close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi Alinea.id/Muji Prayitno.
icon caption
Ilustrasi Alinea.id/Muji Prayitno.
Bisnis
Senin, 30 Agustus 2021 06:12

Pelestarian wastra Indonesia dan setumpuk tantangannya

Pelestarian kain tradisional masih terhambat banyak hal.
swipe

Batik dan tenun tanpa sadar membuat Trisna Dewi (49) jatuh hati. Pesona wastra Indonesia itu kerap ia pamerkan kala menghadiri acara-acara resmi. Lambat laun, ia menjadi kolektor wastra dan tanpa ragu bergabung dengan Komunitas Cinta Berkain 2010 lalu.

“Saat ada perkumpulan atau seminar yang dihadiri oleh arkeolog-arkeolog, mereka semua pakai wastra. Dari situ, enggak tahu sejak kapan, saya jadi berfikir kok ini (wastra-red) menarik,” kisahnya kepada Alinea.id, Jumat (13/8).

Di dalam komunitas itu, dirinya diharuskan untuk selalu terbiasa mengenakan kain setiap hari. Batik Solo peninggalan sang nenek menjadi koleksi pertamanya. Selanjutnya, Dewi kerap membeli wastra dari berbagai daerah.

Ahli arkeologi di Universitas Udayana, Bali itu kini telah memiliki beragam wastra yang berasal dari Sabang hingga Merauke. “Ada yang dari NTT, itu dari Kupang, Alor, Sumba, Flores. Terus sudah ada juga dari Toraja, Lombok, Bali,” rincinya.

Ibu dua anak itu mengaku, ke depannya, dia masih akan terus melanjutkan kegemarannya dalam berburu kain tradisional. Pasalnya, koleksinya masih belum lengkap seperti wastra dari Indonesia bagian barat.

“Belum ada dari Lampung dan songket Palembang, Padang, Ternate, Tidore. Karena memang baru mulai ngoleksi dari Timur,” imbuh Dewi.

Sementara itu, menurutnya wastra bukan hanya sekadar kain dari 34 provinsi di Indonesia saja. Namun ada cerita dan tradisi tersendiri yang tersimpan di balik gambar atau pola-pola di dalam kain tradisional tersebut.

Foto pixabay.com.

“Itu semua harus kita jaga, kita lestarikan,” ujar perempuan yang juga kerap disapa Dewi Chiwo ini.

Berbeda dengan Dewi yang menunjukkan kegemarannya terhadap wastra dengan menjadi kolektor kain tradisional, Lisa Dewi justru menyalurkan kecintaannya terhadap kain jarik menjadi sebuah bisnis yang menjanjikan. 

Lisa juga memulai dari mengoleksi kain tradisional, khususnya batik dan jarik. Tanpa sadar, wastra koleksinya semakin bertambah banyak setiap bulannya. Perempuan 42 tahun itu pun tak membiarkan koleksinya itu tergeletak begitu saja di tiga lemari jatinya. Ia mengizinkan orang menyewa kain tradisional yang dia miliki untuk digunakan dalam pameran maupun festival batik. 

Tidak berhenti di situ, pada awal pandemi, perempuan asal Yogyakarta itu kemudian mendirikan clothing brand bernama Jarik Addict. “Sekarang sudah cukup banyak produknya, selain kebaya, ada juga tengkuluk, hingga masker batik,” tuturnya, kepada Alinea.id, beberapa waktu lalu.

Selain menjadi bisnis yang potensial, katanya, Jarik Addict juga bertujuan melestarikan dan mengenalkan batik dan jarik kepada penduduk Indonesia, khususnya generasi muda.

Sebab, menurutnya saat ini banyak anak muda yang enggan dan malu untuk mengenakan batik dan jarik, baik di acara resmi maupun dalam kegiatan sehari-hari. Di sisi lain, dia juga menyayangkan, bahwa sangat banyak wastra nusantara langka yang justru dibeli oleh kolektor wastra dari luar negeri. 

“Makanya kemudian sekarang banyak komunitas yang meng-campaign-kan owning our own (memiliki sendiri) batik. Jangan justru yang bagus-bagus malah keluar semua. Itu juga yang bikin saya aktif di berbagai komunitas batik dan jarik,” jelasnya.

 

 

Merosot drastis

Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia (FEB UI) Lilawati Kurnia menyebut semakin langka kain tradisional, akan makin mahal pula harga wastra tersebut. Dia bilang, kelangkaan sehelai kain, dapat dilihat dari motif dan cara pembuatannya. Biasanya, wastra langka memiliki motif kuno tradisional yang dibuat menggunakan tangan, bukan mesin. 

Sementara itu, Indonesia memiliki berbagai jenis kain tradisional, mulai dari batik, tenun, hingga songket yang berasal dari berbagai daerah. Tiap kain memiliki motif berbeda-berbeda, tergantung daerah penghasilnya.

“Dan kain-kain dari tiap daerah itu punya arti dan ceritanya masing-masing,” kata Lilawati kepada Alinea.id, Senin (23/8).

Salah satu wastra yang sudah cukup langka adalah tenun ikat Dayak Iban. Selain karena pengrajin tenun ikat Dayak yang mulai berkurang, bahan untuk membuat pewarna kain juga sulit didapat, lantaran harus menggunakan pewarna alami. 

Lebih lanjut Lilawati menjelaskan, salah satu tantangan terbesar industri wastra adalah tidak adanya regenerasi di kalangan pengrajin. Padahal, sebenarnya wastra nusantara memiliki potensi ekonomi yang sama besarnya dengan bidang pariwisata jika ditangani secara serius. 

“Para pengrajin sudah tua-tua, harusnya proses pembuatan kain perlu diajarkan kepada generasi muda. Biar potensi ekonomi dan warisan budaya tidak mati begitu saja,” tambahnya.

Regenerasi nyatanya bukan menjadi masalah utama pengembangan potensi wastra nusantara. Selama pandemi, ada masalah lain yang mengintai sektor ekonomi kreatif tersebut. Penjualan kain semakin menurun dan banyak sentra-sentra wastra dan pengrajin kain yang memutuskan menutup tempat usahanya. 

“Sejak Maret akhir, penjualan itu terus turun. Padahal, seharusnya April sampai Juni itu adalah momen bagi tumbuhnya penjualan wastra, karena ada banyak pameran dan festival, di mana kita bisa jualan,” kata Perwakilan Bidang Diklat dan Kepala Humas Asosiasi Pengrajin dan Pengusaha Batik Indonesia (APPBI) Agus P. Sukrowinarso kepada Alinea.id, Kamis (26/8).

Dengan nada lemah, ia merinci, sejak pandemi Covid-19 menghantam Indonesia pada 2 Maret 2020 hingga Agustus di tahun yang sama, penjualan batik bahkan mengalami penurunan hingga 80%. Dus, di sepanjang 2020 APPBI hanya mencatatkan penjualan batik sebesar Rp915,11 miliar. Padahal, pada 2019 transaksi penjualan batik dapat mencapai Rp3,655 triliun.

Menurutnya, penjualan batik sempat mengalami kenaikan sejak November 2020 hingga Februari 2021, namun kembali anjlok setelah Lebaran, yakni di sekitar Mei lalu. Tak heran jika penjualan batik di semester-I 2021 hanya sebesar Rp731,087 miliar.

“Tapi Alhamdulillah masih jauh lebih tinggi dari semester-I 2020,” imbuhnya.

Penurunan penjualan pun terjadi pula pada jenis wastra lain, seperti tenun dan songket. Hal ini terlihat dari anjloknya omzet para pengrajin tenun, salah satunya Amin Fahrudin, pemilik usaha tenun di Desa Bringin, Batealit, Jepara. 

Dia bilang, sebelum pagebluk, Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) miliknya yang telah beroperasi sejak 2013 itu bisa mencatatkan omzet rata-rata Rp15 juta setiap bulan. Namun, saat memasuki masa pandemi, usaha tenunnya harus berhenti total selama dua bulan lamanya. 

“Akibatnya ya enggak ada penghasilan selama dua bulan itu juga,” kata dia, saat dihubungi Alinea.id, belum lama ini. 

Sadar dia harus tetap menggaji keenam pegawainya, Amin pun memberanikan diri untuk membuka kembali usahanya. Pemasaran hasil karya tenun pun terpaksa hanya dilakukan melalui beberapa e-commerce dan media sosial. Mengingat tak ada lagi pengunjung yang mendatangi tokonya selama kebijakan PSBB hingga PPKM, belum lagi pameran dan festival pun ditiadakan oleh pemerintah.

Di saat yang sama, ada kendala lain yang harus dialami Amin, yakni bahan baku yang terus naik sementara harga jual produk tenun tak mungkin lagi dinaikkan. Bahan baku benang bahkan masih harus impor dari India. 

“Kami enggak bisa ganti ke benang lokal, karena kualitasnya beda. Ada sebenarnya yang kualitasnya hampir sama, tapi gampang putus,” imbuhnya.

Setelah kembali berproduksi dan berinovasi, dengan membuat produk fesyen menjadi masker, baju, hingga tas, kini penjualan toko yang dinamainya Syandana pun berhasil kembali merangkak naik. Kata dia, saat ini omzet tokonya bisa mencapai Rp5 hingga Rp10 juta per bulan.

 

 

Selain kedua hal tersebut, lanjutnya, kendala lain adalah sarana pemasaran kain tradisional, seperti pameran dan festival yang ditiadakan. Pemodalan pengrajin dan pengusaha pun makin berkurang, harga bahan baku wastra makin mahal dengan stok di pasaran terbatas, serta biaya sewa stand yang makin mahal.

Kurang perhatian

Agus P. Sukrowinarso dari APPBI juga menyebut perhatian pemerintah pusat berkaitan dengan pemberdayaan ekonomi kerakyatan, khususnya di bidang kerajinan wastra pun masih kurang. Di saat yang sama, edukasi masyarakat tentang kain tradisional pun masih sangat terbatas.

