawan.
Selain itu, penyelenggara juga harus berbentuk perusahaan terbatas (PT) atau koperasi, memiliki permodalan lebih dari Rp2,5 miliar, wajib menyampaikan laporan tengah tahun sampai tahunan serta insidentil ke OJK, dan perubahan kepemilikan wajib dilaporkan kepada OJK. "Penghimpunan dana (oleh penerbit) batas maksimal Rp10 miliar, tidak ada batas minimal," jelas Darmawan.
Equity crowdfunding juga memiliki risiko. Beberapa risiko yang berpotensi timbul, misalnya saham tidak liquid, tidak mendapatkan dividen, kegagalan operasional penyelenggara, dan kualitas informasi yang disampaikan perusahaan.
Oleh karena itu, penyelenggara sebagai pihak yang memasarkan perlu ikut memeriksa identitas perusahaan secara rinci. "Sudah ada beberapa perusahaan yang berniat melakukan aksi tersebut," pungkasnya.