Saat orang miskin makin sulit beli rumah murah bersubsidi lewat KPR
Hujan deras mengguyur Jakarta sejak Minggu (16/2) siang hingga petang. Meski hujan tak kunjung reda, tapi langkah Adimas Adam dan ribuan warga Ibu Kota lainnya tetap tak surut menuju Jakarta Convention Center (JCC) Senayan.
Demi mimpinya untuk memiliki rumah idaman bersama sang istri, Adimas rela keluar-masuk pameran properti. Sore itu, Adimas antusias mencari rumah idaman yang harganya masuk di kantong dalam Indonesia Property Expo (Ipex) 2020.
Direktur Utama PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk. Pahala Nugraha Mansury mengargetkan dari acara IPEX dapat meraup izin prinsip Kredit Pemilikan Rumah (KPR) subsidi maupun non subsidi senilai Rp3 triliun, khususnya bagi pasar generasi milenial.
Tahun ini, BTN membidik target pertumbuhan KPR mencapai 17%. Namun, khusus segmen KPR subsidi, BTN hanya menargetkan kenaikan 3% pada 2020.
Untuk mencapai target tersebut, strategi yang dijalankan Bank BTN salah satunya dengan aktif menggelar pameran yang mempertemukan konsumen dengan pengembang, seperti IPEX yang diramaikan oleh 105 pengembang.
Memang, rumah murah bersubsidi menjadi properti paling banyak diincar para pasangan muda. Bukan lagi lokasi belaka, calon pembeli termasuk Adimas, mengincar rumah subsidi lantaran harga yang tak menguras kocek dalam-dalam.
“Kalau akses dan fasilitasnya ada, saya pertimbangkan,” ujar Adimas Adam, seorang karyawan swasta asal Jakarta. Sebagai pasangan yang baru menikah, harga juga menjadi salah satu pertimbangan penting dalam mencari rumah.
Mengacu pada Keputusan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahaan Rakyat (PUPR) No.535/KPTS/M/2019, rumah subsidi bisa didapatkan dengan harga kurang dari Rp200 juta, kecuali di Papua yang batas harga atasnya Rp219 juta. Harga tersebut berlaku mulai tahun ini.
Keputusan terbaru itu memang membuat harga rumah murah bersubsidi menjadi lebih mahal. Dibandingkan dengan tahun sebelumnya, harga rumah subsidi rata-rata naik Rp7 juta–Rp11,5 juta.
Selama ini, perjuangan masyarakat seperti Adimas agar memperoleh rumah murah bersubsidi tidaklah mudah. Sekarang ditambah dengan kenaikan harga batas maksimum rumah bersubsidi yang bisa dibeli, tentu membuat berat.
Berbeda dengan Adimas yang masih berburu rumah murah bersubsidi, Syaiful Pratama (26), sudah membelinya. Dia membeli satu unit rumah subsidi di Komplek Boekit Serang Damai, milik PT Wahana Putra Jaya Cemerlang.
“Dekat sama kantor. Terus katanya sumber airnya bagus,” ujarnya melalui sambungan telepon pada Selasa (18/2).
Statusnya sebagai calon pegawai negeri sipil (CPNS), tidaklah menjamin kemudahan baginya. Pembangunan rumah yang diidamkannya sempat terhenti. “Baru lanjut lagi setelah bayar DP (down payment/uang muka),” ungkapnya. Padahal, dia telah menunggu sejak Agustus silam.
Meskipun berdomisili di Serang, Banten, Saiful terpaksa melakukan akad KPR dengan pihak pengembang di Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat setelah menunggu selama enam bulan. Alasannya, lantaran masih tersedia kuota rumah bersubsidi di Cikarang, sedangkan di Serang sudah ludes.
“Gue disuruh hari Kamis berangkat jam 6 dari sini (Serang). Gue belum dapet cuti, masih CPNS. Seenak jidat gitu lho. Buru-buru infonya,” keluhnya.