“Makanya enggak heran kalau masih banyak masyarakat yang beli kain printing (cetak). Selain juga daya beli masyarakat yang masih rendah selama pandemi,” lanjutnya.

Ilustrasi Alinea.id/Muji Prayitno.

Sementara itu, untuk kembali menggeliatkan industri warsa, khususnya batik APPBI sampai saat ini telah melakukan beberapa cara. Pertama, dengan mengadakan webinar untuk para pengrajin dan pengusaha batik sebagai ajang donasi dan berjualan batik. Kedua dengan membuat marketplace khusus untuk menjual batik produksi para pengrajin lokal.

“Setiap minggunya, dari webinar kita bisa jual batik sekitar Rp20 juta sampai Rp25 juta. Hasilnya langsung kita kirim ke pengrajin,” jelas Agus.

Sementara itu, Guru besar FEB UI Lilawati Kurnia menilai, untuk mengoptimalkan potensi ekonomi kain tradisional harus dilakukan oleh semua pihak, baik pengrajin, pengusaha, pemerintah, akademisi, hingga masyarakat. Untuk pengrajin dan pengusaha batik, dapat dilakukan dengan melakukan inovasi dan pengembangan motif wastra.

Dia bilang, hal ini penting guna menarik minat generasi muda untuk membeli dan dapat mengenakan wastra nusantara di dalam kesehariannya. Di saat yang sama, baik pengrajin, pemerintah maupun pelaku UMKM wastra perlu mengajarkan kepada generasi muda tentang proses pembuatan kain tradisional. 

“Untuk pemerintah mungkin bisa dengan memasukkan kurikulum wastra ke sekolah di daerah-daerah penenun atau sentra wastra,” katanya, Senin (23/8) lalu.

Selain itu, dia juga menilai pentingnya edukasi bagi konsumen wastra lantaran masih banyak pembeli yang masih belum bisa membedakan antara kain asli dan hasil print. Menurutnya, kain dengan motif batik, tenun dan songket yang dicetak memang biasanya dijual dengan harga murah. 

Sebaliknya, kain tradisional yang dibuat menggunakan tangan oleh pengrajin memiliki harga jauh lebih mahal, karena membutuhkan waktu pengerjaan relatif lebih lama.

Dihubungi terpisah, Ketua Indonesia Fashion Chamber Ali Charisma mengatakan, pengembangan wastra nusantara dapat pula dimulai dengan pendekatan kebudayaan. Sebab, menurutnya sebelum melanjutkan ke langkah lebih jauh untuk mengembangkan wastra, masyarakat perlu terlebih dulu membangun kesadaran dan minat terhadap kain tradisional. Di saat yang sama, pengetahuan publik pun perlu ditingkatkan. 

“Disinilah akademi dan pengajar berperan. Pengetahuan ini penting untuk mengembangkan wastra sampai nantinya bisa masuk industri mode,” ujarnya, saat dihubungi Alinea.id, Jumat (27/8).

Sementara itu, Wakil Menteri Perdagangan Jerry Sambuaga menjelaskan, saat ini pemerintah tengah berusaha keras untuk mengoptimalkan potensi ekonomi wastra nusantara. Salah satunya dengan memberikan pelatihan ekspor bagi pengrajin dan pelaku usaha. 

Kata dia, lembaga ini bertugas melakukan pendampingan secara berkelanjutan seperti mengajarkan cara administrasi, identifikasi negara tujuan ekspor hingga melakukan pemetaan pasar wastra di dunia.

Selain itu, pemerintah juga telah menyediakan Indonesian Trade Promotion Center (ITPC) yang bertugas menghubungkan dan mempertemukan pelaku usaha dengan konsumen di luar negeri. 

“Di Indonesia sendiri kita sudah ada Pusat Wastra Nusantara, yang juga bisa bantu bukakan akses bagi produk-produk wastra nusantara dari berbagai daerah,” ungkapnya, kepada Alinea.id, beberapa waktu lalu.

Pada kesempatan lain, Direktur Utama Smesco Leonard Teo Sabrata menjelaskan, bagi pemerintah dan Smesco khususnya, Pusat Wastra Nusantara atau PWN merupakan mata rantai yang penting karena dapat melengkapi pameran yang sudah ada saat ini. Karena hal itulah pemerintah kemudian berharap agar PWN bisa menjadi hub bagi kain tradisional, sekaligus juga dapat menjadi tempat berkumpul, diskusi, perdagangan, dan pusat pengetahuan wastra. 

“Kita pun ingin agar PWN bisa jadi etalase produk dan menghadirkan transaksi dengan valuasi tinggi,” katanya, kepada Alinea.id akhir Juli lalu. 

Tidak hanya itu, mulai tahun depan, Smesco juga akan melakukan kolaborasi dengan banyak lembaga maupun instansi lain untuk bisa mendukung ekspansi produk wastra. Hal itu dilakukan untuk menunjang kegiatan promosi kain tradisional, baik yang biasanya dilakukan secara offline maupun online.

 
 

img
Qonita Azzahra
Reporter
img
Kartika Runiasari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan