Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan menuturkan, pemerintah mulai tahun depan menyetop impor komoditas pangan, seperti beras, gula, jagung, dan garam untuk konsumsi. Zulkifli percaya program strategis ketahanan pangan bisa terlaksana dengan cepat. Menurut dia, Indonesia pun mampu berdaulat secara pangan.
“Kita ingin cepat agar swasembada pangan ini tidak hanya ketahanan, tapi kita ingin berdaulat,” ujar Zulkifli setelah rapat koordinasi bidang pangan di Kantor Kementerian Kehutanan, Jakarta, Kamis (12/12), seperti dikutip dari Antara.
Sebelumnya, Zulkifli menyebut, stok beras nasional mencapai delapan juta ton hingga akhir Desember 2024, sehingga tak perlu lagi tambahan impor. Sedangkan di Perum Bulog ada dua juta ton. Dilansir dari Antara, Zulkifli mengatakan, pemerintah menargetkan Indonesia dapat memproduksi beras hingga 32 juta ton pada 2025.
Lalu, kata Zulkifli, pemerintah pun menargetkan produksi gula dalam negeri sebesar 2,6 juta ton. Produksi tersebut bakal digenjot dengan melakukan pengembangan bibit baru, manajemen perkebunan, hingga menjalin kerja sama dengan pelaku UKM.
Untuk garam konsumsi, menurut Zulkifli, pemerintah membidik produksi dapat mencapai 2,25 juta ton, demi mencukupi kebutuhan nasional sebesar 1,75 juta ton pada 2025. Lantas produksi jagung untuk pakan ternak ditargetkan mencapai 16,68 juta ton, sedangkan kebutuhan jagung nasional 13 juta ton.
Ketua Umum Serikat Petani Indonesia, Henry Saragih, meragukan janji Zulkifli menghentikan impor beberapa komoditas pangan. Perkaranya, bisa jadi janji nol impor itu karena masih ada sisa komoditas impor tahun 2024. Tidak murni hasil produksi swasembada pangan.
“Kemudian ditambah dengan produksi,” kata Henry kepada Alinea.id, Senin (16/12).
Henry mengaku tidak gembira mendengar kabar pemerintah ingin menyetop impor beberapa komoditas pangan. Sebab, menurut dia, penghentian impor tidak serta merta membuat petani sejahtera.
“Karena yang lebih berpeluang menikmati itu korporasi. Kenapa? Karena petani kita punya banyak masalah yang tidak tersentuh solusi pemerintah,” ujar Henry.
“Seperti petani guram kita masih banyak dan lahan petani yang tidak memiliki irigasi juga sangat banyak. Bagaimana bisa dengan kondisi seperti itu dapat swasembada?”
Henry menilai, program swasembada pangan tidak akan berdampak pada kesejahteraan petani, jika tak disertai program reforma agraria atau pembagian tanah kepada petani. Padahal, reforma agraria bisa meningkatkan produktivitas komoditas pangan.
“Kalau serius harus disertai dengan reforma agraria,” kata Henry.
Di sisi lain, dosen ilmu pertanian di Universitas Mulawarman (Unmul) Donny Dhonanto mempertanyakan janji Zulkifli yang ingin menghentikan impor sejumlah komoditas pangan. Padahal, situasi di lapangan, banyak petani yang sudah kepayahan bergelut pada produksi pertanian.
“Kenapa baru sekarang? Kenapa enggak dari dulu-dulu aja setop impor? Saat masih banyak petani yang punya dan bersemangat mengolah sawahnya,” ujar Donny, Senin (16/12).
Menurut Donny, meski penyetopan impor komoditas pangan kerap memberi angan-angan swasembada dan kesejahteraan petani, tetapi bila melihat kesanggupan infrastruktur di lapangan, sepertinya belum siap tahun depan. Apalagi kalau hanya menandalkan optimalisasi lahan pertanian, dengan dukungan sumber daya manusia dari perekrutan sarjana pertanian, anggota TNI, dan Polri.
“Belum ada (juga) jaminan kesiapan lahan untuk bisa dioptimalkan karena untuk Kalimantan Timur contohnya, kegiatan SID (survei, investigasi, desain) perencanaan optimalisasi lahan pertanian sawah, baru dikerjakan akhir tahun ini di tiga kabupaten—Penajam Paser Utara 500 hektare, Paser 500 hektare, dan Kutai Kartanegara 400 hektare,” ujar dia.
“Setidaknya, baru setelah Lebaran selesai dikerjakan kegiatan (SID) tersebut.”
Dia melanjutkan, kesiapan lahan pertanian memerlukan waktu yang tidak sebentar. Maka dari itu, dia khawatir pemerintah akan sangat keteteran dalam mengejar target swasembada pangan. Terlebih, pemerintah punya hajat besar program makan bergizi gratis, yang memerlukan banyak stok bahan pangan.
“Saya khawatir tidak keburu mencapai target 32 juta ton di tahun 2025. Permintaan pangan, terutama beras untuk mendukung program makan bergizi gratis tahun depan tentunya juga jadi ukuran yang harus diperhitungkan, selain stok beras nasional kita,” tutur Donny.
Dari segala kondisi keterbatasan lahan pertanian dan kondisi petani guram yang masih besar, senada dengan Henry, Donny menduga untuk menggenjot swasembada pangan, pemerintah akan lebih berpihak pada korporasi dibanding petani kecil.
“Pastilah, korporasi yang (kerja sama) dengan para oligarki Indonesia tidak akan mau kehilangan kesempatan mendapatkan cuan bancakan,” ucap Donny.