Pemangkasan suku bunga bawa angin segar di pasar obligasi
Siklus pemangkasan suku bunga telah dimulai. Ditandai dengan langkah bank sentral Amerika Serikat (AS), The Fed yang menurunkan suku bunga acuannya sebesar 50 basis poin (bps) ke level 4,75% hingga 5,00% dalam rapat The Federal Open Market Committee (FOMC) di bulan September, dan Bank Indonesia (BI) yang memotong suku bunga 25 bps menjadi 6%. Langkah ini merupakan awal dari siklus pemangkasan suku bunga yang dapat terjadi hingga 2025 atau 2026, sebagai bentuk normalisasi kebijakan setelah sebelumnya meningkat drastis untuk menahan laju inflasi global.
Pasar obligasi sudah konsisten mencatat kinerja positif sejak periode Juli hingga Agustus, dan terlihat masih terus berlanjut. Sementara itu, nilai tukar rupiah terus menguat dan arus dana investor asing ke pasar obligasi pun meningkat. Lalu, bagaimana potensi pasar obligasi Indonesia di era pemangkasan suku bunga?
Laras Febriany, Portfolio Manager, Fixed Income PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI) mengatakan, siklus pemangkasan suku bunga secara historis berdampak positif bagi pasar obligasi. Pada empat siklus pemangkasan suku bunga BI sebelumnya yang terjadi di 2011, 2016, 2019, dan 2020 secara rata-rata Bloomberg Indonesia Local Sovereign Bond atau indeks BINDO mencatat kinerja positif 18%.
"Turunnya suku bunga berdampak langsung terhadap pasar obligasi karena hubungan yang erat antara suku bunga, imbal hasil obligasi, dan harga obligasi. Instrumen obligasi diminati ketika suku bunga turun karena investor dapat ‘mengunci’ imbal hasil di level tinggi," ujar Laras, Jumat (20/9).
Menurut Laras, pada dasarnya Indonesia memiliki profil ekonomi yang menarik di antara negara berkembang lain, didukung oleh tingkat pertumbuhan ekonomi tinggi yang stabil, inflasi rendah, tingkat utang negara rendah, kondisi politik stabil, dan tingkat imbal hasil obligasi yang tinggi. Hal ini yang menjadikan daya tarik investor asing untuk masuk ke pasar obligasi Indonesia. Dia menyebut kondisi ini langka karena suatu negara berkembang memiliki profil yang cukup baik secara menyeluruh. Biasanya, terdapat masalah pada salah satu faktor tersebut.
“Dengan profil yang menarik itu, faktor kunci bagi investor adalah pada stabilitas nilai tukar rupiah, karena pelemahan nilai tukar akan menggerus potensi imbal hasil bagi investor asing, membuat obligasi Indonesia kurang menarik, dan pada akhirnya dapat arus dana asing berbalik. Dimulainya siklus pemangkasan suku bunga The Fed diperkirakan dapat menjadi iklim yang suportif bagi rupiah dan bisa menarik arus dana asing masuk ke pasar obligasi Indonesia lebih lanjut,” lanjut Laras.
Terkait stabilitas nilai tukar rupiah, menurut Laras, secara historis, periode pemangkasan suku bunga The Fed adalah kondisi yang negatif bagi dolar AS. Sejak tahun 1990, terdapat delapan siklus pemangkasan suku bunga The Fed, dan secara rata-rata nilai tukar dolar AS terhadap mata uang lain melemah 1,1% dalam periode tersebut. Kondisi pelemahan dolar AS ini diyakini dapat menjadi faktor pendorong bagi stabilitas rupiah.
Kendati demikian, beberapa kali pemangkasan suku bunga The Fed yang dipicu oleh kondisi resesi AS justru mendorong penguatan mata uang Negeri Paman Sam, seperti di tahun 2001, 2007, dan 2020. Penyebabnya, kondisi resesi meningkatkan permintaan dolar AS sebagai aset safe haven.
"Jadi potensi terjadinya resesi AS dapat menjadi tantangan bagi stabilitas nilai tukar rupiah ke depannya, di tengah naiknya ekspektasi pemangkasan suku bunga oleh The Fed. Selain itu faktor lain yang dapat memengaruhi rupiah ke depannya adalah dinamika kondisi domestik dari inflasi, kinerja neraca perdagangan, dan kebijakan ekonomi pemerintah baru," katanya.
Kondisi dalam negeri
Setali tiga uang dengan The Fed, BI juga mulai memangkas suku bunga di September. Keputusan ini didasari oleh keyakinan yang menguat terhadap stabilitas rupiah, inflasi domestik yang terjaga, serta komitmen untuk mendukung pertumubuhan ekonomi. Ke depannya, konsensus pasar memperkirakan BI akan bergerak lebih konservatif dibanding The Fed. Bank sentral AS diperkirakan menurunkan suku bunga di kisaran 200 bps hingga akhir 2025, sementara BI di kisaran 100 bps di periode sama.
Di tengah banyaknya pilihan investasi di pasar modal saat ini, Laras melihat pasar obligasi masih memiliki peluang yang menarik. Obligasi menawarkan potensi keuntungan alias capital gain dan elemen stabilitas bagi portofolio investor.
Kelas aset obligasi secara historis mencatat kinerja baik dalam periode pemangkasan suku bunga, sehingga dapat menjadi opsi bagi investor untuk mendapatkan potensi capital gain memasuki periode pemangkasan suku bunga global. Di sisi lain, dia bilang, pasar tidak bergerak dalam garis lurus dan selalu ada dinamikanya. Oleh karena itu, karakter obligasi yang defensif memberikan elemen stabilitas untuk menjaga keseimbangan portofolio investor.
“Reksa dana obligasi dapat menjadi opsi bagi investor untuk menangkap potensi di pasar obligasi. Dengan reksa dana obligasi, investor dapat memiliki eksposur obligasi yang terdiversifikasi di berbagai tenor dan jenis obligasi, serta pengelolaan secara aktif yang dilakukan manajer investasi untuk menyesuaikan strategi portofolio dengan kondisi terkini," ujarnya.