close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi. Foto Freepik.
icon caption
Ilustrasi. Foto Freepik.
Bisnis
Selasa, 21 Mei 2024 17:06

Peluang investasi di tengah tren suku bunga tinggi

Tren suku bunga tinggi diperkirakan masih akan berlangsung setelah BI secara mengejutkan mengerek BI rate ke level 6,25%.
swipe

Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI) yang digelar mulai Selasa dan berakhir Rabu (21-22 Mei 2024) menjadi salah satu agenda yang ditunggu pelaku pasar, salah satunya terkait keputusan suku bunga acuan. Sebelumnya pada April 2024, bank sentral secara mengejutkan mengerek BI rate sebesar 25 basis poin (bps) ke level 6,25%, setelah sebelumnya menahannya di level 6% sejak Oktober 2023. 

Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan kenaikan suku bunga tersebut dilakukan guna memperkuat stabilitas nilai tukar rupiah dari dampak memburuknya risiko global serta sebagai langkah pre-emptive dan forward looking untuk memastikan inflasi tetap dalam sasaran 2,5±1% pada 2024 dan 2025 sejalan dengan stance kebijakan moneter yang pro-stability

"Kebijakan makroprudensial dan sistem pembayaran tetap pro-growth untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Kebijakan makroprudensial longgar terus ditempuh untuk mendorong kredit atau pembiayaan perbankan kepada dunia usaha dan rumah tangga. Kebijakan sistem pembayaran diarahkan untuk memperkuat keandalan infrastruktur dan struktur industri sistem pembayaran, serta memperluas akseptasi digitalisasi sistem pembayaran," ujar Perry, disitat dari website bi.go.id.

Di sisi lain, dinamika ekonomi keuangan global berubah cepat dengan risiko dan ketidakpastian meningkat karena perubahan arah kebijakan moneter Amerika Serikat (AS) dan memburuknya ketegangan geopolitik di Timur Tengah. Tetap tingginya inflasi dan kuatnya pertumbuhan ekonomi AS mendorong spekulasi penurunan suku bunga bank sentral AS, Fed Funds Rate (FFR) yang lebih kecil dan lebih lama dari prakiraan (high for longer).

"Sejalan pula dengan pernyataan para pejabat Federal Reserve System," tuturnya.

Perkembangan ini dan besarnya kebutuhan utang AS mengakibatkan terus meningkatnya yield surat utang AS, US Treasury dan penguatan dolar AS semakin tinggi secara global. Diketahui, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS melemah dalam beberapa waktu terakhir dan sempat menyentuh Rp16.200 per dolar AS.

Peluang investasi 

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) bereaksi terhadap kenaikan suku bunga acuan BI. Satu hari setelah keputusan tersebut, IHSG berada di zona merah pada akhir perdagangan Kamis (25/4) di level 7.155,294 atau turun 0,27%. Sebanyak 208 saham naik, 338 saham turun, dan 235 saham stagnan. 

Meski demikian, terdapat peluang di tengah tren suku bunga tinggi. Senior Portfolio Manager, Equity PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI) Samuel Kesuma mengatakan pasar saham di Asia menunjukkan tren menguat, salah satunya ditopang oleh prediksi penurunan suku bunga The Fed pada akhir tahun ini. Hal itu ditunjukkan oleh komunikasi Fed Chairman terakhir yang mengindikasikan kemungkinan besar The Fed tidak akan menaikkan suku bunga, dan kebijakan selanjutnya mengindikasikan adanya pemotongan suku bunga.

Di Indonesia, dia optimistis pasar saham akan mendapatkan dampak positif dari meningkatnya fokus bank sentral dalam menjaga stabilitas rupiah yang dilakukan melalui kenaikan suku bunga acuan. 

"Kenaikan suku bunga acuan dipandang sebagai kebijakan antisipatif dalam menciptakan bantalan bagi rupiah jika sentimen risk-off global terus berlanjut. Berdasarkan pengalaman sebelumnya, kenaikan suku bunga dapat membantu memperlambat depresiasi nilai tukar rupiah," ujarnya, Selasa (21/5).

Dia memperkirakan BI akan tetap mempertahankan suku bunga tinggi hingga terdapat pemangkasan suku bunga The Fed. Penurunan suku bunga BI yang prematur disebut berpotensi menimbulkan risiko terhadap volatilitas rupiah.

"Ke depan yang akan menjadi perhatian adalah hingga berapa lama kondisi suku bunga tinggi ini akan bertahan. Peluang The Fed dalam untuk menurunkan suku bunga tahun ini berarti membuka juga peluang BI untuk ikut menurunkan suku bunga yang dapat meminimalisir dampak dari kenaikan suku bunga yang telah terjadi," tuturnya. 

Kendati demikian, dia mengakui, masih berlanjutnya ketegangan geopolitik di Timur Tengah dan tertundanya pemangkasan Fed Funds Rate akan berdampak negatif terhadap sentimen jangka pendek. Namun, tuturnya, fundamental Indonesia yang terjaga dapat mendukung selera investor untuk memilih Indonesia sebagai tujuan investasi.

“Fundamental perekonomian yang terjaga dan valuasi yang rendah membuka peluang bagi investor yang ingin berinvestasi dini memanfaatkan kondisi menjelang akhir siklus kenaikan suku bunga. Arah kebijakan ekonomi pemerintahan baru serta pilihan kabinet yang kredibel juga dapat menjadi katalis positif ke depannya,” katanya. 

Samuel menambahkan, dampak dari suku bunga terhadap kondisi fundamental emiten, akan tergantung pada kondisi financing di masing-masing emiten, seperti tingkat utang, jenis utang baik floating atau fixed, dan rencana belanja modal ke depan. MAMI memproyeksikan IHSG bisa mencapai level 7.800 di akhir tahun.

"Untuk peluang di pasar saham, dapat memanfaatkan peluang di sektor-sektor yang pendapatannya dalam mata uang dolar AS dan perusahaan dengan utang yang lebih terbatas," ujarnya. 

Ekonomi tetap kuat

Kuatnya fundamental ekonomi Indonesia juga disinggung oleh Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati di sela-sela penyampaian Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) RAPBN tahun 2025 dalam Rapat Paripurna DPR RI ke-17, Senin (20/5). Dia menyebut ketahanan perekonomian Indonesia masih tetap terjaga meski berada di tengah berbagai guncangan.

Menurutnya, dinamika global dan nasional telah menciptakan berbagai tantangan yang rumit dan tidak mudah. Dalam sepuluh tahun terakhir, ujarnya, Indonesia telah melewati berbagai guncangan, termasuk eskalasi tensi geopolitik, volatilitas harga komoditas, pandemi Covid-19, hingga perubahan iklim yang menyebabkan ancaman kemanusiaan serta dampak ekonomi dan keuangan yang sangat besar.

"Indonesia tetap mampu merespons dengan baik melalui kerja sama yang kuat antara pemerintah, DPR (Dewan Perwakilan Rakyat), dan masyarakat, sehingga berhasil menjaga stabilitas perekonomiannya. 

Menurutnya, keberhasilan ini juga ditopang oleh kebijakan fiskal yang responsif dan kredibel, terutama selama pandemi sehingga berhasil menahan kontraksi ekonomi Indonesia yang hanya sebesar minus 2,1%, atau lebih baik dari level kontraksi negara tetangga, seperti: Filipina, Thailand, Malaysia, dan Singapura. 

“Pengelolaan kebijakan fiskal yang efektif, pruden, dan kredibel telah membuat Indonesia menjadi salah satu dari sedikit negara di dunia dengan kondisi fiskal mengalami perbaikan secara signifikan pascapandemi,” tuturnya. 

Dia juga mengklaim pertumbuhan ekonomi Indonesia, pembangunan infrastruktur, kualitas sumber daya manusia (SDM) dan kesejahteraan masyarakat yang terus menunjukkan kemajuan yang signifikan.

“Penguatan tiga aspek ini merupakan langkah strategis membangun fondasi perekonomian yang kuat untuk akselerasi pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan ke depan,” ujarnya.

Dia mematok target bisa mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi di 2025 di kisaran 5,1% hingga 5,5%, ditopang oleh terkendalinya inflasi, kelanjutan dan perluasan hilirisasi sumber daya alam (SDA), pengembangan industri kendaraan listrik, dan digitalisasi yang didukung oleh perbaikan iklim investasi dan kualitas SDM. 

“Laju pertumbuhan ini diharapkan akan menjadi fondasi yang kuat untuk pertumbuhan yang lebih tinggi dalam beberapa tahun ke depan,” katanya. 

img
Satriani Ari Wulan
Reporter
img
Satriani Ari Wulan
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan