Omnibus Law dan keinginan Jokowi sapu jagat regulasi lawas
Pidato perdana Joko Widodo (Jokowi) setelah dilantik sebagai presiden periode 2019-2024, tepat pada 20 Oktober 2019, mengawali munculnya istilah Omnibus Law.
Saat itu, Jokowi yang dilantik bersama Wakil Presiden Ma'ruf Amin, mengungkapkan tengah merancang aturan untuk menyederhanakan kendala regulasi yang kerap berbelit-belit.
Dalam pidatonya, Jokowi memunculkan istilah Omnibus Law dua Rancangan Undang-undang (RUU) besar, yakni Cipta Lapangan Kerja dan RUU Perpajakan. Kedua Omnibus Law tersebut diharapkan dapat memperkuat perekonomian nasional dengan memperbaiki ekosistem investasi dan daya saing Indonesia dalam menghadapi ketidakpastian dan perlambatan ekonomi global.
Belakangan, rencana RUU Omnibus Law bertambah menjadi setidaknya lima usulan. Selain RUU Cipta Kerja, RUU Perpajakan, juga ada RUU Ibu Kota Negara, RUU Kefarmasian, dan RUU Sistem Politik Pemerintahan.
Akan tetapi, pemerintah baru mengusulkan draf RUU Cipta Kerja dan RUU Perpajakan kepada DPR untuk dibahas. Surat presiden (surpres) tentang RUU Cipta Kerja telah diserahkan kepada DPR pada 12 Februari 2020.
Surpres beserta naskah akademik dan draf RUU Cipta Kerja tersebut merevisi 79 Undang-Undang terdiri dari 15 bab, dan 174 pasal. Sedangkan, RUU Perpajakan merevisi sembilan UU menjadi 23 pasal.
"Akan kami gabungkan dan kami ajukan untuk direvisi secara berbarengan di DPR. Nah, ini mohon didukung. Jangan dilama-lamain, jangan disulit-sulitin," kata Jokowi seperti dikutip dari laman resmi Setkab.go.id, Jumat (29/11).
Sebelum RUU Cipta Kerja, ternyata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengaku pemerintah telah menyerahkan RUU Omnibus Law Perpajakan kepada DPR pada Senin (5/2). Menkeu mengatakan RUU Perpajakan akan menyelaraskan sebelas UU dan 28 pasal.
Nantinya, RUU Omnibus Law Perpajakan akan memiliki enam klaster yang berisi insentif pajak. Bahkan, Sri Mulyani menyebut Omnibus Law ini diprediksi akan mengurangi penerimaan pajak negara hingga Rp86 triliun.
Belum lama ini, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto bilang kehadiran Omnibus Law sangat vital di tengah kondisi ekonomi Indonesia terkini. Penerbitan Omnibus Law diyakini dapat mendorong kemudahan berbisnis (ease of doing business) Indonesia ke peringkat 40 dari saat ini mentok di posisi 73 dunia.
Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar itu mengatakan kemudahan yang diatur dalam Omnibus Law memiliki tujuan untuk menggenjot realisasi investasi ke Indonesia. Minat investasi ke Indonesia, kata dia, bisa mencapai Rp2.000 triliun, namun realisasinya hanya mampu masuk Rp800 triliun.
"Itu tidak cukup memenuhi target kita 7% untuk investasi agar (pertumbuhan ekonomi) tumbuh minimal 6%," kata Airlangga.
Untuk memuluskan langkah pembahasan Omnibus Law, pemerintah telah membentuk Satuan Tugas (Satgas) Omnibus Law yang berisi 127 orang. Anggotanya terdiri dari perwakilan kementerian dan lembaga, pengusaha, akademisi, kepala daerah, hingga tokoh masyarakat.
Sejumlah nama pengusaha besar nangkring di jajaran Satgas Omnibus Law. Sebut saja, CEO Lippo Group James Riady, Komisaris Utama Bosowa Corporation Erwin Aksa, Komisaris PT Bakrie & Brothers Tbk., Bobby Gafur Umar, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani, Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Tenaga Kerja dan Hubungan Industrial Anton J. Supit, Ketua Umum Indonesia National Shipowners Association (INSA) Carmelia Hartoto, dan Wakil Ketua Kadin Indonesia Bidang Perindustrian Johnny Darmawan.
