Nilai tukar rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta pada Jumat sore (9/3), melemah empat poin menjadi Rp13.785 dibandingkan posisi sebelumnya Rp13.781 per dollar AS.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira menilai, rupiah yang terus melemah sebagai sesuatu yang tidak wajar. Apalagi dari hasil risetnya, Indonesia menjadi satu-satunya negara yang mengalami pelemahan mata uang yang cukup tajam jika dibandingkan dengan negara lainnya.
"Dollar Singapura menguat 1,5% pada sebulan terakhir, ringgit Malaysia menguat lebih dari datu persen. Begitu pun dengan real Brazil yang juga menguat terhadap dollar AS. Indonesia sendiri yang depresiasinya lebih dari 1,2% dalam sebulan terakhir," terang Bhima kepada Alinea.id, Jum'at (9/3).
Bhima mengkhawatirkan ada yang salah dengan fundamental Indonesia. Jika dibandingkan dengan negara-negara emerging market lainnya, rupiah lah yang paling terdepresiasi. Terlebih dalam melakukan stabilisasi nilai tukar rupiah, BI hanya mengandalkan cadangan devisa saja.
Padahal, cadangan devisa yang dimiliki Indonesia terendah dengan negara-negara lainnya, khususnya di kawasan Asia. Cadangan devisa Filipina sudah 28% terhadap PDB, Thailand 58% terhadap PDB, sementara Indonesia hanya 14% terhadap PDB.
"Cadangan devisa kita sudah terkuras US$ 4 milliar di Februari. Kalau terjadi empat kali kenaikan fed rate di 2018, kemungkinan cadangan devisa akan terkuras sebesar US$ 16 milliar. Padahal cadangan devisa untuk melakukan stabilisasi juga terbatas. Bank Indonesia tidak bisa terus menerus mengandalkan cadangan devisa," terang Bhima.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang hanya tumbuh 5% juga menjadi persoalan. Padahal China, Filipina, dan Malaysia bisa tumbuh di atas 6%. Ini artinya ada yang tidak sehat dengan ekonomi di Indonesia.
Tidak heran jika kemudian investor mencermati pelemahan nilai tukar rupiah bukan sekedar faktor eksternal karena kenaikan fed rate, tapi juga disebabkan faktor domestik. Ekonomi Indonesia bisa dianggap sedang underpressure dan tidak siap menghadapi tekanan global.
Selain mengandalkan cadangan devisa untuk stabilisasi rupiah, sebaiknya BI mencari alternatif lain, misalkan saja menaikkan suku bunga acuan menjadi 20 - 50 basis poin. Sehingga bisa menarik investor berinvestasi di Indonesia, sekaligus mendorong produktivitas dari sisi ekspor dan investasi. Paling tidak, ekonomi Indonesia bisa tumbuh 5,1%.
Menanggapi itu, Gubernur Bank Indonesia (BI), Agus Martowardojo meminta, masyarakat tidak khawatir dengan keadaan rupiah, karena Indonesia masih dalam keadaan baik.
"Bank Indonesia akan selalu bersama dengan pemerintah berkoordinasi untuk menjaga stabilitas makro ekonomi dan sistem stabilitas sistem keungan di Indonesia. Sekarang ini kondisi Indonesia dalam keadaan baik," tutur Agus.