close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
icon caption
Bisnis
Jumat, 03 Juli 2020 19:29

Pahitnya nasib petani tebu di tengah kompetisi pabrik gula

Sistem beli putus mendorong adanya persaingan dalam pembelian bahan baku tebu petani.
swipe

Musim giling tebu telah dimulai sejak akhir Mei lalu. Seharusnya ini menjadi momentum manis bagi petani tebu, semanis rasa tebu yang dipanen. Kenyataannya, musim giling kali ini malah menjadi momen yang pahit bagi mereka.

Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) mencatat rerata harga jual gula di tingkat petani jatuh di level Rp10.200/kilogram (kg) pada Selasa (30/6) silam. Bahkan, di sejumlah daerah harganya jatuh di bawah Rp10.000/kg.

Harga ini jauh lebih rendah dibandingkan biaya produksi gula petani: Rp12.700/kg. Artinya, petani tombok alias merugi. Meskipun harga jual tersebut masih di atas harga acuan pemerintah di tingkat produsen seperti diatur di Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 7 Tahun 2020: Rp9.100/kg.

Penurunan harga gula juga terlihat dari anjloknya harga lelang pembelian gula pasir di PT Perkebunan Nusantara XI (PTPN XI) yang bermarkas di Surabaya, Jawa Timur. Harga lelang turun dari Rp10.650/kg pada 12 Juni menjadi Rp10.150/kg pada 22 Juni. Kemudian harga lelang kembali naik menjadi sekitar Rp10.500/kg pada 2 Juli.

Harga gula anjlok karena serbuan gula impor di pasar. Pemerintah memang telah membuka keran impor gula besar-besaran, salah satunya gula kristal putih (GKP) sebesar 150 ribu ton untuk keperluan konsumsi. Impor diberikan kepada Bulog, PT Perusahaan Perdagangan Indonesia, dan PT Rajawali Nusantara Indonesia. Masing-masing kebagian impor 50 ribu ton. 

Ada pula realokasi gula rafinasi menjadi gula konsumsi sebesar 250 ribu ton. Juga ada izin impor gula kristal mentah (raw sugar) yang dikeluarkan Kementerian Perdagangan (Kemendag) untuk tahun 2020 yang mencapai 988,8 ribu ton. Gula mentah ini akan diolah menjadi gula kristal putih atau gula konsumsi. 

Menurut Menteri Perdagangan (Mendag) Agus Suparmanto, impor gula ini perlu dilakukan untuk menstabilkan harga yang terus melonjak pada April lalu. Pasokan gula impor diharapkan memenuhi kebutuhan konsumsi sebelum panen tiba pada Juni lalu. Namun, karena ada pandemi Covid-19, kedatangan gula impor meleset. Gula tiba menjelang musim giling tebu.

Manajemen tidak tepat

Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) APTRI Soemitro Samadikoen menilai, anjloknya harga gula di tingkat petani bukan semata-mata disebabkan oleh banjir impor, melainkan karena manajemen impor yang tidak tepat. 

“Dari dulu impor itu paling dekat dua bulan sebelum masa panen atau satu bulan setelah panen. Katakanlah panen mundur ke Juni, April enggak boleh ada yang masuk. Harusnya paling akhir Maret masuk,” tegas Soemitro kepada Alinea.id, Selasa (30/6).

Izin impor gula mentah, menurut Soemitro, juga tidak tepat. Ini bukan solusi cepat untuk menstabilkan harga gula di pasar. Ia menyarankan impor dalam bentuk GKP agar langsung terserap pasar dan tidak mengganggu serapan tebu petani di pabrik gula.

Menurut Soemitro, stok gula sebesar 1,15 juta ton akhir 2019 sebenarnya cukup hingga April 2020 dengan tingkat konsumsi 230 ribu ton per bulan. “Volumenya (impor) berarti paling banyak 500 ribu ton. Ternyata izin yang dikeluarkan 1 juta ton lebih,” keluhnya.

Gula impor yang membanjiri pasar juga diamini Ketua Asosiasi Gula Indonesia (AGI) Budi Hidayat. Menurut Budi, ini yang membuat harga lelang gula di sejumlah PG turun lantaran stok gula berlimpah di pasaran. “Kemungkinan besar gula impor sudah berdatangan semua ditambah produksi giling tahun ini,” ujar Budi melalui pesan singkat, Rabu (1/7).

Agar nasib petani tebu tidak kian terpuruk, Soemitro dan pengurus APTRI dalam pekan ini "bersafari" melakukan audiensi dengan Menteri Perdagangan Agus Suparmanto dan Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto. “Nanti hasilnya akan diputuskan dalam rakor (rapat koordinasi) Kemenko Perekonomian,” ucap Soemitro pada Kamis (2/7).

Banjirnya gula impor di pasar dibantah Direktur Tanaman Semusim dan Rempah, Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian (Kementan) Hendratmojo Bagus Hudoro. Menurut Hendratmojo, gula impor takkan terjadi dalam waktu dekat. Menurutnya, impor gula yang bergulir sudah habis izinnya.

Hendratmojo memprediksi produksi gula pada puncak musim giling selama Juni-Agustus mencapai 1,5 juta ton. Jumlah tersebut dapat mencukupi kebutuhan nasional selama enam bulan. “Harapan kami petani tetap mengikuti jadwal giling. Jangan buru-buru, misalnya nanti menjual yang belum saatnya karena masa awal nanti akan berpengaruh ke rendemen (tebu),” jelas Hendratmojo melalui sambungan telepon, Kamis (2/7).

Kompetisi memperebutkan gula petani 

Tebu hasil produksi petani memang menjadi tulang punggung ketersediaan gula nasional. Menurut data Kementan, produksi gul nasional mencapai 2,258 juta ton pada 2019. Jumlah ini diprediksi naik menjadi 2,417 juta ton pada tahun ini. Jumlah ini belum mampu mencukupi kebutuhan gula konsumsi yang mencapai 3 juta ton per tahun. Sedangkan gula industri yang kebutuhannya juga 3 juta ton per tahun, sampai saat ini bahan bakunya berupa gula mentah sepenuhnya diisi dari impor. 

 
Untuk merangsang petani tetap mau menanam tebu, Kementan mengeluarkan Surat Edaran No. 593/TI.050/E/7/2019 tanggal 19 Juli 2019 perihal Penerapan Sistem Pembelian Tebu (SPT) kepada 15 perusahaan gula swasta. Isinya, sistem bagi hasil dalam relasi petani dengan pabrik gula yang selama ini berjalan akan digantikan dengan sistem beli putus. 

Melalui sistem baru ini, petani berpeluang mendapatkan harga jual yang lebih tinggi. Hitung-hitungan kasar, sistem baru ini menjanjikan nilai jual 30% lebih besar ketimbang sistem bagi hasil. Dalam sistem bagi hasil, petani tebu mendapatkan 66% gula dari tebu yang digiling. Gula sisanya menjadi milik pabrik gula,

Sayangnya, kata Soemitro, masih banyak pabrik yang belum menerapkan sistem beli putus. Di Jawa Timur, kata dia, hanya ada dua perusahaan yang menerapkannya, yaitu PT Kebun Tebu Mas (KTM) dan PT Rejoso Manis Indo (RMI).

“(PG) Lainnya masih sistem bagi hasil. Kenapa mereka enggak beli putus? Mereka enggak punya duit," ungkapnya kepada Alinea.id.

Soemitro mengakui saat ini ada kompetisi antar PG dalam memperebutkan tebu petani. Ini memungkinkan petani mendapat harga jual tebu yang lebih tinggi. Akan tetapi, kata Soemitro, hasil penjualan yang diterima petani melalui sistem beli putus tetap bergantung pada harga gula. “Kalau harga gulanya murah, beli putusnya juga murah,” keluhnya.

Persaingan antar pabrik dalam memperebutkan tebu petani diakui Direktur PTPN XI Dwi Satriyo Annurogo. Munculnya sistem ini membuat pola kemitraan dan pembinaan antara PG dan petani mulai bergeser kepada pola transaksional.

“Tebu ditebang dan dikirim ke pabrik gula yang berani membayar lebih tinggi tanpa memperhitungkan tingkat kemasakan, area binaan serta jarak lahan tebang ke pabrik gula tujuan,” ungkap Dwi Satriyo kepada Alinea.id, Kamis (2/7).

