Rupiah kembali melemah di hadapan dolar Amerika Serikat (AS) pada penutupan perdagangan awal pekan ini, Senin (16/12). Loyonya nilai tukar rupiah terjadi di tengah rilis data ekonomi AS yang mulai membaik dan menunjukkan penguatan.
Data menunjukkan rupiah turun tipis 0,03% ke level Rp15.995 per dolar AS pada penutupan perdagangan Senin. Sepanjang hari, nilai tukar rupiah berfluktuasi hingga menyentuh level Rp16.028 per dolar AS dan terkuat di posisi Rp15.980 per dolar AS. Penutupan perdagangan hari ini adalah yang terdalam sejak 7 Agustus 2024 dengan sebelumnya berada pada posisi Rp16.030 per dolar AS.
Seiring dengan pelemahan rupiah, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melemah 0,90% ke level 7.258 pada penutupan perdagangan hari ini. Dalam lima hari terakhir, IHSG telah turun 2,57%.
Chief Economist dan Head of Research Mirae Asset Sekuritas Rully Arya Wisnubroto mengatakan investor perlu mewaspadai pelemahan rupiah. Pergerakan pasar saham di dalam negeri masih dipengaruhi oleh perkembangan sentimen global, terutama dolar AS yang menunjukkan tren penguatan.
Kenaikan mata uang Negeri Paman Sam itu juga disertai dengan kenaikan imbal hasil surat berharga pemerintah AS atau US treasuries (UST). Indeks dolar AS (DXY) pada hari Jumat (13/12) ditutup di atas level 107, pertama kalinya selama lebih dari dua pekan terakhir. Imbal hasil UST tenor dua tahun dan 10 tahun, selama sepekan naik cukup signifikan, masing-masing sebesar 14,1 basis poin (bps) dan 24,4 bps, masing-masing ditutup pada 4,24% dan 4,40%.
"Sementara itu DXY naik 0,9% wow (week on week) menjadi 107,0," kata Rully, Senin (16/12).
Dia bilang, kenaikan imbal hasil UST dan DXY selalu berdampak negatif terhadap rupiah. Hal itu terlihat pada perdagangan Jumat, rupiah ditutup mendekati level Rp15.995 per dolar AS atau terdepresiasi 0,9% secara wow terhadap dolar AS.
Di antara mata uang negara maju, Yen pekan lalu mengalami depresiasi paling signifikan, sebesar 2,4% wow, karena Bank of Japan (BoJ) diperkirakan tidak akan menaikkan suku bunga dan akan lebih berhati-hati dalam menentukan langkah ke depan.
"Persepsi mengenai arah suku bunga global akan selalu berdampak besar terhadap pasar mata uang, keluar masuknya arus modal asing, dan akan berdampak juga terhadap kinerja pasar saham," lanjut Rully.
Menanti BI rate
Riset PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI) menulis, pekan ini pasar menanti hasil rapat Bank Indonesia (BI). Bank sentral diperkirakan akan kembali menahan suku bunga acuannya atau BI rate di level 6%.
"Pasar saham dan obligasi domestik melemah pekan lalu di tengah pelemahan rupiah yang berada di level psikologis Rp16.000 per dolar AS. BI mengindikasikan melakukan intervensi secara agresif untuk menopang rupiah di tengah penguatan nilai tukar dolar AS secara global," tulis laporan tersebut, dikutip Senin (16/12).
Rapat bank sentral AS, The Federal Open Market Committee (FOMC) The Fed dalam menentukan suku bunga acuannya juga menjadi perhatian pasar. Pasar berhadap The Fed kembali memangkas suku bunganya.
"Probabilitas pemangkasan suku bunga The Fed di Desember menguat menjadi 93% dari akhir pekan sebelumnya di 85%. Sementara itu ECB (The European Central Bank) memangkas suku bunga 25 bps menjadi 3,0% sesuai dengan ekspektasi dan merevisi turun outlook pertumbuhan ekonomi dan inflasi."