Pembubaran, akhir kisah BUMN yang mati suri
Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir dengan mantap mengungkapkan niatnya untuk membubarkan tujuh BUMN pada tahun ini. Alasannya, perusahaan-perusahaan plat merah tersebut sudah tidak lagi memberikan kontribusi bagi perekonomian nasional. Bahkan, ada BUMN yang telah berhenti beroperasi sejak 2008 lalu.
Keputusan untuk membubarkan beberapa BUMN itu, sebenarnya telah direncanakan sejak lama. Namun, pemerintah melalui PT Perusahaan Pengelolaan Aset (Persero) atau PPA ingin melakukan langkah penyehatan terlebih dulu. Baik dengan memberikan pinjaman dana talangan atau dana restrukturisasi.
Pemerintah berharap dapat mengambil langkah tepat melalui dua cara itu. Termasuk juga memberikan kepastian kepada para pekerja di ketujuh BUMN tersebut. Beberapa perusahaan juga telah mendapatkan sokongan dana dari PPA sejak 2020 lalu.
BUMN | Nilai pinjaman dana talangan |
Kertas Kraft Aceh | Rp51,34 miliar |
Industri Glas | Rp49,96 miliar |
Kertas Leces | Rp38,5 miliar |
PT Survai Udara Penas | Rp123,05 miliar |
PT Perum Perumnas | Rp100 miliar |
PT Boma Bisma Indra | Rp67,82 miliar |
PT Istaka Karya | Rp62,44 miliar |
PT Industri Sandang Nusantara | Rp26 miliar |
PT Dok dan Perkapalan Surabaya | Rp20,8 miliar |
Sementara itu, pinjaman dana restrukturisasi juga diberikan kepada Kertas Kraft Aceh Rp141,61 miliar, Industri Glas Rp89,08 miliar, Merpati Nusantara Airlines Rp663,99 miliar, PT Dirgantara Indonesia Rp605 miliar, PT Penataran Angkatan Laut Rp211,67 miliar, dan PT Industri Kapal Indonesia Rp28,5 miliar.
“Kita sebagai pimpinan akan zalim kalau dibiarkan tidak ada kepastian,” kata Erick, di kantornya, Selasa (4/5).
Untuk melaksanakan pembubaran ini, pemerintah melalui PPA akan melakukan kajian atau assesment terlebih dulu. Sebab, selain pembubaran ada dua opsi lain yang bisa dilakukan Kementerian BUMN, yakni dengan mensinergikan perseroan dengan perusahaan plat merah lain.
Masih butuh kajian
Hal itu lantas diamini oleh Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo. Dia bilang, dengan melakukan pengkajian lebih lanjut, pemerintah akan benar-benar mengetahui perusahaan mana yang layak dibubarkan dan mana yang dapat disinergikan dengan BUMN lain. Penilaian akan dilakukan berdasarkan pertimbangan nilai aset, tenaga kerja, dan operasional perusahaan secara keseluruhan.
“Dan cara penyelesaian kewajiban mereka (utang atau pinjaman kepada pemerintah atau kreditur lainnya-red),” kata dia, kepada Alinea.id, Jumat (7/5).
Ihwal perusahaan apa saja yang akan dibubarkan paling lambat semester-II tahun ini, laki-laki yang akrap disapa Tiko itu hanya bisa menyebutkan empat perseroan saja, yaitu PT Kertas Kraft Aceh (Persero), PT Industri Glas (Persero) dan PT Kertas Leces (Persero), dan PT Merpati Nusantara Airlines (Persero).
Meski begitu, untuk Merpati, pemerintah masih mempertimbangkan dengan serius opsi pembubaran perusahaan yang terkenal dengan penerbangan murahnya (low cost carrier/LCC) itu. Pasalnya, meski sudah berhenti beroperasi sejak 1 Februari 2014, perusahaan penerbangan itu masih memiliki aset berupa fasilitas Maintenance, Repair and Overhaul (MRO) yang terletak di Surabaya.
Begitu juga dengan dua anak usaha yang masih bisa hidup sendiri tanpa sokongan induknya, Merpati Maintenance Facility (MMF) dan Merpati Training Centre (MTC). Di sisi lain, Merpati juga masih memiliki kewajiban yang harus harus diselesaikan.