Tidak hanya itu, sejumlah kepala daerah juga masuk dalam Satgas Omnibus Law ini, seperti Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, Wali Kota Tangerang Selatan Airin Rachmi Diany, dan Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas.
Salah satu rancangan yang menjadi sorotan adalah RUU Cipta Kerja. RUU ini terdiri dari 174 pasal yang merevisi kandungan dari 79 UU dan 1.203 pasal. Draf RUU yang telah masuk badan legislasi DPR itu menimbulkan pro-kontra di tengah masyarakat karena dianggap terlalu pro dunia usaha.
Langkah transformasi
Ketua Kadin Indonesia yang juga menjadi Ketua Satgas Omnibus Law Rosan Perkasa Roeslani mengatakan, Omnibus Law bertujuan untuk membangun iklim investasi yang baik dan meningkatkan daya saing melaui penyederhanaan regulasi perizinan yang berujung pada penciptaan lapangan kerja.
Rosan mengungkapkan, Indonesia kini mengalami hiper regulasi lantaran terdapat sekitar 8.000 peraturan di tingkat pusat, 16.000 peraturan di tingkat daerah, 16.000 peraturan kementerian, dan 3.000 peraturan lembaga tinggi negara.
“Omnibus Law ini transformasi struktural. Negara tetangga melakukan hal yang sama untuk memperbaki dirinya. Kenapa kita melakukan ini? Nanti makin lama, makin ketinggalan,” terangnya saat ditemui di Kelapa Gading, Jakarta Utara, Sabtu (14/3).
Harmonisasi peraturan dalam kerangka Omnibus Law akan berdampak kepada pemerintah daerah. “Sekarang pemerintah daerah peraturannya bisa dicabut oleh pemerintah pusat melalui presiden apabila dianggap bertentangan untuk menciptakan lapangan kerja,” ungkapnya.
Berdasarkan kajian yang dilakukan Satgas sebelum merebaknya wabah coronavirus baru, Omnibus Law akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 0,6%-0,9% dan menambah 500.000-600.000 lapangan kerja baru.
Senada dengan Rosan, Ketua Kebijakan Publik Apindo Soetrisno Iwantono berharap Omnibus Law Cipta Kerja dapat mendorong investasi dan lapangan kerja bagi 133 juta jiwa angkatan kerja Indonesia.
"Setiap tahun ada penambahan lapangan kerja baru sekitar 2,3 juta, nanti mau kerja di mana mereka kalau enggak ada lapangan kerja baru?” ujarnya kepada Alinea.id, Jumat (13/3).
Soetrisno berpendapat, manufaktur adalah sektor yang paling terdampak positif dengan adanya RUU Cipta Kerja. “Kami ingin mendorong ekspornya menjadi lebih kencang,” tambahnya.
Salah satu pasal yang ditentang oleh serikat pekerja adalah terkait pesangon. Rosan mengakui pesangon yang diterima oleh buruh berkurang dari 32 kali gaji menjadi 28 kali gaji atau turun sebesar 12,5% dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja. “Walau ada pengurangan, tapi nanti diberikan pendidikan vokasi gratis, dicarikan kerja sama kemitraan,” tuturnya.
Dia juga membenarkan RUU ini membuka kemungkinan kontrak kerja seumur hidup bagi para buruh. Sebagai gantinya, pekerja kontrak akan mendapat pesangon dan jaminan sosial dari yang sebelumnya tidak ada.
Kemudian, dia menganggap protes dari kaum buruh adalah hal yang wajar. “Yang harus dilihat dalam rangka menciptakan lapangan kerja, kalau ini dibuka bukan hanya teman-teman serikat buruh saja, tapi teman-teman pengusaha ada protes juga awal-awal,” ungkapnya.
Perubahan lainnya adalah berkurangnya 515 bidang usaha yang tertutup untuk asing menjadi enam bidang usaha yang aturan teknisnya dijabarkan dalam peraturan pemerintah.
Sementara terkait izin analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal), dia mengungkapkan adanya pengurangan proyek yang wajib memilikinya, misalnya saja pembangunan rumah toko (ruko). “Itu sekarang tidak ada amdalnya, tapi memenuhi standar pemerintah daerah. Mereka punya rencana detil tata ruang dan rencana tata ruang wilayah,” katanya.
Pemerintah pusat, lanjutnya, dapat mencabut peraturan daerah yang bertentangan dengan regulasi pusat seperti yang tercantum pada Pasal 166 yang merevisi Undang-Undang No. 23 tahun 2014. “Apabila itu dianggap bertentangan untuk menciptakan lapangan kerja. Tapi kan enggak serta merta langsung bisa dicabut,” tambahnya.
Rosan berharap DPR mempercepat pembahasan RUU ini secara terbuka, transparan, dan melibatkan semua pihak. “Harapan kami supaya implementasinya berjalan dengan baik. Ini yang banyak ditunggu investor lokal dan luar negeri di tengah semua ceritanya uncertainty, ada corona. Omnibus Law ini salah satu berita yang baik,” terangnya.
Menanggapi aksi protes buruh, Soetrisno menanggap hal itu hanyalah bagian kecil dari pekerja. “Kita punya masalah yang lebih besar dari itu. Buruh sudah dapat pekerjaan. Sekarang bagaimana orang yang belum dapat pekerjaan atau yang masih menganggur?” ujar dia. Kepentingan penganggur yang berusaha mencari kerja, menurut dia juga perlu diutamakan.
Dia juga mengusulkan agar batas maksimum modal usaha kecil ditingkatkan dari yang sebelumnya hanya Rp2,5 miliar. “Banyak usulan kita yang belum tertampung semuanya di dalam Omnibus Law itu. Yang kita usulkan banyak, apalagi yang tidak masuk di situ (RUU),” keluhnya.
Soetrisno mengaku belum tahu dampak peningkatan pertumbuhan ekonomi apabila RUU Cipta Kerja telah disahkan. “Kami tidak tahu seberapa jauh itu bisa diimplementasikan di lapangan. Pasti arahnya jauh lebih baik dibandingkan dengan sekarang,” ungkapnya.
Aksi protes
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Arif Maulana berpendapat pembentukan RUU Cipta Kerja inkonstitusional lantaran proses perencanaan, penyusunan, dilakukan tidak terbuka dan melibatkan masyarakat. Bahkan, beberapa pasalnya bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
“Terkait prosedur, kita harus bicara ada Undang-Undang No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang menyatakan mestinya informasi RUU bisa diakses sejak penyusunan dan perencanan. Ini disembunyikan. Tiba-tiba ada surat dari presiden ke DPR,” terangnya melalui sambungan telepon.
Menurut dia, RUU tersebut hanya bertujuan melayani kepentingan pengusaha lantaran penyusunannya hanya melibatkan pemerintah dan pengusaha.
“Dari awal sudah cacat hukum, inkonstitusional. Sudah seharusnya ditolak oleh publik dan sudah seharusnya pemerintah mendengarkan aspirasi publik. Mereka mewakili siapa kalau tutup telinga, tutup mata, dan lanjut terus. Ngawur dong kalau kayak gitu ,” ujarnya.
Arif menyoroti beberapa substansi pasal-pasal yang terkandung dalam RUU tersebut seperti saran, masukan, dan tanggapan terkait amdal hanya dapat diperoleh dari masyarkat yang terdampak langsung (Pasal 23); semakin longgarnya persyaratan amdal (Pasal 23), penghapusan batas minimum 30% kawasan hutan dalam daerah aliran sungai (DAS) dan/atau pulau (Pasal 37).
Kemudian, kewajiban pemegang hak atau perizinan usaha yang terbatas pada pembatasan dan pencegahan kebakaran hutan (Pasal 37); perubahan partisipasi penataan ruang yang hanya dibatasi pada orang per orang dan badan usaha (Pasal 65).
Selanjutnya, penambahan wewenang kepolisian untuk memberi perizinan dan mengawasi bidang usaha jasa pengamanan (Pasal 82); upah minimum provinsi (UMP) sebagai satu-satunya acuan upah (Pasal 89); berlakunya hak atas tanah di atas hak pengelolaan hingga 90 tahun (Pasal 127 ayat 3), dan sebagainya.
