close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Anggota Ombudsman RI, Hery Susanto. Dokumentasi Ombudsman.
icon caption
Anggota Ombudsman RI, Hery Susanto. Dokumentasi Ombudsman.
Bisnis
Senin, 12 Desember 2022 17:56

Ombudsman dapati segudang persoalan izin usaha pertambangan

Salah satu yang disoroti adalah SE Nomor 1.E/HK.03/MEM.B/2022.
swipe

Peralihan kewenangan penerbitan izin usaha pertambangan (IUP) dari pemerintah kabupaten/kota ke provinsi dan pusat pada 2020 menimbulkan persoalan malaadministrasi, seperti penundaan berlarut, diskriminatif, dan tak memberikan pelayanan. Ini merupakan salah satu kesimpulan kajian sistemik tata kelola IUP oleh Ombudsman RI (ORI).

"Pengalihan kewenangan izin usaha pertambangan dari pemerintah daerah kabupaten/kota kepada pemerintah provinsi dan pusat masih ditemukan tidak memenuhi asas profesional, ketelitian, dan transparansi," ucap anggota Ombudsman, Hery Susanto, saat memaparkan hasil kajian sistemik, Senin (12/12).

Dalam kajian tersebut, Ombudsman mendapati proses pencatatan, administrasi, dan kearsipan tak memadai sehingga sukar mencari dan mengakses data pertambangan di daerah akibat perbedaan standar pelaksanaan pengalihan kewenangan. Selain itu, ditemukan adanya kendala teknis penerapan online single submission (OSS), sistem perizinan terpadu berbasis elektronik. 

Hery melanjutkan, dalam kesimpulan kajian, terutama aspek regulasi, Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM Nomor 15.K/HK.02/MEM.B/2022 soal pembatasan laporan dari segi waktu dan masih aktifnya IUP cenderung bersifat diskriminatif.  Sebab, ketentuan membatasi klasifikasi pelapor dengan menentukan batas waktu belum lewat 2 tahun sejak pertama kali permohonan perizinan saat IUP berlaku sesuai regulasi, yang tertuang dalam diktum IV huruf b, dinilai tak merujuk ketentuan yang tepat. Ombusman pun menyarankan beleid tersebut direvisi.

"Ombudsman mengacu pada Pasal 24 ayat (3) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman RI, yang mengamanatkan laporan masyarakat harus memenuhi persyaratan peristiwa, tindakan, atau keputusan yang dikeluhkan atau dilaporkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum lewat 2 tahun sejak peristiwa, tindakan, atau keputusan yang bersangkutan terjadi. Jadi, tidak dibatasi hanya untuk IUP yang masih berlaku," tuturnya.

Ombudsman pun memberikan catatan atas Surat Edaran (SE) Nomor 1.E/HK.03/MEM.B/2022 tentang Pedoman Pelaksanaan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 55 Tahun 2022 tentang Pendelegasian Pemberian Perizinan Berusaha di Bidang Pertambangan Mineral dan Batubara. SE ini ditujukan kepada pejabat berwenang.

"Surat edaran tersebut ditujukan kepada gubernur, kepala dinas yang membidangi urusan energi dan sumber daya mineral, serta kepala Dinas PMPTSP untuk memproses perizinan dan mengatur masa transisi. Namun, dalam surat edaran dimaksud tidak secara jelas mengatur pengawasan, penanganan pengaduan, dan permasalah lingkungan terkait dengan pendelegasian izin tersebut," paparnya.

Hery juga menyayangkan SE tersebut tidak ditujukan kepada Dinas Lingkungan Hidup dan tak ditembuskan kepada Menteri LHK. Dampaknya, memicu permasalahan lain lantaran memisahkan antara aturan pertambangan dengan regulasi lingkungan hidup sebagai persyaratannya. 

Selain itu, Ombudsman meminta Kementerian ESDM secara aktif memberikan informasi secara transparan kepada pemohon penerbitan, pencatatan, atau perpanjangan IUP tentang tindak lanjut laporannya dan hal-hal yang perlu dilengkapi dengan sistem penanganan laporan pertama (first come first served).

Kemudian, Menteri Investasi bersama Menteri ESDM disarankan menyempurnakan dan meningkatkan keandalan sistem perizinan berusaha OSS risk based approach (RBA) terkait izin usaha pertambangan. Adapun kepada Menteri LHK dan Menteri ESDM, Ombudsman meminta proses integrasi pengurusan perizinan/persetujuan lingkungan dengan data izin usaha pertambangan yang terkoneksi dengan OSS RBA dipercepat.

"Sistem tersebut untuk memudahkan evaluasi dan monitoring terpadu terhadap izin usaha pertambangan dari aspek teknis dan lingkungan," kata Hery.

Lalu, Ombudsman merekomendasikan Menteri Keuangan (Menkeu) berkoordinasi dengan pemerintah daerah (pemda) guna meningkatkan transparansi perhitungan target dan realisasi penerimaan negara bukan pajak (PNBP) mineral dan batu bara (minerba). Selanjutnya, perhitungan dan penyaluran dana bagi hasil (DBH) minerba dengan mengoptimalkan kegiatan bedah kertas kerja realisasi dan melibatkan stakeholder, termasuk pemda. Kemenkeu juga diminta mempercepat realisasi pembayaran kurang bayar DBH. 

Kajian sistemik ini dilakukan Ombudsman dengan mengambil sampel di lima provinsi, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Maluku Utara. Tujuannya, mencegah malaadministrasi dan terjadinya laporan berulang masyarakat tentang IUP.

img
Fatah Hidayat Sidiq
Reporter
img
Fatah Hidayat Sidiq
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan