Pedagang Blok M Square: Pemerintah jangan hanya membebani dengan peraturan, tetapi berikan solusi!
Tidak seperti biasanya, kios batik Monalisa dipenuhi manekin-manekin setengah badan yang diletakkan di lantai. Belum lagi beberapa karung berisi pakaian dan gantungan yang ia letakkan di pojokan. Barang-barang itu membuat kiosnya yang berukuran sekitar 4x2,25 meter, terlihat agak berantakan dan sesak.
Di masa PPKM ini, Monalisa, 27, justru menambah stok barang jualannya. Sebab itu selain manekin dan gantungan baju, koleksi batiknya ia tambah agar kiosnya lebih lengkap, sehingga pembeli dapat mencari batik model apa saja di kiosnya. Maklum permintaan sedang tinggi.
Sayangnya, sama sekali bukan begitu jalan ceritanya. Saat pandemi, terlebih di masa Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), pasar semakin sepi. "Seperti di kuburan," kata Monalisa. Tak jarang bahkan berjam-jam, tidak ada satupun pengunjung yang melintas di depan kiosnya.
"Biasanya engak sepenuh ini barangnya. Tetapi ini bukan nambah barang... Enggak mungkinlah nambah barang lagi sepi kayak begini," kata Monalisa yang berdagang batik di lantai Ground Blok M Square, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan ini.
Barang-barang itu adalah limpahan dari kiosnya yang lain di lantai 2, yang juga berada di Blok M Square. Kios itu biasanya dikelola suaminya. Namun, karena sepi pembeli, suaminya memilih tutup. Suami Monalisa, yang biasa dipanggilnya Uda itu tak kuat bertahan. Meski tidak mengibarkan bendera putih, Uda sudah menyerah.
Mona membuka kiosnya lagi saat PPKM level 4 diberlakukan pada 26 Juli. Pada PPKM sebelumnya, yang berlaku 2-25 Juli, Blok Square ditutup. Semua pedagang, tenant-tenant kecil, dipaksa menggembok rolling door kiosnya, sementara Carefour, dan beberapa restoran cepat saji dan toko obat di Blok M Square diizinkan buka.
Pedagang menjerit, tetapi tidak bisa apa-apa. "Sebenarnya membuka kios saja, sulit penglaris (laku). Justru hitungannya minus. Tetapi kalau buka minimal kami bisa ikhtiar mencari rezeki, daripada diam di rumah, tidak ada pemasukan semakin pusing," kata Sutrisno, 35, pedagang lain.
Untuk masa PPKM level 4, Blok M Square memberlakukan jam operasional dari pukul 10.00 sampai pukul 15.00. Lebih dari itu lampu langsung padam. Eskalator diberhentikan. Sejumlah pintu masuk langsung digembok. Namun pedagang juga kerap mengeluhkan AC yang nyala dan padam tidak sesuai jam operasional. Kadang AC baru nyala pukul 12 siang, dan 14.30 sudah mati.
"Pengunjung itu biasanya mulai datang sore. Sore lebih ada pengunjung daripada pagi, kalau jam bukanya begini mau dapat pembeli bagaimana? Enggak ada yang datang," ujar Sutrisno yang berdagang jeans ini. Konsumen Sutrisno kebanyakan adalah orang dari luar Jakarta, yang mungkin sedang melancong atau urusan dinas di Ibu Kota.
Sutrisno pun semakin ketar-ketir dengan peraturan wajib vaksin bagi pedagang dan pengunjung. Peraturan itu akan membuat mal yang sudah sepi, semakin sepi.
"Yang jelas ya kami tidak setuju dengan pemberlakuan vaksin sebagai syarat untuk pengunjung dan tenant di mal karena itu akan menambah sepinya pengunjung," keluh Sturisno.
Lockdown, pedagang tetap dibebankan biaya operasional
Pandemi semakin memadamkan geliat Blok M Square, yang sebenarnya di masa normal pun tak seberapa ramai. Kawasan pusat perbelanjaan di Blok M, sebenarnya tergolong mal yang sepi pengunjung. Fenomena ini terjadi sejak kawasan terminal Blok M berangsur-angsur tidak lagi jadi titik sentral bus kota, sejak sekitar lima tahun lalu.
Padahal lokasi pusat perbelanjaan ini strategis. Akses mudah, parkir luas dan lingkungan yang nyaman. Relatif bebas macet. Gerainya pun sangat variatif. Dari mulai restoran, buku, pusat reklame, kacamata, batu permata, perak dan emas, pakaian, HP hingga bioskop dan Carefour. Bahkan Gerai Samsat pun ada. Di Jakarta, Blok M Square terbilang pusat perbelanjaan yang komplit.
Pedagang pun menjual barang dengan harga yang relatif murah. Meski mereka mengeluarkan biaya sewa dan operasional gedung, harganya miring. Tak ubahnya di kaki lima atau pinggir jalan.
Di kios Monalisa contohnya yang terletak di lantai Ground, batik dijual dari harga Rp35 ribu untuk daster dan kemeja pria, sama dengan harga yang dijual di Tanah Abang. Di kios lain milik Sutrisno, ia menjual celana harian mulai Rp25 ribu,dan jeans mulai Rp100 ribu. Di kios Hanafi yang menjual sepatu, harganya rata-rata Rp125 ribu dengan kualitas dan tampilan yang rapih dan gaya. Begitu pun hijab yang ditawarkan di sana rata-rata berkisar Rp35 ribu. "Di Blok M tidak bisa jual yang mahal-mahal. Rp35 ribu ini saja masih ditawar Pak," kata Novi pedagang hijab.
Meski harga sudah miring, tetap susah dapat pembeli. Menurut Monalisa, di masa pandemi yang sudah berlangsung satu tahun lebih, banyak pedagang yang sudah pada fase 'makan pakaian (dagangan)', barang yang terjual hari ini, untuk makan besok. Karena tidak lagi untung, maka modal pun ikut terpakai untuk menutupi kebutuhan sehari-hari. Sehingga semakin hari stok barang semakin sedikit. Namun pedagang tidak mau larut meratapi keadaan. Umumnya, yang diharapkan hanya kelonggaran berusaha, membuka kios seperti biasa, dan ada solusi bantuan dari pemerintah untuk meringankan beban pedagang.
"Blok M Square itu tidak ada pandemi pun pengunjungnya sepi. Terlebih pandemi dan PPKM seperti ini. Seharusnya pemerintah pusat dan daerah serta pengelola menyesuaikan peraturannya dengan melihat kondisi nyata di lapangan. Tidak main pukul rata," kata Mona.
Ia berharap pusat perbelanjaan seperti Blok M Square, beroperasi seperti biasa yaitu dari pukul 10 pagi hingga 10 malam. Atau kalaupun tidak disanggupi, jam operasionalnya diberlakukan seperti ketika masa pandemi sebelum PPKM, yaitu hingga pukul 20.00.
Dengan begitu, peluang mendapatkan pembeli semakin terbuka. "Yang penting kita usaha, kemungkinan laku lebih terbuka, walaupun sering juga meski jam buka normal, cuma bisa jual 1 potong batik," ungkap Mona yang lulusan Universitas Budi Luhur ini.
"Di masa pandemi ini, laku 2-3 potong sehari saja sudah bagus," katanya. "Kalau sejak setelah lockdown PPKM ini hampir dua minggu, cuma 2 kali laku....itu pun teman yang beli karena kasihan," tambah Mona.
Meminta pemerintah tidak tutup mata
Dengan keadaan yang berat, Sutrisno mengungkapkan para pedagang sangat berharap pemerintah DKI, PD Pasar Jaya dan juga pengelola tidak tutup mata dengan kesulitan yang dihadapi para pedagang. Yang terjadi saat ini justru kondisi pedagang yang seperti tinggal tulang itu terus diperas.
Para pedagang tetap dibebankan kewajiban membayar service charge (SC), biaya operasional gedung, meski mereka tidak membuka kios karena 'lockdown'. Pedagang hanya diberi diskon 25 persen, dan sejak akhir tahun lalu, diskon dikurangi menjadi 15 persen. Padahal waktu buka pun belum normal hanya sampai pukul 20.00.
"Untuk Agustus ini kami tambah lagi diskonnya 10 persen jadi 25 persen," kata Ahmad Maruli Finance & Accounting Manager Blok M Square. Biaya SC mulai sekitar Rp350 ribu sampai sekitar Rp2 jutaan. Tergantung letak kiosnya. Sementara biaya listrik lain lagi.
Di pusat perbelanjaan lain, seperti Tanah Abang, pedagang dibebaskan dari biaya SC, saat lockdown 3 bulan, pada tahun lalu. Di Blok M Square, pengelola hanya memberikan toleransi soal waktu pembayaran. Bisa dicicil.