Saiful mengaku, setelah mendapatkan rumah baru, dia akan pindah dari rumah kontrakan saat ini. Rencananya, dia akan pindah ke rumah baru pada Maret mendatang.
Pengalaman berbeda diungkapkan oleh Dede Koswara (44), warga Perumahan Villa Asri, Gunung Putri, Bogor, Jawa Barat. Dia memiliki pengalaman tak mengenakkan ketika membeli rumah subsidi yang telah ditempatinya sejak 2007.
“Dulu harganya Rp49 juta. Dulu rumah saya sangat sederhana sekali. Rumah yang saya tempati belum diplester, belum dikeramik, belum siap pakai nih,” ungkapnya ketika berbincang dengan reporter Alinea.id pada Kamis (20/2).
Dia memutuskan untuk membeli rumah bersubsidi tersebut lantaran lokasi yang dekat dengan kantornya bekerja. Tak hanya itu, Dede yang telah berkeluarga tersebut juga masih mengontrak membuat dirinya memutuskan segera membeli rumah.
Baru saja dibeli, rumah subsidi itu harus direnovasi. Dede pun kudu merogoh kocek yang tak sedikit untuk memperbaiki rumah baru itu. Kondisi rumah bersubsidi menurut Dede tak ramah bagi anak balitanya.
Untuk membayar cicilan KPR, Dede melakukannya secara kolektif melalui koperasi kantor. Cicilannya tidak tetap, mengikuti suku bunga dari bank itu. “Kami gajian per bulan. Langsung dipotong. Kami enggak bayar lagi,” ungkapnya.
Tak seperti Dede, beruntung bagi Mohammad Daim (54) yang membeli rumah subsidi dalam kondisi yang lebih layak huni. Bagi Daim yang bekerja di sektor informal, kunci suksesnya adalah memilih pengembang secara tepat. “Carilah pengembang yang memiliki track record yang baik,” ujar pria yang berprofesi sebagai pedagang tersebut.
Kala Daim membeli rumah subsidi di Perumahan Villa Mutiara Bogor, Tanah Sareal, Kota Bogor pada pertengahan 1990-an, Ia berprofesi sebagai karyawan sebuah perusahaan dagang.
Kemudian, Dia mencicil sendiri rumahnya selama 10 tahun. Selama tiga tahun pertama, Daim mendapat subsidi dari pemerintah. “Kita harus bisa meyakinkan pihak bank saat wawancara,” tuturnya.
Setelah melunasi uang muka, dia mengeluh adanya biaya tambahan dari bank. Daim keberatan, lantaran telah susah payah mengumpulkan uang untuk melunasi DP. “Setelah wawancara selesai, seminggu kemudian bahwa kredit disetujui, (baru) diberi tahu ada biaya-biaya lain. Waktu dulu saya Rp2 juta,” bebernya yang kini tinggal di Kota Tangerang, Banten.
Persyaratan rumit
Pengalaman Saiful yang mengurus akad kredit di Kabupaten Bekasi adalah cerminan sulitnya pengembang mencari konsumen rumah subsidi. Sebab, Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) Kabupaten Bekasi 2020 sebesar Rp4.498.961, sedangkan batas maksimal gaji pokok dalam pengajuan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Properti (FLPP) sebesar Rp4 juta.
Kesulitan tersebut diamini oleh Sales Manager Sukma Indah Residence Johan A. Martin ketika berbincang dengan Alinea.id dalam pameran IPEX 2020. Sukma Indah adalah sebuah proyek kerja sama antara PT Maju Mars Abadi dan KSO Jonggol.
“Bahkan saat ini, gaji pokok terbuka UMKM (Usaha Mikro Kecil dan Menengah) banyak yang naik, di atas Rp3 juta-Rp4 juta. Itu sih kendala kami. Pabrik pun di atas Rp4 juta. Apalagi daerah-daerah industri yang notabene standar UMK-nya tinggi,” jelasnya.