Saat ini PTPN XI mengoperasikan 16 PG di Jawa Timur dengan kapasitas produksi terpasang 42.137 TCD (ton cane per day). Untuk memenuhi bahan baku, sebanyak 10.591 hektare (ha) lahan tebu dikelola mandiri, sedangkan 45.247 ha dikelola oleh petani mitra. Pabrik, kata Dwi, menggiling sejak awal Juni sesuai kesepakatan bersama pelaku industri gula.

Dwi menuturkan, petani kerap menebang tebu yang belum matang, sehingga menurunkan produktivitas perolehan GKP. Belum lagi, transportasi tebu dari lahan tebang menuju PG yang terlalu jauh turut menurunkan rendemen tebu. 

“Faktor utama kekurangan bahan baku yang berujung pada kompetisi harga tebu adalah berkurangnya bahan baku tebu karena alih fungsi lahan tebu. Produktivitas lahan tebu yang ada saat ini juga cenderung menurun,” tuturnya.

Petani memanen tebu. Foto Pixabay.

PTPN XI, kata Dwi, memiliki lebih 1.500 petani binaan yang tersebar di seluruh Jawa Timur. Sama seperti kebanyakan perusahaan gula, perusahaan gula pelat merah ini masih menerapkan sistem bagi hasil antara petani tebu dan PG.

Dwi menganggap pembenahan tata ruang lahan pertanian, perbaikan budi daya sesuai baku teknis, dan peningkatan efisiensi pabrik gula menjadi kunci untuk membangkitkan minat petani dalam menanam tebu. Dari tahun ke tahun, minat petani menanam tebu makin menurun. Pada 2010 luas tanam tebu mencapai 454.111 ha, dan jadi 417.57 ha pada 2018.

Harga tinggi di tingkat konsumen

Komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Guntur Syahputra Saragih enggan berkomentar terkait persaingan sejumlah PG dalam memperebutkan bahan baku tebu. Karena lembaganya belum melakukan kajian terhadap hal tersebut.

Lembaga pengawas persaingan usaha itu tengah fokus mendalami musabab tingginya harga gula di konsumen beberapa waktu lalu. Berdasarkan data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional (PIHPS), harga rata-rata gula pasir lokal di konsumen masih bertengger di angka Rp14.700/kg per Kamis (2/7), di atas harga acuan tertinggi (HET): Rp12.500/kg.

Guntur menjelaskan harga gula di Indonesia pada bulan April dan Mei lebih mahal 240-260% dibandingkan harga di tingkat internasional berdasarkan data International Sugar Organization.

“Sejauh ini KPPU melihat harga itu harusnya bisa lebih turun ke harga acuan Rp12.500. Itu sudah memberikan keuntungan bagi semua semua pihak. Para importir sudah mendapatkan keuntungan. Jangan sampai itu dijadikan alasan untuk menaikkan HET,” ucap Guntur melalui sambungan telepon, Selasa (30/6).

Berdasarkan penelitian KPPU, pelaku usaha swasta yang efisien mampu memproduksi gula dengan biaya produksi Rp6.000 – Rp9.000/kg. Sedangkan biaya produksi gula petani tebu yang bermitra dengan PG sebesar Rp12.000 – Rp14.000/kg.

“Tingginya harga pokok produksi petani tebu tentu mengurangi kemampuan gula petani dalam berkompetisi dengan gula hasil produsen gula yang efisien. Di sisi lain, pelaku usaha yang efisien diuntungkan dengan harga acuan penjualan Pemerintah. Hal ini terjadi juga pada importir gula kristal putih yang harga pokok produksinya juga rendah,” terangnya.

Sistem beli putus vs sistem bagi hasil

Meski memberikan keuntungan finansial bagi petani, Budi Hidayat dari AGI, mengatakan sistem beli putus dan sistem bagi hasil memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Sistem beli putus lebih menguntungkan petani karena tidak perlu menanggung risiko kehilangan hasil pengolahan tebu dan bisa menerima uang lebih cepat. Imbasnya, PG membutuhkan dana lebih besar untuk membeli tebu petani dan harus membuat persyaratan agar kualitas tebu tetap terjaga. 

Sebaliknya, petani harus ikut menanggung risiko kehilangan gula dalam pabrik dalam sistem bagi hasil. Beban biaya pabrik dalam mengolah tebu berkurang lantaran mendapat jatah hasil penjualan sebesar 34%.

