Indonesia menargetkan pemanfaatan energi baru dan terbarukan (EBT) pada 2025 sebesar 23%. Kebijakan ini, yang dipadukan dengan komitmen mengurangi emisi hingga 29% pada 2030, merupakan upaya menuju sistem energi yang lebih bersih dan berkelanjutan.
Hingga kini, pembangkit listrik berbahan bakar batu bara masih mendominasi suplai energi di Indonesia. Adapun pemanfaatan pembangkit EBT baru 14,69% dari total kapasitas pembangkit listrik terpasang.
"Indonesia masih bergantung pada penggunaan batu bara [guna operasional] PLTU untuk kontrak jangka panjang hingga tahun 2050. Selain itu, masih banyak daerah di tertinggal, terdepan, dan terluar (3T) yang masih belum terjangkau listrik," kata anggota Ombudsman RI, Hery Susanto, dalam keterangannya.
Ia mengakui potensi EBT yang dimiliki Indonesia cukup besar. Namun, terdapat beberapa tantangan untuk memanfaatkannya, salah satunya tersebar di berbagai daerah.
"Tantangan lainnya adalah ketersediaan pinjaman lunak di dalam negeri yang masih terbatas; keterbatasan ketersediaan infrastruktur pendukung, khususnya di wilayah Indonesia Timur; ketergantungan pada teknologi dan perangkat EBT dari luar negeri yang masih tinggi; serta tidak semua pembangkit listrik EBT dapat terintegrasi dan terkoneksi dengan sistem ketenagalistrikan setempat, terutama untuk pembangkit listrik yang memiliki karakteristik intermittent," tuturnya.
Hery mengingatkan, jaminan ketersediaan energi listrik yang andal, cukup, berkualitas, dan ekonomis menjadi prasyarat mendukung pertumbuhan ekonomi, pemerataan kesejahteraan sosial, penciptaan lapangan kerja produktif, memperkuat industri, dan menciptakan sektor bisnis yang sehat. "Dalam bisnis, perusahaannya harus dibuat sehat, harus didukung oleh regulasi-regulasi yang memungkinkan industri kelistrikan tumbuh secara sehat, pelanggan juga harus dilayani secara sehat."
Apalagi, ungkapnya, pergeseran penggunaan sumber energi fosil ke EBT kian penting menyusul ketersediaan minyak bumi, gas alam, dan batu bara kian menipis. Energi fosil juga berdampak serius terhadap lingkungan.
"Dorongan electrifyng lifestyle sebagai solusi di lini tengah dengan berbasis baterai dengan bahan baku nikel menghasilkan emisi karbon yang lebih rendah dibandingkan dengan BBM fosil. Namun, di level hulu, pembangkit listriknya masih mengandalkan batu bara di PLTU, sementara di level hilir, belum disiapkan pengelolaan limbah baterainya," bebernya.
Karenanya, Ombudsman menyarankan transisi energi dengan mendorong desentralisasi potensi EBT. Sebab, sumber daya setiap daerah beragam.
"Harus dilakukan pilot project pada tiap daerah sebagai percontohan, utamanya daerah 3T. Jika RUU EBT yang nantinya akan disahkan, diharapkan bisa membantu stakeholder dalam mewujudkan transisi energi di tiap daerah. Singkatnya, perlu dioptimalisasikan sumber daya tiap daerah guna mewujudkan energi terbarukan," ucapnya.
Hery berpendapat, RUU EBT diperlukan sebagai regulasi komprehensif untuk menciptakan iklim pengembangan EBT yang berkelanjutan dan berkeadilan selain mewujudkan target NDC dan NZE serta mendukung pembangunan industri hijau dan pertumbuhan ekonomi nasional. Beleid tersebut juga memberikan kesempatan akses partisipasi masyarakat dalam penyediaan energi terbarukan.
"Bilamana dipahami secara menyeluruh, RUU EBT dapat mendorong TKDN atau tingkat komponen dalam negeri sehingga menjaga agar harga EBT masih bisa kompetitif. RUU EBT juga dapat memberikan kepastian dan landasan hukum bagi pengembangan EBT di Indonesia beserta program pendukungnya. Selain itu, juga bisa mengoptimalkan sumber daya EBT dan memperkuat tata kelola EBT," ujarnya.
"Adanya RUU EBT ini diharapkan dapat menciptakan iklim investasi yang kondusif bagi investor EBT untuk berinvestasi di Indonesia. Lebih jauh, saya berharap RUU EBT dapat memberikan kepastian dan landasan hukum bagi pengembangan EBT dan program pendukungnya, mengoptimalkan sumber daya EBT, memperkuat kelembagaan dan tata kelola EBT, serta menciptakan iklim investasi kondusif bagi investor EBT," sambung Hery.
Lebih jauh, ia menyampaikan, revisi UU Migas diperlukan untuk memperkuat transisi energi. "Ombudsman mempunyai kewenangan memberikan saran perbaikan dalam perumusan peraturan perundang-undangan, baik kepada pemerintah maupun DPR."