“Selama ini yang dikampanyekan positif, manis itu iklannya. Faktanya kita cek dari RUU-nya akibat dari pengaturannya malah menghancurkan keadilan sosial dan ekologi masyarakat. Justru melahirkan ketimpangan,” ungkapnya.
Dia menyayangkan langkah pemerintah yang terburu-buru menargetkan rampungnya pembahasan dalam waktu 100 hari. Arif membandingkan dengan negara lain yang berhati-hati dalam menyusun UU.
“Pemerintah harus mencabut, menarik kembali surpres (draf RUU Cipta Kerja) yang sudah diserahkan ke DPR. Ini betul-betul tindakan ngawur pemerintah, otoriter dalam membuat peraturan perundang-undangan,” tegasnya.
Terpisah, Ekonom Senior Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Faisal Basri berpendapat, kinerja investasi Indonesia sebenarnya “tidak buruk-buruk amat.”
Dia mencatat, pertumbuhan investasi di Indonesia lebih tinggi dari Malaysia, Brasil, Afrika Selatan, dan China. Berdasarkan Asia Business Outlook Survey 2019, Indonesia meraih peringkat ketiga negara tujuan investasi yang paling diminati.
Faisal menjelaskan, porsi investasi yang tercerimin dalam pembentukan modal tetap bruto terhadap pendapatan domestik bruto (PDB) Indonesia merupakan yang terbesar di ASEAN, yakni sebesar 32,3% pada 2018.
Akan tetapi, porsi investasi asing langsung (FDI) terhadap total investasi di Indonesia terbilang sangat kecil. Hal ini menyebabkan Indonesia bukan menjadi pemain utama dalam rantai pasok ekonomi global.
“Karena memang Indonesia cenderung menutup diri dengan membangun tembok tinggi, penuh kawat berduri,” tulisnya dalam artikel berjudul “Sesat Pikir Omnibus Law” yang ditayangkan di laman pribadinya, faisalbasri.com, Minggu (19/1).
Menurut alumnus Universitas Indonesia (UI) itu, Omnibus Law bukanlah solusi untuk menggenjot investasi di Indonesia. Konsistensi kebijakan dan perbaikan iklim investasi seharusnya lebih diutamakan.
“Jika Omnibus Law bertujuan untuk menggenjot investasi agar pertumbuhan ekonomi lebih tinggi, boleh jadi, jauh panggang dari api. Jika investasi asing yang hendak disasar, justru belakangan ini investor asing banyak yang ’diusir’,” tuturnya.
Faisal mencontohkan pengambilalihan saham PT Freeport Indonesia oleh PT Indonesia Asahan Alumnium (Persero), Blok Mahakam dan Blok Rokan oleh PT Pertamina (Persero), dan PT Holchim Indonesia oleh PT Semen Indonesia (Persero) Tbk.
Menurutnya, tantangan Indonesia ke depan adalah bagaimana meningkatkan kualitas investasi. Hal ini disebabkan porsi investasi mesin dan peralatan yang hanya sebesar 10,66% pada kuartal I hingga kuartal III-2019, berbeda dengan bangunan yang mencapai 74,79%. Kemudian, Faisal juga menyarankan adanya konsolidasi sektor perbankan demi menggenjot pertumbuhan kredit yang kini hanya singel digit.
Dia mencatat, tingkat utilisasi rerata industri manufaktur Indonesia yang hanya 7% menjadi biang keladi seretnya investasi di Indonesia. “Investasi akan seret jika pemanfaatan kapasitas produksi masih rendah. Ketika pemanfaatan kapasitas terpasang di atas 90%, tak usah didorong-dorong pun investasi akan dilakukan oleh dunia usaha,” jelasnya.
Di lain kesempatan, Faisal berpendapat tidak ada hal yang darurat untuk mempercepat pembahasan Omnibus Law Cipta Kerja sebagaimana yang diharapkan oleh Presiden Jokowi.
“Jadi apa daruratnya? Daruratnya satu-satunya yang saya temukan, pengusaha besar batu bara kontraknya hampir semua habis tahun ini. Kalau tidak, mereka harus tunduk pada UU Minerba (mineral dan batu bara) yang tidak ada jaminan bagi mereka untuk mendapatkan kelezatan seperti selama ini," ungkapnya.
Sambungan dari artikel berjudul "Simalakama Omnibus Law."