Perusahaan peralatan rumah tangga Tupperware mengajukan kebangkrutan setelah megap-megap karena penjualan terus anjlok. Padahal, selama bertahun-tahun ia berhasil menjadi merek favorit emak-emak di berbagai negara, termasuk Indonesia.
Setelah berdiri selama kurang lebih 78 tahun, Tupperware mengumumkan telah mengajukan kebangkrutan pada Pengadilan Kepailitan Amerika Serikat (AS) untuk Distrik Delaware, akhir September 2024 lalu.
Industri dalam negeri
Peneliti Senior Center of Reform on Economics (Core) Indonesia, Etika Karyani mengatakan Tupperware bangkrut lantaran minimnya langkah inovasi di tengah persaingan yang kian ketat. Di sisi lain, masyarakat tertarik pada pada produk botol minum lainnya yang lebih baik.
Perusahaan asal AS itu hanya fokus pada gaya pemasaran secara langsung dari pintu ke pintu, terutama di antara kumpulan ibu-ibu arisan. Sayangnya, strategi itu tak menyentuh kaum milenial dan generasi Z.
Hal tersebut juga terjadi pada dua jenama teknologi ternama seperti Nokia dan Blackberry. Keduanya tidak mampu menyesuaikan dengan kondisi zaman hingga akhirnya ditinggalkan konsumen.
“Intinya Tupperware bangkrut karena isu likuiditas yang bermasalah efek dari bisnis yang kurang inovatif, tidak ikuti tren saat ini dan harga kurang terjangkau. Sama seperti Nokia atau Blackberry,” katanya kepada Alinea.id, Senin (1/10).
Berkaca dari kasus Tupperware, Etika bilang, industri plasticware di dalam negeri harus sanggup mengubah strategi menyesuaikan perkembangan tren yang ada di tengah masyarakat. Pelaku usaha harus adaptif dan masuk ke pasar lain untuk mengisi kekosongan ataupun kekurangan order.
Menurutnya, bangkrutnya Tupperware bisa menjadi peluang bagi industri bahan baku plastik lokal. Peristiwa itu mendorong pelaku dalam negeri berinovasi dengan produk yang lebih ramah lingkungan.
"Namun akan memberikan dampak negatif jika Tupperware menjadi key account terkait supply chain. Kondisi memengaruhi jumlah permintaan bahan baku itu sendiri," katanya.
Direktur Pengembangan Bisnis Federasi Pengemasan Indonesia (IPF) Ariana Susanti mengatakan Tupperware seharusnya melihat kebutuhan konsumen yang selalu berubah.
“Perubahan itu sangat cepat. Nah itu harus mengikuti style-nya. Bata (merek sepatu) itu juga sama kan, Bata juga tutup karena kurang inovasi,” ucapnya kepada Alinea.id, saat ditemui di gedung Kementerian Perindustrian, Rabu (2/10).
Ariana menyebut, industri dengan komoditas plastik masih akan digemari di Indonesia. Apalagi secara umum, plastik kerap digunakan oleh masyarakat baik sebagai kemasan produk maupun untuk membawa barang-barang.
Hanya saja, kondisi daur ulang perlu diperhatikan. Penggunaan plastik hanya dianggap sebagai pencemaran lingkungan karena pengelolaan sampah masih minim.
Di negara lain seperti Jepang maupun Korea yang memiliki tingkat konsumsi plastik empat hingga lima kali lebih tinggi dibandingkan Indonesia, sudah menjalankan pengolahan limbah dengan baik. Dus, sampah dan limbah tak banyak menumpuk.
“Jadi yang penting selalu ada sirkulasi. Terus-menerus dilakukan daur ulang. Sampah plastik bukan untuk dibuang di tempat sampah, jangan langsung ke TPA (tempat pembuangan akhir) karena tercampur dengan kotoran-kotoran. Itu masalah waste management aja. Nah, waste management di Indonesia itu belum sempurna,” ujarnya.