“Kalau sistem beli putus kesannya transaksional  atau jual beli saja, tidak ada pembinaan dan lain-lain. Kalau sistem bagi hasil yang ditonjolkan kemitraannya dan bagi hasilnya pun tidak tetap, tetapi akan lebih tinggi kalau kualitas tebu atau rendemennya lebih baik,” terangnya.

Perbedaan sistem beli putus dan sistem bagi hasil penyerapan tebu oleh pabrik gula. Alinea.id/OkyDiaz.

Sayangnya, sistem ini belum sepenuhnya berjalan di lapangan karena masih menunggu peraturan dari Kementan. Permentan itu akan mengatur pelaksanaan sistem beli putus secara teknis. Melalui Permentan, kata Hendratmojo Bagus Hudoro, pihaknya berharap animo petani untuk menanam tebu kian meningkat karena ada kepastian harga yang ditawarkan. 

“Kita masih proses. Kita mesti memperoleh masukan dulu dari para pelaku, baik PG swasta maupun PG BUMN. Kita lagi kaji. Memang butuh waktu supaya tidak kontraproduktif, sehingga peraturannya bisa menyerap aspirasi petani, PG swasta, dan PG BUMN,” ungkap Hendratmojo.

Hendratmojo tidak terlalu khawatir ihwal persaingan PG swasta dan PG BUMN dalam memperebutkan tebu petani. Menurut dia, persaingan bukan semata-mata memperebutkan bahan baku, namun memberikan apresiasi petani yang telah menanam tebu. “Meski tidak mudah, harapannya BUMN juga melakukan sistem beli putus. Manajemen mereka ada tata kelolanya sendiri,” katanya.

Menurut Budi Hidayat, tarif pembelian tebu sebaiknya dibedakan berdasarkan daerah lantaran kondisi daerah berbeda-beda. Ini perlu diatur dalam Permentan. “Yang begini-begini perlu persyaratan tertentu,” ucapnya.

Importir juga dikerahkan 

Agar harga gula petani tidak kian anjlok, anggota Komisi VI DPR RI Fraksi Partai Golongan Karya Nusron Wahid mengusulkan ada penugasan terhadap perusahaan BUMN dan importir untuk membeli gula dari petani. Usulan ini disampaikan Nusron dalam rapat kerja Komisi VI DPR dengan Menteri Perdagangan pada Kamis (25/6) silam.

Menurut Nusron, importir perlu dikerahkan untuk membeli gula petani pada harga Rp11.200/kg sesuai dengan harga di tingkat distributor. Harapannya, harga di tingkat petani akan terdongkrak naik.

"Ya, baik akan kami tugaskan BUMN atau perusahaan pengimpor gula untuk menyerap gula petani," tegas Menteri Perdagangan Agus Suparmanto. Pernyataan Menteri Agus akhirnya menjadi kesimpulan rapat malam itu.

Ketua Umum DPP APTRI Soemitro Samadikoen mengatakan pihaknya sudah menjalin komunikasi dengan para importir. Dia mengungkapkan jumlah gula petani yang memerlukan “uluran tangan” importir sebanyak 700 – 800 ribu ton. 

“Ada tujuh perusahaan (yang sudah berkomitmen membeli dari petani). Lapis pertama yang kita minta adalah perusahaan gula rafinasi yang memasarkan gula rafinasi menjadi gula konsumsi sebanyak 250 ribu. Lapis kedua adalah perusahaan yang mendapat izin impor white sugar (GKP) 150 ribu ton,” terangnya kepada Alinea.id, Kamis (2/7).

Soemitro berpendapat, pembelian gula oleh importir bisa menjadi solusi untuk mendongkrak harga gula di tingkat petani. Meskipun demikian, keputusan resminya masih menunggu hasil rapat koordinasi (rakor) Kemenko Perekonomian lantaran masih dalam tahap konsultasi.

“Sebetulnya kita minta (harga) lebih tinggi lagi, tapi okelah angka minimal ini. Kita berharap masih ada pergerakan lagi karena petani juga melelang gulanya secara terbuka. Kalau ada perbaikan harga lagi, saya harap suatu langkah bagus buat para pelaku stakeholder gula,” pungkas Soemitro.

img
Syah Deva Ammurabi
Reporter
img
Kartika Runiasari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan