Ombudsman Republik Indonesia (ORI) menilai, masih banyak peraturan turunan dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Ciptaker) belum optimal diimplementasikan. Sebab, terdapat perbedaan karakter kegiatan usaha satu dengan usaha lainnya.
“Hal yang belum diatur dan atau belum cukup diatur dalam UU Cipta Kerja dan turunannya perlu dikaji, dirumuskan dan didorong bersama-sama agar segera diatur dan ditetapkan guna mempercepat pencapaian target yang diharapkan,” ujar Anggota Ombudsman RI Hery Susanto, dalam keterangan tertulis, Kamis (5/8).
Padahal, UU Ciptaker diharapkan dapat memberikan kepastian hukum, menyederhanakan perizinan, dan menghapus aturan-aturan yang tumpang tindih. ORI memberikan sejumlah catatan kepada pemerintah daerah terkait pasca diberlakukannya UU Ciptaker. Pertama, Peraturan Daerah (Perda) maupun Peraturan Kepala Daerah (Perkada) yang materi muatannya berkaitan dengan UU Ciptaker harus mengidentifikasi dan inventarisasi produk hukum daerah.
“Arahnya tentu adalah melakukan perubahan, pencabutan atau menetapkan perda atau perkada yang disesuaikan dengan UU Ciptaker. Jika telah teridentifikasi, maka perencanaan Perda ditetapkan di luar Propemperda (Program Pembentukan Peraturan Daerah) dengan Keputusan DPRD dan melakukan penambahan perencanaan Perkada yang ditetapkan dengan Keputusan Kepala Daerah,” tutur Hery.
Pasal 251 UU 23/2014 tentang Pemerintah Daerah (Pemda) sebagaimana diubah melalui UU Ciptaker mengamanatkan, perda dan perkada dilarang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, serta putusan pengadilan. Maka, kata dia, sebaiknya pemda berkoordinasi dengan Kementerian Hukum dan HAM yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pembentukan peraturan perundang-undangan.
Selain itu, pemda harus berkoordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri untuk penyiapan dan penyesuaian dalam pelayanan perizinan di daerah melalui sistem OSS (sistem online single submission). Berdasarkan penanganan laporan masyarakat di bidang kemaritiman dan investasi pada kurun waktu 2018-2020, substansi perhubungan dan infrastruktur terbanyak diadukan atau sebanyak 655 laporan. Disusul kemudian, bidang perizinan sebanyak 647 laporan, pertambangan 574 laporan, kelistrikan 374 laporan, PUPR 362 laporan, KLHK 324 laporan, penanaman modal 46 laporan, serta perikanan 26 laporan.
Dari segi instansi terlapor terkait substansi kemaritiman dan investasi, Pemda terbanyak dilaporkan atau sebesar 58%. Disusul kemudian, BUMN dan BUMD sebanyak 35%, KESDM 5%, KLHK 3%, Kemenhub 3%, serta Kementerian PUPR 2%.
“Permasalahan pelayanan publik yang sering dilaporkan terkait perizinan di antaranya aduan mengenai prosedur dan waktu proses perizinan yang tidak ada kepastian, adanya pungutan liar serta adanya petugas yang tidak memberikan pelayanan terhadap masyarakat yang mengajukan perizinan,” ucapnya.