Johan menjelaskan, pihaknya fokus menggarap pasar rumah subsidi lantaran lokasi Sukma Indah yang dekat dengan kawasan industri. “Kita awal dari middle low dululah. Rumah sudah jadi 100 unit,” ungkapnya.
Sales PT Delta Kahuripan Aripin mengklaim, pihaknya adalah spesialis rumah subsidi. Ia mengungkapkan, proyek perumahaan mereka di Bogor dan Serang adalah yang paling diminati. “Serang harganya terbilang masih cukup murah, sekitar Rp130 juta. Kalau di Bogor sudah Rp164,5 juta,” terangnya.
Aripin mengakui, aksestabilitas menjadi salah satu kendala dalam mengembangkan rumah bersubsidi lantaran lokasinya yang terpencil. “Otomatis biaya menjangkau ke lokasi besar di sarana dan prasana. Keuntungan developer (pengembang) di rumah subsidi kan enggak besar,” ungkapnya.
Marketing & Sales Manager Tower Bunaken Sentraland Cengkareng, Perusahaan Umum (Perum) Perumnas Ismail Siddiq mengatakan, menjual rumah susun bersubsidi lebih sulit dibandingkan dengan rumah tapak bersubsidi lantaran harganya yang lebih mahal.
“Rumah tapak lebih diminati karena orang lebih terbiasa. Apartemen kan enggak punya halaman. Cuma kotak aja,” bebernya ketika ditemui Alinea.id di JCC Senayan.
Ismail menjelaskan, mekanisme pengajuan KPR rumah susun, sama dengan rumah tapak, namun ada sedikit perbedaan. Batas maksimum gaji pokok rumah tapak subsidi sebesar Rp4 juta, sedangkan rumah susun subsidi sebesar Rp7 juta.
Senada dengan Johan dan Aripin, dia berpendapat bahwa persyaratan dan pemberkasan pemohon menjadi kendala dalam penjualan rumah bersubsidi.
“Untuk rumah subsidi kalau bisa persyaratannya mungkin lebih mudah. Untuk SiKasep dan SiKumbang bagus. SiKumbang dari sisi developer teregistrasi mana yang ada subsidinya. Melalui SiKasep, pemohon bisa melihat langsung. Mudah-mudahan sistem aplikasinya dipermudah saja,” jelasnya.
Pemerintah menyediakan sistem aplikasi untuk calon pembeli yakni lewat SiKasep (Sistem Informasi KPR Subsidi Pemerintah). Sedangkan, pengembang lewat SiKumbang (Sistem Informasi Kumpulan Pengembang).
Kuota terbatas
Meskipun anggaran FLPP telah naik dari Rp7,54 triliun pada 2019 menjadi Rp11 triliun pada 2020, Ketua Real Estate Indonesia (REI) Paulus Totok Lusida menilai anggaran tersebut masih belum cukup.
Ia mengatakan, anggaran itu disiapkan untuk membangun 102.500 unit rumah, namun realisasinya hanya 90.000 mengingat sisanya digunakan untuk menutup kekurangan kuota 2019. “Kalau cuma 90.000, setiap April sudah habis,” ujarnya saat ditemui terpisah.
Di lain kesempatan, Ketua Himpunan Pengembang Permukiman dan Perumahan Rakyat (Himperra) Harry Endang Kamawidja menyayangkan keputusan pemerintah yang menghapus subsidi selisih bunga (SSB) pada tahun ini. “Tidak cukup karena yang dihilangkan kuota 100.000 SSB, tapi yang ditambahkan di FLPP hanya 11.000-12.000,” ungkapnya melalui sambungan telepon.
Oleh karena itu, para pengembang mengusulkan kepada Menteri PUPR Basuki Hadimuljono untuk mengembalikan skema SSB demi memenuhi kebutuhan pendanaan perumahan subsidi.
Totok menambahkan, usulan tersebut sudah sampai di Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan dananya akan cair pada Maret 2020. Penambahan kuota rumah dari SSB akan mencukupi target pembangunan rumah subsidi sebesar 260.000-300.000 unit sepanjang 2020.
“Kami sudah ingatkan dan langsung akan diproses. Hari ini sudah mulai proses,” ungkapnya. Untuk rumah komersil, jumlah rumah yang akan dibangun oleh REI kurang lebih hampir sama.
Endang menjelaskan, kuota rumah subsidi yang berasal dari skema SSB sebanyak 225.000 unit. Dalam skema tersebut, pemerintah membayar selisih bunga kredit bank, sehingga pemohon hanya perlu membayar bunga sebesar 5%. Nilai SSB yang dianggarkan mencapai Rp1,5 triliun.
Selain itu, jangka waktu cicilan KPR dalam bentuk SSB diperpendek dari 15 tahun menjadi 5 tahun. “Sekarang bedanya di tahun ke-6 sudah dianggap dewasa, sudah menanggung beban sendiri. Tidak lagi diberi subsidi,” jelas Direktur Utama Delta Group tersebut.
Dengan dikembalikannya skema SSB, Himperra optimistis dapat membangun lebih banyak rumah bersubsidi. “Kalau tidak turun SSB-nya, paling banter 56.000 unit. Kalau turun, Insya Allah 90.000 unit, itu kalau turunnya sebelum Maret ya,” beber Endang. Pembangunan rumah komersil hanya ditargetkan kurang dari 10%-nya.
Selain kuota yang terbatas, kendala lain dalam penyediaan rumah subsidi adalah peraturan yang berubah-ubah dan adanya perbedaan regulasi antara pusat dan daerah. “Membangun rumah in process. Kalau semua berubah, tiba-tiba berhenti (pembangunannya),” keluh Totok.
Ia mencontohkan, beberapa daerah mewajibkan penyediaan fasilitas umum sebelum menerbitkan izin mendirikan bangunan (IMB) bagi para pengembang.
Kemudian, pihaknya juga mendorong revisi Peraturan Menteri PUPR No.552/KPTS/M/2016 yang salah satunya mengatur batasan maksimal gaji pokok bagi pengajuan KPR subsidi.
“Tapi sampai sekarang masih in process. Sementara kan, Rp4 juta adalah gaji pokok, jadi bukan gaji penuh,” ungkapnya.
Ketua Himperra menilai, biaya izin lokasi menjadi kendala dalam pembangunan rumah bersubsidi. Selama ini tidak ada perbedaan biaya antara rumah subsidi dengan komersial.
“Harusnya kan lebih murah biaya resminya, harus lebih cepat pelayanan harga subsidi, mengingat harga tanahnya tidak dipatok, tapi harga jualnya dipatok,” ungkapnya.
Endang menambahkan, keberadaan lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B) menjadi beban bagi para pengembang. Menurutnya, LP2B seringkali bersinggungan dengan Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) dan Rencana Detil Tata Ruang (RDTR) yang telah ditetapkan perutuntukannya sebagai kawasan permukiman. “Harusnya, RUTR supremasi hukum tata ruang. Jadi jelas gitu,” tegasnya.
Menurutnya, perlambatan pertumbuhan ekonomi global akan berdampak bagi perkembangan sektor properti di tahun 2020. “Berat kalau yang di atas Rp1 miliar. Paling bisa bertahan Rp500 juta ke bawah seperti dulu,” ujarnya.
Ia beralasan, properti yang menyasar segmen masyarkat berpenghasilan rendah (MBR) akan kecipratan konsumen yang ‘turun kelas’. “Karena pabriknya menghilangkan lembur-lembur yang ada, mungkin dia enggak jadi beli rumah seharga Rp250 juta. Aku beli yang subsidi aja deh. Jadi turun kelas. Itu menigisi kekosongan yang terjadi dalam resesi,” kata dia.
Bersambung dari: "Subsidi dihapus, mimpi punya rumah murah kian pupus"