“Karena ada fasilitas-fasilitas pinjaman yang harus direstrukturisasi dan masih ada krediturnya,” imbuh Tiko.
Sedangkan untuk PT Industri Glas (Persero) atau Iglas, dikutip dari laporan keuangan BUMN kepada pemerintah pusat untuk periode yang berakhir pada Desember 2018, tercatat kinerja keuangan perusahaan hingga akhir 2018 sebenarnya masih membukukan pendapatan senilai Rp690 juta dan pendapatan lain-lain senilai Rp2,84 miliar.
Namun sayangnya, beban usaha perusahaan lebih tinggi dibanding pendapatan, yakni mencapai Rp6,56 miliar. Selain itu, terdapat pula beban lain-lain senilai Rp57,13 miliar dan beban bunga mencapai Rp48,42 miliar.
Perseroan yang bergerak di bidang pembuatan kemasan gelas, khususnya botol untuk memenuhi kebutuhan industri bir, minuman ringan, farmasi, makanan, dan kosmetika itu harus mencatatkan kerugian selama tahun berjalan hingga Rp84,61 miliar.
Sebelumnya, Menteri BUMN Erick Thohir juga pernah mengungkapkan kondisi perusahaan plat merah lainnya, yakni PT Kertas Kraft Aceh (Persero) atau KKA. Perusahaan yang bergerak di bidang produksi kertas kantong semen ini telah berhenti beroperasi sejak 31 Desember 2007 karena tidak bisa mendapatkan bahan baku dan gas. Secara umum, permasalahan PT KKA dibagi dalam dua aspek yaitu, aspek operasi dan aspek keuangan.
“Perbaiki core business atau masuk kategori lain. Atau dengan kerendahan hati harus dilikuidasi biar enggak jadi beban, enggak ada titik sehat," kata Erick kepada anggota Komisi VI DPR RI beberapa waktu lalu.
Seperti yang diketahui, KKA mengalami ketidakpastian pasokan bahan baku kayu pinus dalam jumlah memadai dan pasokan sumber bahan bakar dengan harga yang wajar. Sedangkan dari aspek keuangan, perusahaan yang sempat menjadi tempat kerja Presiden Joko Widodo itu memiliki beban hutang dengan jumlah yang sangat besar. Utamanya hutang kepada kreditur.
Akibatnya, kondisi keuangan perusahaan menjadi kurang baik. Terutama apabila PT KKA akan melakukan pinjaman kepada bank lain ataupun mencari mitra strategis untuk melakukan penanaman investasi di perusahaan.
Sementara itu, untuk PT Kertas Leces, Kartika mengatakan, saat ini tengah dalam proses likuidasi dan telah dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Surabaya pada 28 September 2018. Kinerja perusahaan sendiri mulai memburuk akibat hantaman krisis moneter 1998.
Kondisi tersebut semakin parah, setelah PT Perusahaan Gas Negara (Persero) menghentikan pasokan gas mereka dan membuat perseroan harus berhenti beroperasi pada Mei 2010. Saat itu pabrik sudah menunggak utang sebesar Rp41 miliar.
Sebelum diputuskan pailit, perusahaan sempat beroperasi kembali pada 2012, namun tak lagi berjaya seperti Leces sebelumnya. Sementara itu, usai diputus pailit, aset perusahaan harus dijual untuk menutup kewajiban yang harus dibayarkan ke kreditur. Kewajiban yang harus dibayarkan diperkirakan sekitar dua kali dari aset perusahaan yakni Rp1 triliun.
Disambut baik
Namun, terlepas dari buruknya kinerja perusahaan-perusahaan tersebut, opsi pembubaran BUMN yang telah lama mati suri mendapatkan respon baik dari berbagai pihak. Salah satunya adalah Pengamat BUMN dari Universitas Indonesia Toto Pranoto.
Dia bilang, keputusan untuk membubarkan tujuh perusahaan plat merah itu sudah tepat. Terlebih, perusahaan-perusahaan tersebut kini sudah tidak lagi beroperasi, bahkan tidak memberikan kontribusi bagi negara.
“Saat ini banyak BUMN dalam pareto condition. Dari 105 BUMN, hanya 25 saja yang menyumbang penjualan dari seluruh penjualan. Itu 90% sendiri,” urainya, kepada Alinea.id, Jumat (21/5).
Artinya, lebih banyak perusahaan BUMN yang tidak produktif, baik karena terus merugi atau karena tak lagi beroperasi. Seperti halnya terjadi pada perusahaan-perusahaan yang bakal dibubarkan.
Namun demikian, dengan likuidasi atau pembubaran BUMN berarti menjual aset BUMN ke pihak lain. Dalam hal ini bisa ke pihak swasta atau investor. Di sisi lain, untuk BUMN yang masih beroperasi, biasanya pemerintah akan menyerahkan tenaga kerja perusahaan plat merah tersebut kepada pihak pembeli. Ini terjadi pada PT Industri Sandang (Perseroan).
“Apabila karyawan tidak setuju bergabung dengan pemilik baru, maka pemerintah sebagai shareholder akan memberikan hak pesangon kepada pegawai bersangkutan sesuai ketentuan UU (Undang-Undang),” jelas Toto.
Sementara itu, dengan adanya likuidasi Toto menilai, kinerja perusahaan BUMN secara keseluruhan akan semakin meningkat. Hal ini seiring dengan postur BUMN yang semakin ramping dan sehat. Di sisi lain, pembubaran juga dianggap dapat menyelesaikan persoalan seluruh hak dan kewajiban BUMN tersebut.
“Ini akan memudahkan BUMN lebih fokus dalam pengawasan kinerja sehingga performa BUMN ke depan lebih baik,” ucapnya.
Dihubungi terpisah, Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet kepada Alinea.id mengatakan pembubaran BUMN merupakan salah satu keputusan yang sulit dihindari pemerintah. Apalagi, saat ini Kementerian BUMN tengah berusaha melakukan transformasi kepada seluruh perusahaan plat merah.
“Hal ini sebagai upaya melakukan efisiensi dalam tubuh BUMN untuk mendorong kontribusi yang lebih besar untuk perekonomian,” katanya, Jumat (21/5).
Selain itu, dengan pembubaran BUMN-BUMN yang tak lagi aktif, juga dinilai dapat mendorong kondisi keuangan perusahaan pelat merah secara keseluruhan. Sebab, dengan cara itu pemerintah bisa lebih fokus untuk menata perusahaan yang tersisa, agar lebih efisien, produktif, dan memiliki kinerja yang lebih baik.
Restrukturisasi aset
Sementara itu, sebelum memutuskan untuk membubarkan BUMN yang mati suri, Erick sempat meminta PPA untuk membantu menyehatkan perusahaan-perusahaan yang telah sakit dengan cara restrukturisasi aset. Sebut saja Kertas Kraft Aceh , PT Istaka Karya (Persero), Industri Glas, Kertas Leces, PT Djakarta Lloyd (Persero), Indah Karya (Persero), PT Dok dan Perkapalan Surabaya (Persero), PT Industri Sandang Nusantara (Persero), Merpati Nusantara Airlines, dan PT Barata Indonesia (Persero).
Dengan langkah itu, PPA menginisiasi penempatan tenaga kerja berpotensi dari BUMN restrukturisasi yang sedang tak beroperasi kepada perusahaan yang membutuhkan tambahan tenaga kerja terampil.
Langkah itu, ditandai dengan penandatanganan nota kesepahaman antara PT Nindya Karya (Persero) (NK) dengan PT Istaka Karya (Persero) (IK) tentang Penempatan karyawan IK di NK pada akhir Januari 2021 lalu.
Nota Kesepahaman tersebut berisi rencana kerja sama penempatan karyawan IK di NK selama satu tahun sesuai hasil asesmen dan kebutuhan NK. Diharapkan beban karyawan juga akan pindah dari BUMN restrukturisasi yang idle kepada BUMN lainnya yang sedang tumbuh.
“Ini juga merupakan strategi pool of talent dengan mengefektifkan karyawan terampil pada ekosistem BUMN,” kata Direktur Utama PPA, Yadi Jaya Ruchandi beberapa waktu lalu.