Pelaku usaha di sektor riil masih kesulitan mendapatkan pendanaan berkelanjutan dari perbankan. Akhirnya, target pendanaan masing-masing bank sulit tercapai karena demand belum berjalan.
"Selain itu, tren demand (pembiayaan) secara umum sangat rendah selama dua tahun terakhir,” ujar ekonom senior Institute for Economic and Financial Development (INDEF) Aviliani saat webinar Sustainable Development,” Selasa (19/4).
Oleh karena itu, menurut dia, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 51 Tahun 2017 tentang penerapan keuangan berkelanjutan masih perlu waktu untuk bisa diterapkan secara maksimal.
Sebab, para pelaku usaha harus terlebih dahulu memenuhi standar internasional untuk dapat menerima dana hijau dari perbankan.
Saat ini, entitas korporasi yang memperoleh dana tersebut biasanya berorientasi ekspor atau pasar luar negeri, sedangkan entitas korporasi berorientasi pasar domestik, termasuk usaha kecil, menengah dan mikro, belum memanfaatkan sepenuhnya dana berkelanjutan.
"Memang sebagian besar green bond dan green loan sudah diterbitkan, tetapi terkait dengan orientasi ekspor, tetapi orientasi pasar domestik belum sepenuhnya dilaksanakan," katanya.
Saat ini, untuk melakukan kegiatan yang sejalan dengan pendekatan Lingkungan, Sosial dan Tata Kelola (ESG), bank juga cenderung tidak hanya mengandalkan penyaluran modal, tetapi juga pada kegiatan yang dapat mereka lakukan sendiri, seperti memutar mematikan lampu pada waktu-waktu tertentu atau melakukan daur ulang.
“Jadi mereka menghemat energi untuk diri sendiri dan belum menjangkau sektor fisik karena pembiayaannya tidak memenuhi kebutuhan yang harus dipenuhi untuk sertifikasi internasional,” ujarnya.