"Saat lockdown tiga bulan di awal pandemi pada 2020, Blok M Square tidak beroperasi, pedagang tidak berjualan. Tetapi kami tetap harus membayar biaya SC. Ini tidak adil, dzalim namanya," kata Hanafi, pedagang lain.
Soal ini Maruli menjelaskan bahwa pihak Blok M Square tetap menagih biaya SC karena meski tutup tetap ada beban perawatan gedung. "Biaya rutin seperti satpam, cleaning service dan perawatan gedung kan tetap ada," paparnya. Blok M Square sendiri di bawah kerjasama PT Agung Podomoro Group dan PD Pasar Jaya yang merupakan pemilik lahan.
Karena urusan SC ini, pengelola Blok M Square dan pedagang kerap perang urat syaraf. Namun, pedagang tidak berdaya dan akhirnya membayar juga. Karena jika tidak, pengelola mematikan lampu kios tenan yang belum membayar tagihan SC.
Pun begitu saat ini, setelah PPKM pertama yang membuat Blok M Square lockdown. Menjadi buah simalakama bagi pedagang. Mereka yang baru ingin kembali berjualan, datang ke kios dengan tangan hampa karena satu bulan tidak mendapat pemasukan, namun pengelola menekan pedagang untuk membayar SC. Jika tidak dilunasi, pedagang terpaksa berdagang dengan kios yang gelap gulita.
"Bukan kami tidak mau bayar, uang yang buat bayarnya saja tidak ada. Di Blok M Square ini banyak pedagang kecil eceran, yang sebelum pandemi saja, omsetnya di bawah satu juta per hari, apalagi sekarang. Bukan seperti di mal lain atau Tanah Abang," keluh Hanafi yang berdagang sepatu.
"Kalau kita buka toko, jelas SC kewajiban kami, tetapi bagaimana saat lockdown yang kebijakannya dari pemerintah, kami dipaksa tutup tetapi tetap harus bayar biaya pengelolaan gedung. Kita membayar kalau ada jasa yang kami pakai, saat lockdown kami tidak pakai jasa apa-apa, jadi kenapa kami harus bayar. Logikanya kan begitu," timpal Hanafi.
Di bulan-bulan sebelumnya, Hanafi mengaku kerap menjadi sasaran pemadaman lampu karena belum membayar SC. Ia bisa berjualan hingga dua pekan dengan kondisi kios gelap. Toh ia tidak menyerah. Meski begitu ia tetap membuka kios berharap ada pembeli.
Jika ada sepatu yang laku, dua atau tiga pasang. hasilnya baru ia bawa ke kantor manajemen untuk membayar SC. "Seperti itulah kami di sini," ucap Nafi lesu.
Namun setelah lockdown PPKM kali ini, Hanafi mencari jalan keluar lain. Ia memilih membiarkan kiosnya tutup, dan berdagang di dekat kawannya yang menjual minuman jahe, di sebuah lapak pinggir jalan, tak jauh dari Polres Jakarta Selatan.
Hanafi pun berharap masalah SC ini diperhatikan oleh para pemangku kebijakan, seperti Pemda DKI dan PD Pasar Jaya, dan pengelola Blok M Square, sebagai bagian dari jaring pengaman untuk menyelamatkan para pedagang yang sudah sekarat terhimpit pandemi. Terlebih penutupan pusat perbelanjaan datang dari kebijakan pemerintah.
Menurutnya, peraturan-peraturan pemerintah sudah membuat pedagang lebih sulit mencari nafkah. Demi memutus rantai pandemi, hal itu tidak jadi soal, namun permasalahannya pemerintah tidak memberikan solusi konkret untuk menolong pedagang yang sudah sesak nafas.
"Kami merasa tidak diperhatikan. Padahal kami sudah sekarat dan butuh pertolongan. Kami tidak muluk-muluk minimal dalam keadaan pandemi seperti ini Pemerintah Pusat atau Pemda DKI atau siapapun yang berwenang, turun tangan untuk membebaskan kami dari biaya SC, sehingga beban kami sedikit berkurang, dan kami bisa cari rejeki lagi meski hanya sekadar untuk makan. Seperti bansosnya untuk pedagang lah. Terus terang saja, sudah banyak pedagang di sini yang tumbang," ungkap Hanafi.