Ombudsman Republik Indonesia mengidentifikasi adanya tata kelola yang buruk di PT Asuransi Jiwasraya (Persero). Bahkan, pengelolaan di asuransi pelat merah itu melanggar dari ketentuan yang ada.
Anggota Ombudsman RI, Alamsyah Saragih menyebut, bobroknya tata kelola Jiwasraya terindikasi dari seperti tidak adanya direksi yang membidangi kepatuhan. Asuransi pelat merah itu telah melanggar Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 73 Tahun 2016 tentang Tata Kelola Perusahaan Yang Baik Bagi Perusahaan Perasuransian.
"Di level direksi, kita lihat, (Jiwasraya) tidak ada direktur kepatuhan. Apakah Jiwasraya termasuk asuransi yang kecil? Tidak kalau dilihat dari size," kata Alamsyah, dalam diskusi bertajuk "Jiwasraya dan Prospek Asuransi" di kawasan Jakarta Pusat, Sabtu (18/1).
Dalam POJK Nomor 73 Tahun 2016, aturan mengenai keberadaan direktur kepatuhan terdapat pada Pasal 7 dan Pasal 8. Pada ketentuan itu menyatakan, perusahaan perasuransian harus menunjuk satu posisi direktur kepatuhan dalam jajaran direksi.
Apabila tidak mampu menghdirkan direktur kepatuhan, maka perusahaan perasuransian dapat menunjuk anggota direksi lain kecuali yang membawahkan fungsi teknik asuransi, fungsi keuangan, atau fungsi pemasaran.
Selain itu, terdapat rangkap jabatan jajara direksi keuangan dan investasi. "Bayangkan, kalau produksi sama keuangan digabung. Jadi dari sisi tata kelola, sudah lah enggak usah berkilah, (Jiwasraya) memang buruk," ucap dia.
Bahkan, kata Alamsyah, para komisaris asuransi pelat merah itu tidak memenuhi kriteria menjadi pejabat. Temuan itu menjadi indikator bahwa Jiwasraya memiliki tata kelola yang buruk.
Di tempat yang sama, penulis buku Skandal Jiwasraya, Teddy Mihelde Yamin mempertanyakan tata kelola yang ada di asuransi pelat merah itu. Dia menyayangkan, Jiwasraya dapat menjalankan roda usaha dengan bobroknya tata kelola.
"Ketika tata kelola buruk, memungkinkan orang punya motif bermain di situ," ujar Teddy.
Dia menilai, salah satu pihak yang turut bertanggung jawab ialah OJK. Menurutnya, OJK telah kecolongan dengan membiarkan tata kelola yang buruk di Jiwasraya.
"Di sini saya kira kecolongan OJK. Kecolongan dan artinya negara absen dalam menentukan sikap, dan terjadi pembiaran seperti halnya mengelabui," kata dia.
Untuk diketahui, Kejaksaan Agung telah mengeluarkan Surat Perintah Penyidikan terkait kasus Jiwasraya. Surat tersebut, teregristrasi dengan Nomor Trim 33/F2/Fd2/12 tahun 2019 tertanggal 17 Desember 2019.
Setidaknya, terdapat lima tersangka yang telah ditetapkan oleh Kejagung dalam kasus dugaan korupsi tersebut. Lima tersangka itu ialah Komisaris Utama PT Hanson International Benny Tjokrosaputro, Presiden Komisaris PT Trada Alam Minera (Tram) Heru Hidayat, mantan Direktur Keuangan PT Asuransi Jiwasraya Hary Prasetyo, mantan Direktur Utama PT Asuransi Jiwasraya Hendrisman Rahim serta eks Kepala Divisi Investasi dan Keuangan pada PT Asuransi Jiwasraya Syahmirwan.
Dalam perjalanan kasus itu, lembaga asuransi pelat merah tersebut telah banyak melakukan investasi pada aset-aset dengan risiko tinggi untuk mengejar high grade atau keuntungan tinggi. Di antaranya penempatan saham sebanyak 22,4% senilai Rp5,7 triliun dari aset finansial.
Sebesar 5% dana ditempatkan pada saham perusahaan dengan kinerja baik, sisanya 95% dana ditempatkan di saham yang berkinerja buruk. Selain itu, penempatan reksa dana sebanyak 59,1% senilai Rp14,9 triliun.
Sebanyak 2% dikelola oleh manager investasi Indonesia dengan kerja baik. Sementara itu, sekitar 98% dikelola oleh manajer investasi dengan berkinerja buruk. Akibatnya, PT Asuransi Jiwasraya hingga Agustus 2019 menyebabkan potensi kerugian negara sebesar Rp13,7 triliun.