Ombudsman RI (ORI) menyatakan, terdapat banyak problematika pertambangan timah saat ini. Pemegang izin usaha pertambangan (lUP) yang tidak memenuhi syarat, tetapi menjadi penadah hasil tambang secara ilegal, misalnya.
"Yang mendapat untung dari kasus ini adalah negara lain. Mereka membeli sebanyak-banyaknya timah ilegal untuk hilirisasi dan kembali dijual di Indonesia," ucap Anggota ORI, Hery Susanto, dalam diskusi di Pangkalpinang, Bangka Belitung, pada Sabtu (16/10).
Tata niaga timah juga masih lemah karena belum mendapatkan perhatian serius dari pemerintah. Ini berbeda dengan nikel yang terus didorong pemanfaatannya.
"Ekspor timah ke negara tetangga angkanya telah turun sejak pemerintah melarang ekspor timah di tahun 2020. Tuntutan besaran royalti dari pertambangan timah oleh Pemda Bangka Belitung dinilai belum proposional, produksi timah masih rendah, dan konsumsi domestiknya pun masih kecil," tuturnya.
Hery melanjutkan, Ombudsman telah menyarankan perbaikan kepada Kementerian ESDM agar mempercepat serapan timah untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri melalui penguatan industri.
"Hilirisasi timah harus dipercepat, perizinan daring, dan kemudahan fiskal terkait bea impor dan tax holiday telah pemerintah sediakan. Investasi untuk hilirisasi timah berpotensi mendorong serapan tenaga kerja dan dampak ekonomi lainnya," katanya dalam keterangan tertulis.
Ombudsman merekomendasikan demikian karena industri timah hilir di dalam negeri belum berkembang. Untuk bahan baku solder, jumlahnya masih minim dan harus dipenuhi melalui impor. Begitu pula dengan produk tin plate, kebutuhan domestik berkisar 283.000 ton.
"Industri dalam negeri hanya mampu menyediakan 160.000 ton, sisanya terpaksa dari luar negeri," jelasnya. "Pemerintah harus memperbaiki regulasi tata niaga timah, terutama dalam konsistensi penegakkan hukum; mendorong peningkatan produksi timah yang relevan dengan peningkatan PNBP; pelayanan publik terkait kemudahan perizinan sektor pertambangan timah, khususnya pertambangan rakyat agar tidak terus menerus liar."
Hery berharap Kementerian ESDM, KLHK, Kemendag, dan PT Timah Tbk terus menyosialisasikan dan mengedukasi tentang regulasi pengelolaan pertambangan timah yang sesuai asas pelayanan publik dan tata pemerintahan yang baik. Upaya itu pun melibatkan pihak-pihak berkepentingan (stakeholders) pertambangan timah dengan metode pentaheliks.
"Strategi pentaheliks merupakan kolaborasi elemen pemerintah, pelaku bisnis, akademisi, masyarakat, dan pers dalam mewujudkan perubahan lebih baik," ujarnya.
Plt. Kepala Dinas ESDM Bangka Belitung, Amir Syahbana, menambahkan, semua otoritas pengelolaan pertambangan, termasuk timah, kini menjadi tanggung jawab Kementerian ESDM. Kebijakan tersebut diterapkan pasca-Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 2020 tentang Minerba diterapkan.
Meski demikian, menurutnya, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bangka Belitung dan masyarakat selaku pemilik wilayah atau produsen timah semestinya tidak bisa lepas tangan. Apalagi gubernur merupakan wakil dari pemerintah pusat di daerah.
"Tentunya keinginan kita tata niaga timah tidak menimbulkan kegaduhan di masyarakat dengan harga timah yang telah mencapai rekor tertinggi mencapai US$37.475 per metrik ton. Ini menjadi rekor tertinggi sepanjang sejarah," ungkapnya.
Tingginya harga timah tersebut tentu berdampak langsung kepada masyarakat. Namun, pemprov belum merasakan dana bagi hasil sumber daya alam (SDA), khususnya minerba.
"Dengan harga timah naik, tentunya mendorong pertumbuhan ekonomi. Efeknya itu multiplayer, terutama bisnis pertambangan timah," ucapnya.
Tingginya harga timah pun diharapkan mendorong naiknya royalti yang diterima Pemprov Bangka Belitung nantinya.
"Nah, untuk komoditas emas itu tarif royalti progresif tergantung harga, jadi 3,75% sampai 5% mengacu daripada itu. Kita mengusulkan supaya tarif timah bisa mengikuti komoditas emas dan harga timah," harapnya.
Amir mengatakan, Pemprov Bangka Belitung telah berkali-kali berusaha meminta pemerintah pusat meningkatkan pendapatan dari royalti dana bagi hasil. Permohonan turut disampaikan kepda PT Timah.
"Kita ingin lebih dari itu terkait penerimaan daerah, dalam hal ini di APBD. Dari dulu tarif royalti hanya 3%. Pemprov itu sudah berkali-kali berkeinginan ada peningkatan tarif dan juga telah ke BUMN PT Timah minta saham, seperti perusahaan tambang di provinsi lainya," tandasnya.